Berita
Merajut Dialog Agama yang Ramah
Setiap agama memiliki bangunan keyakinannya sendiri dengan teks-teks sucinya. Adakalanya teks-teks suci itu terlihat saling berbenturan, dan menimbulkan banyak perselisihan. Namun bukan berarti bahwa tak bisa dijalin dialog yang ramah antar keyakinan yang sehat. Hal ini rupanya yang menjadi semangat Jaringan Islam Liberal (JIL) saat menggelar kajian “Ayat-Ayat Polemik dalam Al-Qur’an,” di Utan Kayu, Jakarta Timur.
Dalam kajian yang membahas disertasi Mun’in Sirry, Ph.D., Ulil Abshar Abdalla dari JIL menyebutkan beberapa ayat polemik dalam Al-Qur’an yang terkait isu keselamatan, kesempurnaan agama, dan bahkan Trinitas dalam Injil yang sering menuai polemik panjang.
Mun’in dalam karyanya yang membahas ayat-ayat polemik dalam Al-Qur’an mengambil enam ulama yang dipandangnya sebagai ulama reformis, 4 dari mazhab Sunni dan 2 dari Mazhab Syiah. Mulai dari ulama Libanon, Mesir, India, hingga Indonesia. Mulai dari Rasyid Ridha, Hamka, Abdul Kalam Azhar, Thabhathabai, hingga Jawad Mughniyyah.
Dalam tafsiran Rasyid Ridha, Ulil menyebutkan bagaimana upaya Rasyid Ridha menafsirkan ayat “inna diina ‘indallahil Islam,” menerjemahkannya bukan sebagai Islam dalam artian komunitas sosial, tapi sebagai esensi dari agama yaitu ketundukan kepada Sang Maha Kuasa.
“Rasyid Ridha membedakan antara ‘din’ dan ‘millah,’” terang Ulil. “’Din’ adalah agama dalam pengertian sebuah bentuk yang sudah terlembagakan. Sementara ‘din’ dalam ayat tersebut bermakna generik, yaitu ketundukan, submission kepada yang Gaib.”
Hal senada diungkapkan oleh Abul Kalam Azhar yang dengan teori wihdatul adya menyebutkan bahwa yang disebut Islam dalam ayat tersebut bukan dalam pengertian kelompok sosial, tapi esensi semua ajaran yang dibawa Nabi.
Meski dari ke-6 ulama reformis itu ada kesamaan cara pandang yang lebih inklusif dan ramah, tetapi Ulil menegaskan, dalam hal-hal khusus, mereka memiliki perbedaan pandang.
Eksklusivitas Sebagai Penegasan Identitas
Sementara Dr. Septemy Latawa, pembicara dari STT Jakarta mengaku, sebagai seorang Protestan, meski mengapresiasi dan menganggap bahwa cara pandang ulama-ulama reformis Islam ini menarik untuk mewujudkan dialog agama yang ramah, tapi ia menilainya cukup subversif.
“Coba saja hal seperti ini dikhotbahkan di masjid-masjid, pasti akan ada pertentangan kuat,” ujar Septemy.
Menurut Septemy, menunjukkan perbedaan adalah suatu hal yang wajar sebagai penegasan identitas kelompok. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh Jesus. Ia mendukung gagasan Mun’in, tetapi menurutnya tantangannya adalah bagaimana membangun relasi umat beragama itu lebih baik dengan tetap tidak menabrak identitas masing-masing kelompok. (Muhammad/Yudhi)