Berita
Menyoal Monopoli Tata Kelola Haji
Mengawali tulisan ini, penulis turut menyampaikan belasungkawa mendalam untuk para jemaah yang wafat dalam tragedi haji tahun ini seraya berdoa bagi jemaah lain yang selamat agar dapat menuntaskan prosesi ibadahnya dengan khusuk dan menjadi haji yang mabrur ketika mereka kembali ke Tanah Air masing-masing.
Seperti diketahui, sudah puluhan tahun pemerintah Saudi mengelola pelayanan bagi para jemaah haji. Dengan alasan perbaikan pelayanan, perluasan lingkungan Masjidil Haram kerap dilakukan. Meski sayangnya, pembangunan sejumlah hotel bertingkat dan gedung pencakar langit itu justru mengorbankan sejumlah situs Islam bersejarah yang sangat dimuliakan oleh seluruh kaum Muslimin.
Di sisi lain, gedung-gedung pencakar langit yang oleh sebagian kalangan disebut lebih mirip Las Vegas karena kemegahannya itu pun ternyata tak mampu memberikan jaminan keselamatan yang cukup bagi jutaan jemaah yang melaksanakan ibadah haji.
Sebaliknya di musim haji tahun ini, salah satu crane di area pembangunan dan perluasan Masjidil Haram justru jatuh menimpa para jemaah, mengakibatkan 107 jiwa wafat dan 200 lainnya mengalami luka-luka.
Peristiwa itu pun menyulut gelombang kritik dari berbagai pihak bahwa Saudi tidak mampu mengelola pelaksanaan ibadah haji di dua kota suci umat Islam tersebut.
Ashraf Fahmi, seorang Profesor di universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir mengatakan bahwa Saudi Arabia harus mengakui kesalahannya dalam penanganan pelaksanaan ibadah haji dan secara serius melakukan koreksi.
Tak hanya dari Al-Azhar yang merupakan representasi kalangan akademisi mazhab Sunni dunia, namun kritik juga datang dari ulama Syiah Ayatullah Ja’far Subhani, pendiri Institute Imam Sadiq di Qom Iran yang dalam sebuah seminar menyatakan bahwa tragedi jatuhnya crane yang menelan korban ratusan jiwa adalah akibat kelalaian dan ketidakmampuan Saudi dalam menjaga keselamatan para jemaah.
Belum lagi kering airmata duka dan belum reda kritik mengalir dari sejumlah kalangan, tragedi susulan tak kalah memilukan kembali terulang. Hingga tulisan ini dibuat, sementara dikabarkan 717 orang meninggal dunia dan 863 lainnya mengalami luka-luka dalam apa yang disebut Tragedi Mina, saat jemaah dalam perjalanan menuju pelaksanaan prosesi Lempar Jumrah.
Alih-alih menyampaikan permohonan maaf, Menteri Kesehatan Arab Saudi, Khaled Al Falih justru menyalahkan para jemaah dan menuduh mereka tidak disiplin sehingga mengakibatkan massa berdesakan dan terjadilah tragedi 24 September tersebut.
Seperti dilansir OkeZone, dan dimuat serupa oleh Tempo dan Detik, narasumber Kompas, Sunarko pun mengatakan bahwa ada kelompok jemaah yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan menuju tempat lempar jumrah di Mina.
Detik mengutip juru bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir yang mengatakan kepada wartawan, “Awal kejadian karena ada sekelompok jemaah yang tiba-tiba berhenti, sehingga terjadi penumpukan dan desak-desakan.”
Laporan Detik dan Tempo itu ternyata memiliki benang merah dengan laporan yang disampaikan surat kabar berbahasa Arab Daily al-Diyar, yang menegaskan bahwa konvoi Pangeran Mohammad bin Salman Al Saud yang membawa pengawal 200 tentara dan 150 polisi lah yang telah menyebabkan perjalanan jemaah mendadak terhenti hingga terjadi penumpukan massa berujung maut itu.
Dengan dua kejadian beruntun berbuah jatuhnya ratusan korban jemaah haji, bisa dikatakan Arab Saudi tidak belajar dari kejadian sebelumnya. Fakta ini pun semakin memperkuat kritik yang disampaikan Profesor Ashraf Fahmi dan Ayatullah Ja’far Subhani bahwa memang Arab Saudi tidak mampu mengelola pelaksanaan ibadah haji secara baik dan bertanggungjawab.
Namun pertanyaan terpentingnya adalah: apakah kritikan dari dua ulama besar baik dari kalangan Sunni maupun Syiah dan kejadian kasat mata yang telah merenggut nyawa para tamu Allah itu mampu membuka mata umat Islam untuk mulai mempertanyakan, masih pantaskan Arab Saudi memonopoli pengelolaan pelaksanaan ibadah haji?
Atau hanya akan menjadi catatan sejarah kelam tanpa perubahan berarti demi kebaikan bersama umat Islam sedunia?
Berikut ini di antara daftar tragedi yang pernah terjadi saat pelaksanaan haji sejak era 90-an hingga sekarang.
– 2 Juli 1990: Jemaah terinjak-injak di terowongan Al-Ma’aisim, menewaskan 1.426 orang, dan menjadi insiden paling mematikan yang pernah terjadi saat musim haji di Mekkah.
– 23 Mei 1994: Jemaah terinjak-injak saat ritual lempar jumrah, menewaskan 270 orang.
– 9 April 1998: Jemaah terinjak-injak karena kepanikan di jembatan al-Jamarat, menewaskan 180 orang.
– 5 Maret 2001: Jemaah terinjak-injak saat ritual lempar jumrah di jembatan al-Jamarat, menewaskan 35 orang.
– 11 Februari 2003: Jemaah terinjak-injak saat ritual lempar jumrah, menewaskan 14 orang.
– 1 Februari 2004: Jemaah terinjak-injak saat ritual lempar jumrah di Mina, menewaskan 251 orang.
– 5 Januari 2006: Sebuah hotel dekat Masjidil Haram yang menampung jemaah haji roboh, menewaskan 76 orang.
– 12 Januari 2006: Jemaah terinjak-injak karena terpeleset saat bis pengangkut jemaah tiba di dekat jembatan al-Jamarat, menewaskan 346 orang.
– 24 September 2015: Jemaah terinjak-injak saat ritual lempar jumrah di Mina, sejauh ini menewaskan 717 orang dan melukai 863 orang.
Rentetan peristiwa tersebut belum termasuk insiden kebakaran tenda dan hotel pada musim haji tahun ini juga, yang meskipun tak menelan korban jiwa tapi cukup menciptakan kepanikan dan mengganggu kenyamanan dan kekhusukan jemaah di tengah prosesi ibadah mereka.
Ala kulli hal, sampai kapan kejadian pahit serupa bakal terulang?
Belumkah tiba saatnya para pemimpin Muslim kembali menyerukan baik secara mandiri maupun melalui OKI, lebih lantang bersuara agar negaranya atau lembaga OKI turut serta dilibatkan dalam upaya investigasi setiap tragedi haji, dan ke depan mulai segera merancang sebuah upaya bersama Dunia Islam untuk mengakhiri dominasi dan monopoli pengelolaan ibadah haji semata-mata oleh pihak Saudi? (Lutfi/Yudhi)