Berita
Mogok Nasional, Seluruh Rakyat Iran Bersama Imam Khomeini
Aksi mogok terus berjalan, kali ini secara nasional. Hal ini mengganggu jalannya ekonomi negara. Sekali lagi, rezim Azhari memaksa pekerja untuk kembali bekerja, tapi tak digubris. Azhari akhirnya merasa tidak dapat memerintah Iran lagi. Imam Khomeini meminta negeri-negeri yang berpenduduk Kristen di seluruh dunia, juga kepada negara-negara lain melalui PBB untuk ikut berjuang melawan Syah Pahlevi. Teks yang dibuatnya menjelang Natal 1978 itu berbunyi,
“… Atas nama rakyat Iran yang tertindas, saya minta kalian, bangsa-bangsa beragama Kristen, pada hari suci ini, untuk berdoa bagi keselamatan bangsa kami yang ditindas oleh kekejaman Raja dan kami juga minta untuk berdoa bagi kepergiannya. Saya minta, kepada kalian, negara-negara besar, untuk memperingatkan beberapa pemimpin negara Kristen yang dengan kekuasaan mereka membantu Syah yang menindas seluruh bangsa Iran. Pengajaran Yesus harap disampaikan pada mereka.”
Puncak kelumpuhan terasa sekali ketika para buruh minyak Perusahaan Minyak Nasional Iran (NIOC) dan para pekerja bidang pengangkutan kapal terbang (Iran Air), laut dan darat (kereta api) mulai ikut mogok total sebagai setiakawan dengan rakyat Iran lainnya. Pada 27 Desember 1978, seluruh ekspor minyak lran terhenti. Pemogokan buruh minyak yang jadi lambang negeri Iran menjadi perhatian internasional. Opini publik di dunia terbangunkan dari ketidak-acuhannya terhadap apa yang terjadi di Iran. Mereka mulai sadar bahwa yang terjadi saat ini dapat berakibat buruk pada rezim Syah.
Situasi makin lama makin memburuk, minyak yang biasanya mengalir dari 6 juta barel menjadi 3,5 juta barel dan akhirnya tinggal 300 ribu barel perhari. Ekspor komoditas non-minyak ikut merosot dahsyat dibandingkan tahun sebelumnya. Timbul kekurangan minyak di Iran, orang-orang harus antri. Rumah-rumah banyak yang tak dapat pemanas. Pabrik-pabrik tutup karena di samping buruh mogok, energi penggerak juga sudah tak ada.
Imam Khomeini menetapkan tanggal 30 Desember 1978 sebagai hari berkabung nasional untuk menghormati arwah para korban yang terbunuh selama tahun 1978. Imam dengan tegas menyerukan, “Orang Iran harus mendukung para pemogok di industri minyak, membantu menemukan tempat tinggal dan kebutuhan hidup mereka. Di setiap kota di provinsi harus dibuat semacam kas penghimpun uang solidaritas bagi pemogok yang menderita untuk membantu Islam.
Rakyat harus menolong, dengan segala cara yang mungkin, dan seluruh serdadu yang melarikan diri (desertir). Bangsa Iran harus tahu bahwa ada cukup minyak dan gas bagi kebutuhan dalam negeri dan negara. Untuk membuat panik dan ketidakpuasan, pemerintah membuat seolah-olah tak ada persediaan minyak.”
Kekerasan militer kembali terjadi di belasan kota antara lain Shiraz, Teheran, Tabriz, dan Shapur. Di Mashad, jumlah korban yang jatuh jauh lebih besar lagi dan tak ada tempat perawatan lagi sehingga dokter harus mengoperasi pasien di lorong-lorong rumah sakit. Dokter-dokter di kota itu, pada 1 Januari, mengirimkan surat pada Sekretaris Jenderal PBB Kurt Waldheim agar berusaha menghentikan kekejaman tentara di kota itu dan di Iran pada umumnya.
” ….. Setiap hari kami menyaksikan pembunuhan demi pembunuhan pada rakyat yang tak bersenjata.” Tulis mereka seolah-olah putus asa, menutup surat itu, “Tak ada jalan untuk menghentikan kekejaman militer yang makin menggila, yang merupakan tindakan semena-mena dan gila, di negeri ini!”
Sementara itu Syah mencoba mencari jalan keluar. Kali ini ia berunding dengan Baktiar, pemimpin Front Nasional berusia 64 tahun. Orang borjuis besar, liberal, ini menerima usul Syah meskipun mendapat tentangan dari Front Nasional dan tokoh-tokoh agama. Pada 31 Desember, Jenderal Azhari mengundurkan diri dan kabur ke keluar negeri. Baktiar menjadi Perdana Menteri meskipun ia langsung dikeluarkan dari partainya, Front Nasional.
Bersambung…..
*Disarikan dan disunting dari Nasir Tamara, Revolusi Iran