Artikel
Merawat Islam Rahmatan Lil ‘Alamin Di Bumi Nusantara
Salah satu sebab tumbuh dan berkembangnya sebuah benih tanaman, tergantung pada subur tidaknya lahan. Selain itu, bergantung juga pada bagaimana perawatannya. Itu hanya sekedar analogi untuk mempermudah memahami bagaimana sebuah paham keagamaan dan keyakinan seseorang tumbuh subur dalam lingkungan masyarakatnya. Sebagaimana tumbuhan tadi, lahan dan masyarakat juga berperan dalam perkembangan paham-paham agama dan keyakinan.
Islam sebagai agama cinta, penuh rahmat bagi alam semesta merupakan bibit sempurna karunia Allah swt. Demi menjaga kesucian dan kesempurnaan agama-Nya, dan demi tumbuh subur rahmat-Nya, Dia menitipkan kepada makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna di dunia yaitu para Rasul dan Wali-Nya.
Dalam menerima amanat-Nya, Rasulullah Muhammad saw. tidak serta-merta diutus untuk menyampaikan agama cinta itu di lahan subur dalam masyarakat yang mudah kompromi. Melainkan pada lahan tandus yang penuh kebencian dan budaya kejahiliahan bangsa-bangsa Arab pada saat itu.
Kenapa diutus di lingkungan bangsa-bangsa Arab? Tidak di tempat lainnya? Banyak jawaban tentunya, tapi di sini kita coba menerka-nerka alasannya; yaitu kejahiliahan bangsa-bangsa Arab saat itu memang jauh dari akhlak yang baik sebagaimana banyak sejarah menceritakan. Ini juga dapat menjadi penjelas tentang misi utama diutusnya Nabi saw. dalam menyebarkan ajaran-Nya adalah memperbaiki akhlak. Kenapa tidak di Indonesia misalnya? Walau jauh dari agama Islam saat itu, nenek moyang Indonesia telah memiliki banyak tradisi, agama, keyakinan pada leluhur maupun Sang Pencipta yang nilai-nilai keyakinannya justru telah mencerminkan sikap Islami penuh akhlak dan toleransi. Tidak memperbudak satu sama lain seperti bangsa Arab, dan mengerti bagaimana menghargai alam sebagai manifestasi ciptaan Tuhan. Warisan leluhur itu masih ada di tengah-tengah kita. Berbagai aliran kepercayaan dan keyakinan yang menerapkan akhlak dan nilai-nilai Islami walau tak memeluk agama Islam itu masih ada.
Rasululah dalam menyebarkan ajaran-Nya, tak sedikit yang menentang bahkan memeranginya. Mau tak mau, demi melindungi amanah yang dititipkan oleh-Nya, berbagai peperangan pun tak dapat dihindarkan. Hal itu telah menjadi catatan sejarah dalam dunia Islam. Perlu dicatat pula di sini, perang dalam Islam bukan serta-merta untuk menyebarkan ajaran melainkan lebih tepatnya untuk membela diri dari musuh. Tentu diawali dengan dialog dan upaya perdamaian. Dari sini muncul gambaran struktur masyarakat Islam Arab terutama yang lahir dari hasil perang. Dalam sejarah disebutkan, banyak musuh-musuh Islam saat itu yang kalah perang kemudian masuk Islam. Bahasa kasarnya, masuk Islam secara politik. Secara lahiriah Islam, secara batiniah masih diragukan. Tentu dengan berbagai latar belakang; entah ingin mendapat ampunan dan dibebaskan dari status sebagai tawanan perang, atau agar mendapat jatah dari Baitul Mal karena setelah kalah perang menjadi miskin, atau justru supaya mempermudah menyerang Islam dari dalam yang kemudian Rasul sering menyebutnya sebagai orang munafik, dan sebagainya.
Islam pun hingga kini telah tersebar di berbagai penjuru dunia. Tak terkecuali Indonesia. Bahkan dalam perkembangannya, Islam di Indonesia ini memiliki jumlah pemeluk terbesar di dunia. Bagaimana bisa? Bukankah Islam dilahirkan di Arab sana? Seolah tak percaya, tapi itu faktanya.
Kalau melihat bangsa-bangsa Arab di Timur Tengah saat ini, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa Islam politik sebagaimana disebut di atas telah mendominasi kawasan itu. Sangat mudah menilainya, lihat saja misalnya negeri Palestina yang diapit oleh bangsa-bangsa Arab. Hingga saat ini Palestina belum merdeka karena penguasa-penguasa Arab di sana lebih memilih tunduk pada Israel dan Amerika. Atau tradisi perbudakan yang masih diterapkan Arab Saudi terhadap rakyat Yaman yang hingga saat ini mendapat perlawanan. Atau, menjamurnya kelompok radikal ISIS di Suriah dan Irak.
Tapi, jauh dari tempat lahirnya Islam, Nusantara justru menjadi lahan subur bagi berkembangnya Islam. Tak ada darah tumpah dalam sejarah perkembangan masuknya Islam ke Indonesia. Budaya luhur, akhlak dan budi pekerti masyarakatnya memudahkan mereka untuk menerima. Kultur masyarakat yang mencintai kebaikan, perdamaian dan kasih sayang memudahkan pertemuan antara hati yang sejalan dengan ajaran.
Kalau boleh membandingkan antara Islam di Nusantara dan di Timur Tengah sana, akan kita dapati banyak perbedaan. Di Timur Tengah, merupakan tempat lahirnya Islam, bahasa yang dipakai adalah bahasa Arab (bahasa Alquran), satu daratan, mayoritas Islam, tapi terpecah-pecah menjadi berbagai negara, dan kerajaan. Konflik pun hampir menghiasi media pemberitaan setiap hari. Berbeda dengan Indonesia, berbagai macam suku, agama, ras, budaya, dari ribuan pulau yang berbeda, lebih memilih melebur menjadi satu demi terwujudnya rumah bersama yaitu Indonesia.
Kalau diukur dari jarak waktu, Islam masuk ke Indonesia jauh hari dibanding di Timur Tengah sana. Kalau diukur dari geografis, Indonesia jauh dari tempat lahirnya Islam pertama. Kalau diukur dari bahasa, terlalu banyak bahasa di Indonesia yang tak satupun sama dengan bahasa Alquran. Tapi faktanya, Indonesia memiliki pemeluk Islam terbesar di dunia.
Budaya dan agama agaknya menjadi dua hal yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan kita. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat pernah mengatakan, “Anggap saja agama itu dari langit, sedangkan yang beragama itu penduduk bumi. Sebagai penduduk bumi, kita tumbuh dan diasuh oleh budaya dimana kita tumbuh.” Kolaborasi itu pula yang kemudian membentuk watak seseorang dalam beragama. Islamnya orang Arab dengan Islamnya orang Jawa pasti memiliki karakteristik berbeda, karena tumbuh dalam budaya yang berbeda.
Lalu, apakah para pembenci agama yang dibawa Nabi suci utusan Ilahi yang tersebar di Nusantara ini tak menghadapi tantangan yang berati? Tentu tantangan itu selalu ada. Pemeluk Islam politik yang disebut Nabi sebagai kaum munafik akan selalu berusaha memadamkan cahaya kebenaran. Apa yang terjadi di Timur Tengah saat ini dapat diambil kesimpulan umum yaitu konflik yang terjadi adalah konflik antar Islam sejati yang ingin mempertahankan keadilan, dan Islam politik yang berkompromi dengan musuh-musuh Islam demi meraih kekuasaan dan kedudukan yang mereka inginkan.
Apa yang terjadi di sana saat ini sangat mungkin terjadi di Indonesia kapan saja. Islam damai, penuh cinta kasih dan toleransi yang telah tumbuh subur di Indonesia kalau tidak selalu dipupuk dan dirawat, lama-lama akan terserang hama yang menjangkiti sebagaimana di belahan dunia lain telah terjadi. Konflik-konflik kecil, dan bibit-bibit radikalisme anti persatuan dan toleransi saat ini di negeri Indonesia sudah mulai tampak menjamur. Tentu ini akan menjadi tantangan berat bagi rumah besar bangsa Indonesia ke depannya. Maka tugas kita bersamalah merawat Islam rahmatan lil ‘alamin di bumi Nusantara. (Malik/Yudhi)