Berita
Merawat Pemikiran para Guru Bangsa
Nurcholish Madjid Society menyelenggarakan diskusi publik bertema Merawat Pemikiran Guru-guru Bangsa, dalam hal ini pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), dan Buya Syafi’i Ma’arif. Acara diselenggarakan Rabu siang, (12/4) di Hotel Atlet Century Park, Senayan Jakarta Selatan.
Kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya menyemai kembali nilai-nilai kebangsaan dengan merawat pemikiran para guru bangsa. Selain itu juga sebagai upaya memperkokoh ideologi bangsa dari ancaman sekelompok orang yang mengusung paham khilafah untuk menggantikan Pancasila.
Hadir sebagai pembicara, Abdul Mu’thi dari PP Muhammadiyah,Mohamad Sobary (Budayawan) dan Yenny Wahid (The Wahid Institute).
Abdul Mu’thi menerangkan, pemikiran tentang keindonesiaan para guru bangsa itu dapat dilihat dari berbagai karya bukunya. Khususnya tentang bagaimana sesungguhnya wajah Indonesia dalam perspektif yang mencerminkan wajah ajaran Islam.
“Tulisan-tulisan Buya Syafi’i sampai terakhir saya kira masih mencerminkan konsistensi yang luar biasa tentang integritas Indonesia,” kata Abdul Mu’thi.
Selain itu, Buya Syafi’i merupakan sosok yang berani mengambil resiko dalam menuangkan gagasan dan pemikirannya tentang kemanusiaan dan kebhinnekaan, di saat para intelektual lebih banyak diam dan memilih zona aman daripada harus menghadapi berbagai ‘serangan’ dan kontroversi dengan menyampaikan pandangannya.
Selaras dengan tema, Mohamad Sobary mengurai tentang apa itu guru bangsa. Menurutnya, guru bangsa yaitu guru laku, saleh dalam budaya, dalam menata umat dan perilaku, atau secara umum disebut saleh secara sosial.
“Banyak kemungkinan kaum nahdliyin pintar-pintar, tapi berapa orang yang akhlaknya dan keilmuannya seperti Gus Dur?” tanya Sobary.
Sobary menyebut, guru bangsa yang pertama adalah Rawamangun.
Rawamangun memiliki kesalehan sosial bukan kesalehan keagamaan. Beliau berbicara mengenai sastra. Bagi Rawamangun, sastra itu punya makna, dan punya sentuhan. Bisa menyentuh jiwa manusia, dan rumusnya adalah religiusitas.
“Walaupun banyak lulusan dari fakultas sastra tapi yang paling menyentuh adalah Rawamangun,” imbuhnya. Banyak alumnus sastra menurutnya hanya terpaku pada teori-teori saja.
Lanjutnya, guru bangsa juga dicontohkan oleh Cak Nur. Kesalehannya bukan hanya sekedar laku agama saja tapi juga sosial. Hingga akhirnya Cak Nur mendirikan Paramadina dan yang ngaji di sana orang hebat-hebat semua.
“Intinya, Cak Nur itu menghargai orang ketika berada dalam lingkungannya. Cak Nur menghargai semua golongan,” kata Sobary.
Sementara itu, Yenni Wahid memaparkan, bahwa agama merupakan pakaian jiwa sebagai suri tauladan bagi manusia.
“Ternyata banyak ilmu mengenai sinergi keislaman, di antara guyon-guyon yang terjadi antara Gus Dur,
Buya Syafi’i, dan Cak Nur,” kata Yenni.
Tiga tokoh tersebut menurutnya memiliki gagasan Islam yang membumi, yang perlu dikaji dalam realita dan kehidupan sekarang ini.
Lebih lanjut Yenni menjelaskan, kalangan muda saat ini banyak terjebak dan keliru dalam memahami Islam. Hingga akhirnya muncul radikalisme. “Ini sangat meresahkan,” ungkapnya.
Menurutnya, Cak Nur merupakan tokoh yang memiliki terobosan pemikiran Islam progressif, jauh ke depan. Sedangkan Gus Dur, dalam tindakannya ditunjukkan dengan pembelaannya terhadap kelompok minoritas dalam menuntut keadilan. Meski pada akhirnya, pembelaannya terhadap kaum lemah itu seringkali membuatnya juga dilemahkan.
(Ahyar-Malik)