Berita
Menyikapi Perbedaan Rukun Iman dan Rukun Islam Sunni dan Syiah
Rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam adalah konsensus atau konvensi, sementara sesungguhnya banyak dasar yang menunjukkan bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam bisa didefinisikan dan ditetapkan sebagai memiliki jumlah dan kandungan yang berbeda.
Sebagian orang, terutama yang tidak akrab dengan literatur Islam, menganggap “Rukun-rukun Iman” dan “Rukun-rukun Islam dalam teologi Asy’ariyah sebagai paket yang disepakati baik isi maupun penafsirannya. Sehingga dijadikan sebagai parameter kesesatan dan kesahihan keyakinan setiap Muslim.
Pertama:
Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat di Indonesia hanyalah interpretasi spekulatif (pemikiran) yang tidak mewakili pandangan teologi Sunni secara menyeluruh, karena Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam himpunan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Aliran teologi Maturidiyah dan Mu’tazilah, yang notabene lebih “Sunni” dari Syiah mempunyai rumusan sendiri tentang substansi Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda dengan rumusan Asya’riyah.
Ahlul Hadis dan teologi Salafi yang mengaku menganut teologi Ahmad bin Hanbal juga memberikan rumusan rinci tentang akidah yang berbeda dengan Asy’ariyah. Sejarah membuktikan adanya ketegangan berdarah antara penganut Asy’ariyah dan Ahlul Hadis, yang sama-sama Sunni, dalam sengketa seputar Kalam Allah.
Kedua:
Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya adalah salah satu penafsiran teologis yang dirumuskan dari sebagian riwayat-riwayat dalam khazanah hadis dan sunnah. Dalam literatur hadis Ahlusunah sendiri terdapat banyak riwayat yang menyebutkan versi berbeda dengan Rukun Iman dan Rukun Islam yang dibakukan dalam teologi Asy’ariah.
Di bawah ini sebagian buktinya, sesuai dengan hadis-hadis sahih di kalangan Ahlusunah.
Hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahîh mereka, bab Al-Imân Mâ Huwa wa Bayâni Khishâlihi:
- Riwayat Imam Bukhari: dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi Saw muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan Anda percaya kepada yang ghaib.’”
- Riwayat Imam Muslim: dari Abu Hurairah, dia berkata, “Pada suatu hari, Nabi Saw muncul di hadapan orang-orang. Kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, ‘Apakah iman itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, percaya kepada pertemuan dengan-Nya, kepada rasul-rasul-Nya dan Anda percaya kepada yang ghaib.’” Hadis di atas menyebutkan bahwa Rukun Iman itu hanya: (1) Beriman kepada Allah; (2) Kepada para malaikat; (3) Kepada kitab-Nya; (4) Perjumpaan dengan-Nya; (5) Kepada para rasul. Tidak ada sebutan apa pun tentang kewajiban percaya kepada Qadha’ dan Qadar.
Hadis sahih dalam riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahîhnya, bab Al-Amru bi Al-Imân bi-Llah wa Rasûlihi, berbunyi sebagai berikut, “Aku perintahkan kamu agar mengesakan keimanan hanya kepada Allah! Tahukah kamu apa iman kepada Allah itu?” Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan salat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadan dan membayar khumus (seperlima dari keuntungan/perolehan).’” (1)
Hadis di atas menegaskan bahwa inti keimanan itu sebagai berikut:
- Bersaksi tiada tuhan selain Allah.
- Bersaksi Muhammad adalah utusan Allah.
- Menegakkan salat
- Membayar zakat
- Berpuasa di bulan Ramadan
- Membayar khumus.
Dengan demikian, ketiadaan unsur-unsur tertentu dalam rumusan Rukun Islam dan Rukun Iman tak niscaya disimpulkan bahwa unsur-unsur tersebut adalah prinsip dan parameter mutlak keislaman dan keimanan seseorang.
Ketiga:
Kata “rukun Iman” dan “rukun Islam” adalah rumusan yang dibuat berdasarkan interpretasi kelompok dan aliran Asy’ariyah, bukan dogma final yang “wajib” diterima tanpa perlu didiskusikan oleh siapa pun, sehingga tidak akan pernah absah menjadi parameter menilai sesat dan tidak sesat kelompok lain. Dengan kata lain, tidak mengikuti rumusan teologi Asy’ariyah yang lazim disebut “Rukun Iman” dan “Rukun Islam” tidak bisa serta merta ditafsirkan sebagai menolak prinsip-prinsip dasar akidah Islam. Menilai apalagi menyesatkan keyakinan orang yang tidak sama keyakinan berdasarkan keyakinan kita sendiri tidaklah bijak dan menghalangi harapan kerukunan antar Muslim.
Keempat:
Enam rukun iman aliran ini didasarkan pada Alquran. Yang perlu diketahui ialah perbedaan antara ‘percaya kepada’ dan ‘percaya bahwa’. Semua item dalam rukun iman itu lebih difokuskan pada ‘kepercayaan kepada’, bukan ‘kepercayaan bahwa’. Padahal kepercayaan kepada Allah, malaikat dan lainnya adalah buah dari kepercayaan bahwa Allah, malaikat dan lainnya. Inilah paradoks yang terlewat oleh banyak orang.
Kelima:
Sumber pembentukan rukun iman dalam aliran Asy’ariyah terkesan berasal dari teks suci. Padahal menjadikan teks sebagai basis untuk merumuskan dasar kepercayaan yang semestinya merupakan produk spekulasi rasional kurang bisa dipertanggungjawabkan. Tapi apabila Alquran dijadikan sebagai dasar keimanan kepada Allah, yang merupakan sila pertama dalam rukun iman, maka konsekuensi logisnya, kepercayaan kepada Alquran mendahului kepercayaan kepada Allah. Bukankah Alquran diyakini sebagai wahyu Allah setelah meyakini keberadaan Allah dan setelah mengimani orang yang menerimanya (Nabi)? Kepercayaan akan keberadaan Allah mesti diperoleh dengan akal fitri sebelum mempercayai Alquran. Alquran adalah petunjuk bagi yang telah beriman, sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat suci di dalamnya. Alquran adalah pedoman bagi yang mengimani Allah dan nabinya. Artinya, Alquran dijadikan sebagai dasar setelah memastikan wujud Allah dan kemestian kenabian Muhammad Saw.
Keenam:
Dalam teologi Asy’ariyah rukun Iman mendahului rukun Islam. Padahal dalam sebuah ayat suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi Saw diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka. Allah berfirman, Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah, “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurât [49]: 14)
Ketujuh:
Rukun pertama dalam Rukun-rukun Iman adalah keimanan kepada Allah. Apa maksud dari kalimat ini? Apakah meyakini keberadaan-Nya saja ataukah keesaan-Nya? Sekadar ‘kata kepada Allah’ masih menyimpan banyak pertanyaan-pertanyaan. Apakah iman ini berhubungan dengan ‘iman kepada’ ataukah ‘iman tentang ketuhanan’? Persoalan teologi tidak sesederhana yang dibayangkan oleh sebagian orang. Pernahkah kita mendengar ayat yang terjemahannya (kurang lebih), Dan sesungguhnya apabila kau (Muhammad) tanyakan mereka, ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan, niscaya mereka menjawab, Allah. (QS. Al-’Ankabût [29]: 61) Bukankah ini sudah memenuhi standar keimanan kepada Allah?
Kedelapan:
Rukun kedua adalah iman kepada malaikat. Mestinya bukan iman kepada para malaikat, tapi iman tentang malaikat. ‘Iman kepada’ mestinya muncul setelah ‘iman tentang’. Selain itu, iman kepada malaikat semestinya tidak muncul setelah iman kepada Allah (iman akan wujud Allah). Bagaimana mungkin bisa meyakini wujud para malaikat lengkap dengan departemen-departemennya sebelum mempercayai Alquran yang mewartakannya? Kemudian, alasan yang mungkin dikemukakan oleh pendukung argumen ini ialah bahwa iman kepada para malaikat itu tercantum sebagai salah satu sifat mukmin dalam Alquran. Memang benar. Tapi, bila kepercayaan kepada atau tentang wujud para malaikat dianggap sebagai rukun (keyakinan fundamental) karena tertera dalam Alquran, maka bukankah seluruh yang diberitakan dalam Alquran juga mesti dijadikan rukun pula. Bukankah semua yang ada dalam Alquran mesti diimani (dipastikan adanya)? Kalau pun keimanan kepada (tentang) para malaikat memang sebuah keharusan, tapi mestikah dijadikan rukun? Apa alasan rasional dan implikasi teologis dari keimanan kepada malaikat sehingga layak menempati urutan kedua dalam rukun iman, apalagi rukun yang mendahului iman kepada kenabian?
Kesembilan:
Rukun ketiga dalam rukun-rukun Iman adalah iman kepada (tentang) kitab-kitab suci. Apa yang dimaksud dengan iman kepada kitab-kitab suci? Apakah kita mesti beriman kepada Injil, Taurat dan Zabur sebagai kitab Allah? Ataukah kita mesti meyakini bahwa Injil, Taurat dan Zabur pernah menjadi kitab-kitab suci? Apakah Alquran juga termasuk di dalamnya? Bila Alquran juga termasuk di dalamnya, maka timbul pertanyaan yang layak dijawab, logiskah mengimani Alquran dari teksnya itu sendiri? Logiskah meyakini Alquran sebagai wahyu karena Alquran menetapkannya demikian di dalamnya?
Selain itu, mestinya keimanan tentang Injil, Taurat dan Zabur sebagai kitab suci bersumber dari Alquran, tapi meyakini Alquran sebagai wahyu Allah bersumber dari kenabian Muhammad Saw. Padahal keimanan kepada para nabi muncul setelah keimanan kepada kitab-kitab suci. Ini benar-benar membingungkan. Lagi pula, apa urgensi keimanan kepada (tentang) kitab-kitab itu sebagai rukun? Mengimaninya memang keharusan, tapi mengapa dijadikan sebagai rukun? Lagi-lagi, bila alasannya dicantumkan dalam daftar rukun iman karena tertera dalam Alquran, maka mestinya banyak hal lain dalam Alquran yang bisa dimasukkan dalam rukun-rukun iman.
Kesepuluh:
Rukun keempat dalam Rukun Iman adalah iman kepada (tentang) para rasul. Apakah yang dimaksud dengan ‘para rasul’ itu semua utusan minus Nabi Muhammad? Bila ya, mestinya hal itu diyakini setelah meyakini kenabian Muhammad Saw. Padahal keyakinan akan kenabian Muhammad mestinya tidak didasarkan pada Alquran, karena keyakinan akan kebenaran Alquran bersumber dari keyakinan akan kebenaran klaim Muhammad Saw sebagai nabi. Keimanan kepada kebenaran Alquran sebagai wahyu adalah konsekuensi dari keyakinan akan kebenaran Muhammad sebagai nabi. Bila tidak, artinya keimanan kepada para rasul plus Muhammad, maka hal itu menimbulkan kontradiksi. Bagaimana mungkin meyakini nabi Muhammad dan para nabi yang tercantum dalam Alquran, padahal keyakinan akan Alquran sebagai kitab wahyu muncul setelah keyakinan akan kebenaran klaim kenabian Muhammad Saw sebagai nabi.
Kesebelas:
Rukun kelima dalam Rukun Iman adalah iman tentang ketentuan Allah, baik dan buruk. Ini salah satu paradoks teologi yang paling membingungkan. Poin kelima ini telah dikritik oleh para teolog Sunni kontemporer karena dianggap sebagai sumber fatalisme.
Keduabelas:
Rukun keenam adalah iman kepada (tentang) hari akhir. Inilah poin keimanan yang letaknya paling sistematis. Ia memang pantas berada di urutan terakhir. Hanya saja, perlu diperjelas, apakah hari akhir itu hari kiamat (di dunia) atau hari setelah kebangkitan (pasca-dunia).
Ketigabelas:
Bila dua syahadat tidak termasuk dalam rukun iman, maka konsekuensinya, manusia yang mengimani enam rukun di atas, meski tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, bisa dianggap
mukmin. Bila rukun Islam tidak menyertakan iman sebagai syarat kemusliman, maka konsekuensinya, seseorang bisa dianggap muslim meski tidak meyakini rukun iman kecuali bila rukun Iman ditetapkan sebagai syarat bagi rukun Islam.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)
Catatan Kaki
- Shahîh Muslim, bab Al-Amr bi Al-Imân bi-Llah wa Rasûlihi