Berita
Menyoroti Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta kembali menyoroti pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak setelah melakukan pengumpulan data dan menemukan berbagai permasalahan. LBH Jakarta kemudian mengadakan diskusi publik, Kamis (22/2) dengan menghadirkan berbagai pihak seperti Kepolisian dan KPAI untuk membahas persoalan ini.
Diversi sendiri merupakan pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang dinilai dapat meminimalisir anak dari stigma buruk karena berhadapan dengan proses hukum.
Berkaca pada rentannya pelanggaran terhadap hak-hak anak, terutama yang berhadapan dengan proses hukum, LBH Jakarta melakukan penelitian berjudul “Potret Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Kepolisian Sepanjang Tahun 2013-2016.”
Data yang diperoleh dalam penelitian didapat secara langsung dari lembaga Kepolisian (pengambilan data terbatas hanya pada wilayah Kepolisian Polda Metro Jaya dan Kepolisian di bawahnya) melalui mekanisne Keterbukaan Informasi Publik (KIP) serta pengalaman LBH Jakarta dalam mengadvokasi kasus-kasus anak.
Jenis tindak pidana yang kerap dihadapi anak-anak
Sepanjang tahun 2013-2016 LBH Jakarta mengumpulkan data sebanyak 229 anak yang berkonflik dengan hukum. Kasus pidana yang paling banyak menjerat anak adalah pencurian dengan 95 kasus. Berikutnya adalah kekerasan sebanyak 34 kasus; kepemilikan senjata tajam 20 kasus; terkait narkotika 16 kasus; pemerasan 10 kasus; pemerkosaan 3 kasus; pembunuhan, pencabulan, KDRT masing-masing 2 kasus; judi, penghinaan, serta perbuatan tidak menyenangkan masing-masing 1 kasus. Dari 229 laporan yang diterima, sebanyak 17 laporan tidak terisi mengenai klasifikasi kasusnya.
Penahanan masih menjadi opsi pertama
Dari 229 kasus, 122 anak dilakukan tindakan penahanan dan 107 anak tidak ditahan. LBH Jakarta menilai Sistem Peradilan Pidana Anak belum berjalan baik karena penahanan masih menjadi hal yang utama dilakukan. Hal tersebut diperparah dengan adanya over masa penahanan (melebihi waktu penahanan yang telah ditentukan).
Terlanggarnya hak atas bantuan hukum terhadap anak
Dari 229 kasus, sebanyak 51 anak didampingi penasihat hukum, dan 178 anak tidak didampingi penasihat hukum pada tahap I. Sedangkan pada tahap ll sebanyak 61 anak didampingi penasihat hukum dan dan 168 anak tidak didampingi.
Tidak maksimalnya upaya diversi
Pada tahap 1 yaitu pada proses penyidikan, banyak hak anak juga tidak terpenuhi pada laporan yang diterima LBH Jakarta, yaitu terkait upaya diversi. Dari 229 kasus yang masuk, hanya 32 kasus yang dilakukan diversi sedangkan sebanyak 158 kasus tidak dilakukan diversi pada tahap penyidikan. Sebanyak 39 kasus kosong dan tidak diberikan keterangan diversi atau tidak. Selanjutnya, pada tahapan pra-penuntutan (berkas P-21) sebanyak 13 kasus selesai karena laporan dicabut, dan sebanyak 41 kasus selesai karena diversi di tahap pra-penuntutan. Sebanyak 20 kasus dinyatakan berhenti melalui SP3, dan sebanyak 113 diselesaikan di persidangan. Sebanyak 30 kasus tidak diberikan keterangan keberlanjutannya.
Tidak maksimalnya upaya diversi yang dilakukan untuk kepentingan terbaik anak, menurut data yang didapat oleh LBH Jakarta dikarenakan bahwa jenis tindak pidana yang melibatkan anak merupakan jenis tindak pidana yang tidak dapat didiversi (tidak sesuai dengan syaratnya diversi). Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana yang memiliki ancaman pidana lebih dari 7 tahun penjara. Ini merupakan alasan dengan jumlah terbesar upaya diversi tidak dapat dilakukan.
Namun demikian, dari sejumlah data yang diberikan oleh kepolisian dapat diketahui secara jelas adanya kejanggalan dalam proses-proses penangan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Kejanggalan tersebut ditandai dengan adanya ketidaksesuaian data dari kepolisian. Data dari kepolisian menyebutkan jumlah perkara yang masuk dalam kategori yang tidak dapat didiversi namun dilakukan upaya cabut perkara atau diversi dari pihak kepolisian. Dari data di kepolisian dapat diketahui terdapat 150 kasus yang tidak termasuk kasus yang dapat diversi ataupun bukan merupakan delik aduan, namun sebanyak 63 kasus di antaranya dilakukan upaya diversi ataupun cabut perkara.
Sulitnya upaya diversi
Selain belum maksimalnya pelaksanaan diversi sebagaimana dipaparkan di atas, faktor-faktor lain juga muncul menghambat upaya diversi itu sendiri. Misalnya penahanan anak yang dilakukan pihak Kepolisian adakalanya sebagai upaya untuk mengamankan korban dari amukan massa atau ancaman-ancaman lainnya. Selain itu juga persoalan lain muncul ketika keluarga korban tidak bisa menerima upaya diversi dan menginginkan pelaku tetap dipidana; atau pihak pelaku tidak bisa memenuhi tuntutan (syarat diversi).
Ditambah lagi persoalan lain yakni eksploitasi anak dengan memanfaatkan anak sebagai kurir narkotika dan tindakan-tindakan kejahatan lainnya.