Berita
Minyak membumbung, ruang manuver fiskal semakin sempit
JAKARTA. Ruang gerak (manuver) pemerintah untuk kebijakan fiskal dinilai semakin sempit. Pasalnya, banyak program yang membutuhkan dana yang cukup besar.
Direktur jasa keuangan dan analisis moneter Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Sidqy Suyitno mengatakan, ancaman gejolak harga minyak berisiko cukup besar bagi stabilitas fiskal dan moneter. Sebab, harga minyak dunia yang sulit diprediksi, bisa berimbas pada inflasi dalam negeri.
Untuk itu, pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar untuk menjaga stabilitas fiskal di dalam negeri, terutama yang muncul bukan dari gejolak pangan, tapi dari ancaman gejolak harga minyak dunia.
Ia mengatakan, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) memiliki kewajiban menjaga inflasi dengan instrumen fiskal. Namun, untuk kondisi saat ini, instrument fiskal saja dinilai tidak cukup. “Kondisinya, ruang manuver fiskal kita semakin sempit,” singkatnya.
Menurut dasar pertimbangan ruang manuver fiskal semakin sempit karena berbagai rencana pemerintah dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi agar lebih tinggi dengan merealisasikan konsep-konsep transformasi ekonomi. Ia mencontohkan, seperti masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pertumbuhan infrastruktur, serta penambahan anggaran bagi realisasi program pengentasan kemiskinan cluster keempat atau program pro rakyat.
Untuk merealisasikan rencana-rencana pemerintah tersebut, katanya, anggaran yang dibutuhkan tentu sangat besar. Hal itulah yang membuat ruang fiskal menjadi lebih sempit untuk dipergunakan menjaga stabilitas moneter dalam negeri.
“Mengenai apakah perlu penambahan cadangan fiskal atau bantalan fiskal, itu kewenangan Kementerian Keuangan. Tapi dikhawatirkan, kalau ada gejolak harga minyak dan ruang yang terbatas, bisa-bisa fiskal kita tidak kuat,” tandasnya.
Ia menilai, langkah nyata yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperbesar ruang manuver fiskal adalah dengan penghematan anggaran. Namun, hal tersebut terbilang sulit dilakukan mengingat kebutuhan pemerintah yang cukup besar baik di bidang pendidikan, kesejahteraan rakyat, hingga politik-hukum-keamanan (Polhukam).
“Tapi ini penghematan kan terus diupayakan dan sudah mulai dilaksanakan seperti pembangunan gedung enggak, perjalanan dinas yang enggak perlu diminimalkan,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis bilang, dana penghematan sebesar Rp 16,5 triliun yang sempat diutarakan Menteri Keuangan, belum dapat dipergunakan sebagai bantalan fiskal. “Dana itu kan anggaran dari hasil penghematan, belum bisa dipergunakan kalau belum disetujui DPR. Kalau pemerintah mau mengalokasikan untuk bantalan fiskal, mekanismenya harus terlebih dahulu dirumuskan dalam APBN-P 2011,” tuturnya.
Menurutnya, anggaran yang bisa dipergunakan untuk menjaga stabilitas fiskal dan moneter dari gejolak harga minyak saat ini adalah anggaran risiko fiskal yang dalam APBN 2011 dianggarkan sebesar Rp 3,5 triliun. Namun, katanya, anggaran tersebut dinilai jauh dari kebutuhan dan perlu ditambah.
Perhitungannya, dalam jangka waktu satu bulan, untuk menghadapi gejolak harga minyak dunia yang berimbas pada kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP), pemerintah membutuhkan anggaran sebesar Rp 1,9 triliun untuk menambah alokasi anggaran subsidi. Anggaran risiko fiskal APBN 2011, diakui hanya mampu menopang kebutuhan dalam dua bulan saja.
Maka, pemerintah bisa mengambil langkah untuk melakukan penghematan anggaran kedua kalinya untuk memenuhi kebutuhan dana bantalan fiskal yang cukup besar. Sementara itu, ia mengaku, pihaknya masih menunggu langkah konkret pemerintah.
“Saat ini, pemerintah kelihatannya sedang kebingungan dalam mengambil langkah. Harus ada ketegasan dari pemerintah untuk menyikapi kondisi kenaikan harga minyak agar anggaran negara tidak habis hanya untuk subsidi saja,” imbuhnya. kontan.co.id