Berita
Mewaspadai Radikalisme pada Generasi Milenial
Jakarta – Radikalisme agama di Indonesia menjadi ancaman serius bagi eksistensi negara dan keutuhan bangsa, terutama bagi kelompok minoritas keagamaan. Gerakan kaum radikal sudah merambah di berbagai bidang, terutama lembaga pendidikan dan pemerintahan. Atas dasar itu, Pusat Kajian Kebudayaan & Peradaban Baru Islam (PUSKABI) ICC bekerja sama dengan Litbang DPP Ahlulbait Indonesia menggelar Diskusi Publik dengan tema “Mencegah dan Menanggulangi Radikalisme pada Generasi Milenial” sebagai salah satu rangkaian Seminar Internasional Imam Ridho dan Dialog antar Agama, Jakarta, 19 Januari 2019.
Hadir sebagai pembicara pertama, Agus Muhammad, Peneliti dari Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), menyatakan bahwa Indoktrinasi radikalisme ternyata tidak jauh dari lingkungan pemerintahan sendiri. Agus memaparkan ada 11 masjid di kementerian, 11 masjid di lembaga negara, dan 21 masjid di BUMN yang terpapar paham radikalisme. Dari 41 masjid itu, 17 di antaranya berkategori radikal tinggi.
“Walaupun temuan P3M lebih bersifat indikatif ketimbang konklusif, namun angka-angka ini cukup mengkhawatirkan. Karena ini masjid-masjid pemerintah, yang mestinya lebih menyuarakan moderasi, perdamaian dan penghormatan terhadap sesama manusia. Tapi ternyata itu tersusupi, bagaimana dengan masjid-masjid di masyarakat.” Ungkap Agus.
Baginya, Radikalisme ibarat bibit dari sikap kaku, hitam putih yang berada di lahan yang tepat untuk bisa tumbuh dan ia butuh pupuk untuk dapat segera berbuah. Bibit radikalisme tumbuh subur di lingkungan masyarakat yang tingkat pendidikan atau tingkat keterdidikan (literasi) rendah dan mendapat provokasi dan ideologisasi dari para radikalis.
Menurut Agus, satu hal penting yang harus dilakukan adalah menguatkan keyakinan. Sikap moderat/ tawasuth itu adalah pilihan satu-satunya. Karena di dunia ini hampir tidak ada tempat-tempat yang homogen. Kita harus terus menerus menanamkan keyakinan bahwa Islam adalah ajaran yang moderat dan bisa menerima kehadiran orang lain.
Pembicara kedua, Sekjen DPP Ahlulbait Indonesia, Ahmad Hidayat menegaskan bahwa loyalitas kebangsaan jamaah Ahlul Bait di Indonesia tidak dapat diragukan lagi. “Bagi kami cinta Tanah Air merupakan bagian dari keimanan dan perintah agama.” Tegasnya.
Menurutnya, ancaman radikalisme itu terjadi ketika tidak mampu menyeimbangkan antara apa yang dipahami sebagai satu sistem penanaman nilai kesadaran dengan sikap hidup dimana dia berada. Manusia yang berkesadaran, tidak pernah menganggap orang lain sebagai suatu ancaman bagi dirinya, sehingga seakan-akan membolehkan untuk ofensif. Bagi kaum radikalis, kelompok yang berada di luar kelompoknya dianggap sebagai musuh dimana mereka harus berlepas diri bahkan harus menyatakan permusuhan dengan kelompok lain.
Di dalam al-Quran disebutkan bahwa kita tidak boleh lemah dalam menjaga kehidupan komunal, sebagai masyarakat dan bangsa. “Kita di masyarakat Syiah, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita diperintahkan bahwa kecintaan kita terhadap tanah air sebagai bukti bahwa kita adalah orang yang memang mengikuti prinsip-prinsip agama untuk dijunjung tinggi di bumi manapun kita berada dan mempertahankannya sebagai konsensus yang disepakati dalam sebuah negara adalah bentuk ketaatan kita dalam beragama.” Pungkasnya. (Aba Haidar)