MK Galau : “Wakil” Tuhan Nodai Keadilan
Oleh : Ahmad Taufik
Ketua Mahkamah Konstitusi M Akil Mochtar memimpin sidang saat membacakan,”menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.” pada Kamis 19 September 2013di Gedung MK Jln. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Perkara itu nomor 84/PUU-X/2012. Merupakan Permohonan Uji Materi ketentuan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2726) (“Pasal 156a KUHP”) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hadir pada sidang putusan itu pemohon Ahmad Hidayat di dampingi advokat dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia (YLBHU). Sedangkan empat pemohon lain tidak hadir ; Tajul Muluk berada di LP Sidoarjo, Jawa Timur menjalani hukuman penjara 4 tahun, Sebastian Jo berada di LP Ciamis, Jawa Barat, Umar Shahab, dan Hassan Alaydrus.
Sepekan setelah pembacaan putusan itu Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sampai berita ini dimuat Akil, masih dalam tahanan KPK. Dia dituduh menerima suap terhadap sejumlah perkara pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Ada sebuah blog yang mengkaitkan “dosa” MK pada orang yang terzalimi, terutama Tajul Muluk dan Sebastian Jo yang berada dalam penjara. Apa benar? Wallahu’alam. Hanya Allah yang Maha Tahu.
Yang jelas Mahkamah Konstitusi yang dalam situsnyawww.mahkamahkonstitusi.go.id mengklaim sebagai Lembaga Pengawal Konstitusi, ternyata mengkhianati konstitusi warga negara yang mengajukan permohonan uji materi tersebut. Mahkamah beranggapan UU Pencegahan Penodaan Agama masih diperlukan walaupun rumusannya belum dapat dikatakan sempurna, karena apabila UU Pencegahan Penodaan Agama dicabut sebelum adanya peraturan baru lainnya sebagaimana ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945, maka dikhawatirkan timbul penyalahgunaan dan penodaan agama yang dapat menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Lalu bagaimana dengan para korban yang berjatuhan atas undang-undang tersebut?
Padahal para pemohon berdalil bahwa Pasal 156a KUHP seharusnya tidak dapat diterapkan tanpa didahului dengan perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan di dalam Suatu Keputusan Bersama 3 Menteri (Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri). Permohonan tersebut agar tidak terjadi kesewenang-wenangan sekeompok orang atas sekelompok orang sesama warga negara, atau abuse of power dari pemerintah atau institusi yang sedang berkuasa di daerah.
Namun, MK dalam putusannya berpendapat sebagai berikut: Bahwa Pasal 156a KUHP merupakan tindak pidana yang ditambahkan ke dalam KUHP berdasarkan perintah dari UU Pencegahan Penodaan Agama. Adapun rumusan Pasal 156a KUHP mengatur tindak pidana dalam perbuatan yang pada pokoknya bersifat“permusuhan”, “penyalahgunaan” atau
“penodaan” terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Oleh karena itu, untuk menerapkan ketentuan tersebut, maka sebelumnya diperlukan perintah dan peringatan keras sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pencegahan Penodaan Agama.
Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 2: (1) Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri,
(2) Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri.”
Pasal 3:
“Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, Organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar
ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”.
Artinya, berdasarkan putusan MK terdahulu (perkara Nomor 140/PUU-VII/2009), seharusnya para penyidik atau institusi penegak hukum mensyaratkan adanya “saringan” atau “penjagaan” agar tak ada penindasan atau anarki sekelompok warga negara pada warga negara lainnya.
MK dalam putusan itu bahwa penerapan Pasal 156a KUHP dengan penafsiran sebagaimana dimaksud permohonan para pemohon adalah ruang lingkup kewenangan mutlak peradilan umum, atau merupakan permasalahan penerapan norma, bukan persoalan konstitusionalitas norma.
Namun, menanggapi putusan ini, Kuasa Hukum Tajul Muluk, Ahmad Taufik kepada para jurnalis seusai siding, seperti diberitakan di www.suaramerdeka.com, mengatakan MK tidak konsisten dalam penerapan yang dinilai melanggar konstitusi. “MK sebagai pengawal konstitusi harus meluruskan dengan memberikan tafsir yang benar supaya bagi penegak hukum di lapangan tidak melanggar aturan hukum, terutama konstitusi,” kata Taufik.
Dengan ditolaknya permohonan ini, Taufik akan melakukan upaya melakukan pengujian ketentuan tersebut dan mencari bukti lain agar permohonannya tidak “nebis in idem“. “Masih ada celah-celah hukum yang akan kami cari, bisa saja dengan pemohon yang berbeda,” ungkap Taufik. “FiatJustisia Ruat Coelum– Walau Langit Runtuh Keadilan Harus Ditegakkan.” Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini akan hancur jika keadilan diabaikan, apalagi jika para “wakil” Tuhan, ternyata tak tahan godaan uang dan kekuasaan. Seperti yang terjadi di Lembaga yang mengaku sebagai Pengawal Konstitusi. (MA)