Berita
Mereguk Spirit Merah Putih Bung Engki
Nama lengkapnya Engki Koto. Ia biasa disapa Bung Engki. Bersama istri dan dua anaknya, pria kelahiran Minangkabau Sumatera Barat itu, kini tinggal di wilayah Ibu Kota Jakarta. Seperti ayah pada umumnya, ia juga sehari-hari bekerja mencari nafkah demi menghidupi keluarganya.
Di samping kesibukannya bekerja, ia juga aktif dalam sebuah kelompok diskusi kebangsaan, dan kajian-kajian keagamaan tentang ketuhanan. Melihat kondisi bangsa dan negara saat ini, cukup membuatnya resah dan tergerak hati untuk terlibat melakukan perbaikan-perbaikan. Hal itu yang menyadarkannya pula bahwa masalah hidup tak sebatas kerja dan mengurus keluarga.
Tahun 2011 ia beserta kelompok diskusinya membentuk sebuah organisasi yang dinamai Semangat Merah Putih (SEMERU). “Dari filosofi nama, ada kaitannya dengan nama gunung di Jawa Timur. Yaitu gunung Semeru. Secara alami, gunung merupakan pasak bumi, kokoh, kuat dan menjaga keseimbangan. Itu semangat yang kita ambil dalam konteks gunungnya. Tapi dalam konteks merah-putihnya, bendera merah-putih yang fisik itu bisa diturunkan, bisa dilipat dalam arti ‘tak berdaya’. Namun nilai dan semangatnya lah yang kita ambil. Pesan-pesan di simbol negara yang berani dan jujur (merah-putih) itu yang kita ambil,” kata Bung Engki.
SEMERU pun hingga saat ini masih menjadi bagian dari perjuangan Bung Engki. Selain diisi dengan diskusi mingguan dan bulanan, SEMERU juga memiliki gerakan membangun kesadaran terhadap lingkungan. “Inti dari kegiatan kita, dalam mengatasi problem bangsa, harus merubah mindset, pemikiran yang gerakannya kita mulai dari membangun kesadaran, dan cara pandang. Ketika melihat orang menyapu jalanan banyak yang menyebut dia sebagai tukang sampah. Pandangan kita lain. Mereka pahlawan kebersihan. Tukang sampah itu ya masyarakat yang membuang sampah,” Bung Engki menyontohkan.
“Selama ini masyarakat menilai, masalah lingkungan dan kebersihan adalah tanggungjawab pemerintah. Pemerintah yang hanya segelintir orang meng-handle 250 juta orang, ini kan nggak logis. Ketika seorang mempermasalahkan sesuatu, ia sedang bermasalah dengan dirinya. Kalau dia memahami apa yang dipermasalahkan, ia akan menjadikan solusi bukan tuntutan.”
Membangun kesadaran masyarakat yang berketuhanan dan berkebangsaan menuju masyarakat yang adil dan beradab, merupakan bagian dari misi dan visi pergerakan SEMERU yang dilandaskan pada falsafah Pancasila.
SEMERU dan Hari Kebangkitan Nasional
Terhadap Hari Kebangkitan Nasional bulan ini, SEMERU memiliki cara sendiri dalam menyikapi. Bung Engki menuturkan bahwa peringatan hari-hari bersejarah bangsa Indonesia merupakan momentum kebangsaan yang mampu merangkul seluruh elemen bangsa. “Kalau Maulid Nabi itu sektoral, perayaan Natal juga sektoral, hari kebudayaan juga sektoral. Majelis silaturahmi bangsa itu di momen sejarah,” kata Engki.
Menurutnya pula, selama ini hari-hari besar, seperti peringatan Proklamasi, hari lahirnya Indonesia hanya diperingati di kantor-kantor instansi dan sekolah-sekolah saja. Sementara masyarakat hanya mengisinya dengan aneka macam lomba tapi nilai patriotisme dan nilai-nilai kebangsaannya tidak tersentuh.
Dalam hal itulah SEMERU mengambil peran, melibatkan masyarakat untuk kembali mengingatkan perjuangan bangsa ini. “Misalnya, seperti yang kita lakukan kemarin 17 Mei 2015. Kita turun ke Bundaran HI menghimbau masyarakat untuk merapatkan barisan, meningkatkan semangat kebangsaan.”
Contoh lain, SEMERU juga masuk ke duania pendidikan. Mengadakan lomba di sekolah-sekolah dengan menyisipkan orasi-orasi kebangsaan.
Musuh Bangsa dan Negara Indonesia
“SEMERU tidak punya musuh. Kalau dibahasakan kita punya musuh, bukan musuh SEMERU. Tapi musuh bangsa. Apa musuh bangsa? Perpecahan, keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Itu musuh. Kalau cuma beda suku, agama, ras, budaya, itu sudah niscaya sebagai negara Pancasila yang berbhinneka.”
Perbedaan dipandang sebagai sebuah potensi dan sinergi untuk kebangsaan. Bukan untuk dibenturkan. Kembali Bung Engki mengingatkan, “Orang yang berseteru atas dasar perbedaan tak memahami apa itu makna kebhinnekaan. Perbedaan itu justru kekayaan yang dapat disinergikan.”
Mengubah Cara Pandang
Seorang teman berbincang dengan Bung Engki. Ia membandingkan Presiden saat ini dengan Presiden Soekarno saat itu. “Seandainya pemimpin sekarang seperti Soekarno,” katanya. Ia merasa tahu bahwa dalam diri Soekarno terkandung nilai-nilai kepribadian yang luar biasa. “Kalau sudah melihat, kenapa kau suruh orang lain mengambil nilai-nilai itu? Kenapa tidak kamu ambil untuk dirimu, paling tidak kita dapat menjadi Soekarno di diri kita dalam konteks keindonesiaan,” sanggah Engki.
Menurut Engki, tokoh bukan untuk dijadikan idola. Tapi inspirator. Karena kalau ada yang diidolakan, ada yang mengidolakan. Keduanya terpisah. “Kalau kita ambil menjadi ispirator, dia akan jadi diri kita itu sendiri.”
SEMERU bicara tentang kebangsaan. Koridornya jelas. Ada kebhinnekaan, ada keragaman. Pusat perhatiannya tertumpu pada Pancasila. Sila pertama. Bisa dipastikan, apapun agamanya, apapun keyakinannya, manakala urusan dia dengan Tuhan yang ia imani sudah benar, ia akan menjadi manusia yang adil dan beradab. Akan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
“Mau dia ulama, pendeta, ustaz, kalau tindakan dan ucapannya memprovokasi umat, berindikasi memecah-belah umat dan bangsa, sesungguhnya dia bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang dia yakini.”
SEMERU dan Masa Depan
“Pengelola makam Bung Hatta pernah bercerita, di sejarahnya, Bung Hatta berjanji tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta lahir tahun 1902. Indonesia merdeka 1945. Di usia sekitar 43 tahun ia baru menikah. Ini bukan sekadar cerita sejarah tapi ada semangat kebangsaan yang bisa saya ambil,” Bung Engki bercerita.
Pada momen Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908, Ki Hajar Dewantara, dr, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker yang dijuluki “Tiga Serangkai” telah bicara tentang kemerdekaan Indonesia, walau belum tahu kapan akan merdeka dan mungkinkah Indonesia merdeka. Tapi wacana semangat itu sudah tertanam. Barulah 20 tahun kemudian terjadi Sumpah Pemuda 1928, dan 17 tahun kemudian (1945) Indonesia merdeka.
“Kami di sini terinspirasi bahwa apa yang diperjuangkan SEMERU saat ini bisa jadi bukan kami yang menikmati. Tapi anak cucu kita nanti,” tutur Engki.
“Kami berharap terwujudnya masyarakat yang berketuhanan dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Dari masyarakat itulah lahir pemimpin bangsa, penyelenggara negara. Daripada kita memprotes kebijakan pemerintah saat ini, lebih baik kita mempersiapkan generasi yang akan mengelola pemerintahan nanti.”
SEMERU tidak merekrut orang. Tidak membuka pendaftaran. Juga tidak memungut iuran keanggotaan. “Karena dengan merekrut, membuka pendaftaran dan mengumpulkan iuran anggota artinya, arahnya adalah membesarkan organisasi. Sementara SEMERU ini untuk bangsa. Sehingga siapapun yang peduli dengan bangsa dan tanah air ini, kita anggap mereka sudah SEMERU.”
Ada dua hal yang harus dipahami dari SEMERU. Sebagai organisasi, dan sebagai spirit atau ideologi kebangsaan. “SEMERU sebagai organisasi pada saatnya nanti harus kita bubarkan. Kita membentuk organisasi bukan untuk organisasi, tapi untuk kebangsaan. Manakala semua masyarakat Indonesia sudah Semangat Merah Putih, buat apalagi organisasi yang sempit. Organisasi SEMERU didirikan untuk dibubarkan,” pungkas Engki. (Malik/Yudhi)