Ikuti Kami Di Medsos

Akidah

Merancang Piramida Keyakinan; Mengenal Allah

Bertolak dari kesimpulan-kcsimpulan yang lalu, bahwa prinsip agama adalah keimanan kepada Wujud Tuhan yang mcnciptakan alam semesta, dan bahwa pcrbedaan mendasar antara Pandangan Dunia Ilahi dan pandangan dunia materialisme terletak pada ada atau tidaknya keimanan kepada Tuhan Pcncipta alam ini, maka upaya pertama yang perlu dijalani oleh seorang pencari kebenaran sebelum segala sesuatunya, yaitu bagaimana dia memberikan jawaban terhadap pertanyaan, apakah Allah itu ada ataukah tidak?

Baca juga Solusi atas Berbagai Masalah Prinsipal, Ilmu Pengetahuan dan Pandangan Dunia (Bag 2)

Untuk menjawab pertanyaan ini, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pelajaran yang lalu, kita harus menggunakan akal sehingga nanti akan dapat menemukan jawaban, positif ataukah negatif, yang betul-betul meyakinkan. Ketika jawaban itu positif, barulah kita akan membahas masalah-masalah berikutnya, yaitu masalah tauhid, keadilan Tuhan dan seluruh sifat Allah Swt. Sedangkan bila jawaban itu negatif yang berarti bukti atas kebenaran pandangan dunia materialisme, kita tidak perlu lagi membahas semua persoalan yang berkaitan dengan agama.

Pengetahuan Hudhuri dan Pengetahuan Hushuli

Dalam rangka mengenal Allah, ada dua macam pengetahuan di hadapan kita, yaitu pengetahuan hudhuri (presentif) dan pengetahuan hushuli (representatif). Pada pengetahuan hudhuri, seseorang dapat mengetahui dan mengenal Allah dengan jalur hati dan batin (shuhudi, qalbi), tanpa perantara pemahaman-pemahaman yang berupa gambaran konseptual di benak. Jelas bahwa seseorang yang memiliki pengetahuan hudhuri mengenal Allah, sebagaimana yang diakui oleh para arif, tidak membutuhkan argumentasi rasional.

Tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan pada pelajaran yang lalu, pengetahuan hudhuri atau syuhudi tidak dapat dikuasai oleh manusia biasa tanpa terlebih dahulu membina jiwanya melalui sayr wa suluk Islami. Adapun tingkatan-tingkatan yang rendah dari pcngetahuan ini, walaupun dapat dicapai olch orang-orang biasa, tetapi karena biasanya ia tidak dilandasi kesadaran, tidaklah cukup untuk mcmbentuk pandangan dunia yang berlandaskan kesadaran.

Pada pengetahuan hushuli, seseorang mengenal Allah melalui konsep-konsep universal sepcrti Sang Pencipta, Mahakarya, Mahatahu, Mahakuasa dan meyakini keberadaan-Nya. Kemudian, dia menggabungkannya dengan pengetahuan hushuli lainnya hingga dia dapat memperoleh suatu pandangan dunia yang utuh. Semua pengetahuan yang didapatkan manusia dari studi rasional dan argumentasi filosofis, masuk ke dalam pengetahuan hushuli ini.
Ketika manusia telah memiliki ilmu semacam ini, dia pun dapat mcngenal Allah dengan ilmu hudhuri.

Pengetahuan Fitrah

Dalam hadis para Imam as atau ucapan kaum arif, seringkali kita menjumpai ungkapan seperti “Pengenalan fitriah tentang Tuhan” atau “Secara fitrah, manusia mengenal Tuhannya.” Untuk memahami ungkapan semacam ini, terlebih dahulu kita perlu menjelaskan kata fitrah itu sendiri. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti “sebuah bentuk penciptaan.” Sesuatu itu fitriah (dinisbatkan kepada fitrah) ketika bentuk penciptaan suatu makhluk menuntut sesuatu itu.

Dari sinilah kita dapat memerhatikan tiga karakteristik pada pcrkara-perkara fitriah,

  1. Perkara-perkara fitriah adalah titik kesamaan bagi makhluk-makhluk satu spesis, kendati keberadaannya itu berbeda dari sisi kulitas, lemah dan kuatnya.
  2. Perkara-perkara fitriah selalu ada sepanjang hidup manusia. Dan tidak mungkin setiap makhluk mempunyai fitrah yang mengalami perubahan dan perbedaan dari satu masa ke masa.Itulah fitrah Allah yang telah Dia ciptakan manusia atas dasar fitrah itu dan tidak mungkin mengalami perubahan bagi Allah. (QS. al-Rum: 30)
  3. Karena perkara-perkara fitriah itu sebuah kemestian dari penciptaan makhluk, ia tidak diusahakan melalui proses pembelajaran, walaupun untuk memperkuat dan mengembangkannya membutuhkan bimbingan dan arahan.
Perkara-perkara fitri yang ada pada manusia dapat dibagi kepada dua macam,Pertama, pengetahuan-pcngetahuan fitriah yang dimiliki oleh setiap orang tanpa memerlukan proses belajar.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan fitriah. Maka, jika pada seseorang terbukti adanya semacam pengetahuan tentang Allah (ma’rifatullah) yang tidak perlu proses belajar, pengetahuan itu dapat dinamakan pengenalan fitriah terhadap Allah. Apabila terbukti adanya kecenderungan kepada Allah dan kecondongan untuk menghamba kepada-Nya pada setiap manusia, hal itu dapat dinamakan penghambaan fitriah kepada Allah.

Kami telah memaparkan pada pelajaran kedua, bahwa kebanyakan pemikir memandang agama dan kecenderungan kepada Allah termasuk keistimewaan yang ada pada setiap manusia, sebagai perasaan atau kesadaran beragama. Kami pun akan menambahkan di sini bahwa mengenal Allah dapat pula dikategorikan sebagai kelaziman fitrah setiap manusia.

Akan tetapi, sebagaimana dorongan fitriah dalam penghambaan diri kepada Allah itu bukan termasuk dorongan yang berkesadaran (syu’uri), begitu pula dorongan fitriah dalam mengenal Allah itu bukanlah pengetahuan yang berkesadaran, yaitu pengetahuan yang didasari oleh kesadaran dimana orang-orang awam tidak lagi membutuhkan telaah rasional dalam rangka mengenal Allah.

Di samping itu, patut diperhatikan catatan berikut ini, bahwa pada setiap individu terdapat derajat pengenalan kepada Allah yang bersifat hudhuri (presentif) atau fitriah, walaupun derajat ini itu sangatlah rendah. Oleh karena itu, mungkin setiap orang akan meyakini adanya Allah hanya dengan merenung sejenak atau dengan bernalar secara sederhana. Kemudian dia akan berusaha berangsur-angsur untuk meningkatkan dan memperkokoh pengenalannya kepada Allah sampai mata batinnya terbuka, atau bahkan dia akan sampai kepada derajat syu’uriyah, yaitu pengetahuan yang penuh kesadaran.

Kesimpulannya, mengenal Allah secara fitriah, yaitu bahwa hati seseorang dapat mengenal Allah, dan di dalam jiwanya terdapat potensi pengenalan ini secara sadar, yang kemudian dapat menjadi kuat. Akan tetapi, potensi-potensi fitriah ini pada orang awam tidak sebegitu kuat disadari. Maka itu, mereka memerlukan argumentasi rasional. Artinya, selain melalui fltrah, mereka tetap mcmbutuhkan pembahasan rasional untuk dapat mengenal Allah secara sadar.

Pembahasan selanjutnya: Merancang Piramida Keyakinan: Cara Mudah Mengenal Allah

Ayatullah Taqi Misbah Yazdi. Iman Semesta, Merancang Piramida Keyakinan
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *