Berita
Mimpi Basah Wahabi Mengganti Pancasila
Pembahasan tentang Pancasila sebagai dasar negara seperti tak ada matinya. Sejak dideklarasikan Bung Karno 68 tahun lalu, hingga kini polemik tentangnya masih tetap ada. Seiring dengan itu, wacana untuk mengganti dasar negara terus saja didengungkan dan kini semakin gencar, terutama di kalangan mereka yang sejak dulu memang ingin mengubah Republik Indonesia menjadi sebuah negara agama, Negara Islam.
Terkait hubungan Pancasila dengan Agama, Jumat (14/2) kemarin Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) menggelar diskusi sekolah agama serial “Agama dan Pancasila: Menakar Ulang Tafsir dan Makna Pancasila Sebagai Ideologi Nasional.” Acara dilaksanakan di Megawati Institute, Menteng, Jakarta Pusat.
Hadir sebagai pembicara Prof. Dr. Musdah Mulia, Dr. Yudi Latif, K.H. Masdar Farid Mas’udi, Pendeta Yewangoe dan Romo Andang Binawan. Dimoderatori Mohammad Munif, tiap pembicara hanya diberi waktu pemaparan tak lebih dari lima belas menit. Meski terkesan terlalu singkat, namun dengan bervariasinya latar belakang narasumber, diskusi itu pun menghadirkan pandangan cukup luas bagi para peserta yang hadir.
Hal menarik dan relevan dengan munculnya kembali ide mengubah negara Indonesia menjadi negara Islam akhir-akhir ini adalah paparan dari K.H. Masdar Mas’udi. Masdar menjelaskan bahwa bentuk negara Islam sejak jaman Nabi Muhammad itu tidak ada. Bahkan negara Madinah yang Nabi pimpin pun, menurutnya juga bukanlah negara Islam dalam bentuk Politik. “Kalau merujuk pada kebiasaan penafsiran kaum fundamentalis, istilah negara Islam itu sendiri sebenarnya adalah bid’ah” tegasnya.
Apalagi di Al-Quran tidak ada sebutan khusus untuk negara Islam. Jika dalam hadis pun ada disebutkan, tapi maknanya bukanlah sebuah negara Islam, melainkan Daarus Salaam (berarti negeri yang damai), yang bila ditelaah lebih lanjut justru bermakna surga. Jadi apa yang tertera dalam hadis itu lebih bermakna sosiologis, bukan politik ideologis. Artinya, Darul Islam lebih menekankan pada negeri yang penghuninya mayoritas Muslim, bukan negara Islam.
“Darul Islam dalam makna politik ideologis, sebuah negara dengan basis konsep ideologi, politik dan lain-lain berlabel Islam, itu tak ditemukan dalam dokumen Islam, baik Al-Quran maupun Hadis,” lanjutnya sambil menekankan bahwa hal paling pokok dari konsep negara itu bukanlah labelnya, tapi kualitas perilaku manusia-manusia yang ada di negara itu.
Diskusi yang dimulai pukul 15.00 WIB dan dihadiri berbagai kalangan itu semakin hangat dengan respon beragam para peserta. Meski moderator tampak kewalahan memandu diskusi, namun acara tetap berjalan lancar hingga berakhir pukul 18.00 WIB. (Lutfi/Yudhi)