Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Menjawab Tuduhan “Syiahisasi”

Ada dua kemungkinan pengertian “mensyiahkan” atau “syiahisasi”

  • Membuat seseorang terlihat menjadi bagian, menyetujui, atau setidaknya mendukung “Syiah” atau “X” terlepas dari seperti seperti apa keyakinannya sebenarnya.
  • Mengubah keyakinannya (secara persuasif atau pun paksa) menjadi “Syiah” atau “X” dari keyakinan awalnya.

Keyakinan dalam arti hakiki, yaitu apa yang benar-benar dipercayai oleh seseorang, adalah sesuatu yang hanya Allah Swt yang mengetahuinya. Karena itu, penilaian keyakinan seseorang secara lahiriah hanya bisa diketahui dari apa yang diucapkannya, dituliskannya, dan dilakukannya.

Pengertian syiahisasi tidak sesuai dengan semangat Islam seperti yang jelas tertera di Alquran, “lâ ikrâha fî al-dîn” dan, khususnya untuk konversi paksa, bertentangan langsung dengan Pancasila dan konstitusi di Republik Indonesia.

“Mensyiahkan” (juga mensunnikan) adalah kata tak bermakna dan paradoksal, karena;

  • A) Keyakinan adalah peristiwa metafisik dan psikis. Ia adalah premis-premis dan logos yang terbentuk dalam benak secara otomatis, bahkan kadang tidak disadari oleh subjek, terutama bila dihadirkan melalui narasi besar atau premis fundamental, disebut apriori. Karena bersifat subjektif dan metafisik juga psikis, maka ia tidak tunduk pada hukum fisik, termasuk pemaksaan. Hal itu karena pemaksaan hanya akan mencapai hasil maksimal berupa pengakuan verbal semata.
  • B) Pemindahan keyakinan bahkan tentang sesuatu yang tidak bertalian dengan agama mungkin hanya bisa dilakukan bila pihak yang menjadi objek tidak memiliki keyakinan tentang masalah itu, meski secara sosial dianggap penganut keyakinan tertentu berdasarkan hukum relasi tempat.

Indonesia sulit untuk dianggap sebagai negeri berpenduduk mayoritas Sunni. Sunni secara terminologis bukan “selain Syiah”, tapi sebuah mazhab kalam yang didasarkan pada prinsip keadilan sahabat Nabi yang diyakini sebagai penghubung umat Islam dengan Nabi atau Quran dan Sunnah atau Hadis. Artinya, yang benar-benar Sunni secara kemazhaban itu bukan mayoritas.

Pensyiahan adalah frase yang nampaknya hanya menemukan terapannya dalam dunia khayal. Karena jauh hari sebelumnya digemborkan bahwa Syiah adalah kelompok yang menyembunyikan keyakinan asli atau bertaqiyah. Bila taqiyah digambarkan oleh pensesat Syiah sebagai topeng guna menyembunyikan keyakinan, tentu tuduhan pensyiahan tidak menemukan terapan objektif. Orang yang menyembunyikan keyakinan karena menghindari intimidasi orang-orang intoleran tidak akan berkesempatan untuk mengajak orang-orang yang mengiranya semazhab dengannya untuk menganut mazhab yang dirahasiakannya.

Keyakinan adalah logos teologis dan keagamaan manusia. Ia mestinya tertanam berdasarkan pilihan karena kepuasan dan kemantapan, tanpa dipengaruhi oleh faktor selain itu. Karenanya, pensyiahan dan pensunnian atau modus misionari lainnya tidak akan berpengaruh.

Dalam bahasa Arab tidak pernah ditemukan padanan kata Syiahisasi, Sunnisasi, Islamisasi, Kristenisasi. Frase ‘menjadi Syiah’ atau ‘berfaham Syiah’ padanan kata bahasa Arabnya adalah tasyayya’a – yatasyayya’u – tasyayyu’. Jika kata dasar tersebut dipaksakan padanannya dengan kata Syiahisasi, maka menjadi syayya’a – yusyayyi’u – tasy-yî’, namun artinya boleh jadi mengantarkan jenazah, atau menyemangati, dan membakar. Islamisasi juga begitu, mengislamkan orang lain tidak bisa dibahasa Arabkan menjadi sallama – yusallimu – taslîm. Karena ia bermakna berserah diri.

Jika dalam bahasa Arab saja tidak ditemukan padanan katanya, maka agak sulit menggunakannya pada terma hukum / fikih. Sebagaimana halnya tidak ada bab khusus yang menjelaskan larangan Syiahisasi, Sunnisasi, Islamisasi dan Kristenisasi. Jelas ini adalah bidah. Begitupula halnya dengan kata Sunniisasi. Sejak awalnya kedua kata Syiahisasi dan Sunniisasi adalah invalid dari segi bahasa, maka invalid pula dari segi logika.

Penjelasannya adalah bahwa wazn (pola pembentukan kata dalam bahasa Arab) fa’’ala – yufa’’ilu فَعَّلَ ) – يُفَ عِلُ ) yang bermakna men-kan hanya bisa diterapkan pada pekerjaan yang konkret (bukan abstrak). Kalimat Syiahisasi, Sunniisasi, Islamisasi, Kristenisasi berhubungan dengan kognisi yang paling inheren dalam diri seseorang. Ia tidak bisa dipaksakan begitu saja terhadap orang lain. Kedua kata Syiah-isasi dan Sunnisasi secara langsung menafikan independensi manusia karena yang paling primer dalam diri manusia adalah keputusannya untuk meyakini sesuatu. Lain halnya dengan mengajak orang lain untuk menjadi Syiah, Sunni, Islam, dan Kristen. Semuanya itu tidak bisa disebut sebagai proses Syiahisasi, Sunnisasi, Islamisasi, dan Kristenisasi.

Jika larangan Syiahisasi muslim Syiah terhadap muslim Sunni kemudian dianggap sebagai cara untuk menghindari konflik, maka ini sama saja tidak menghargai independensi orang-orang yang diajak dakwah. Kesannya mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki pendirian dalam beragama. Padahal tiap orang dibekali Tuhan dengan fitrah untuk meyakini agamanya secara benar yang secara otomatis tiap manusia tidak bisa memaksakan keyakinannya terhadap orang lain. Lain halnya dengan cara berdakwah, metode meng-ajak orang lain. Tentu saja setiap orang mesti memiliki bekal untuk melakukan hal itu. Sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain yang diajaknya.

Lebih dari itu semua, agama bukanlah properti sekelompok orang atau pun segelintir orang. Ia hanyalah milik Allah. Tidak ada yang berhak menganggap agama sebagai properti golongan tertentu seperti halnya, tanah, rumah, mobil dan bendawi lainnya. Kecuali jika mereka benar-benar memiliki sertifikat dari Tuhan semesta alam. Lalu, tidak ada kepemilikan suatu tanah atas suatu golongan berdasarkan agama atau pun mazhab, sehingga seseorang yang beragama dan bermazhab tertentu tidak berhak mendiaminya. Ia berhak mendiaminya jika ia memiliki sertifikat tanah tersebut.

Karena itu diperlukan seorang ulama untuk menjelaskan batasan-batasan dalam berdakwah dan memperkuat keimanan orang-orang di sekitarnya, bukan mensesatkan orang lain. Bahwa di luar diri kita ada yang berbeda adalah sebuah keharusan karena memang kita makhluk yang beragam dan hanya Tuhan yang Esa. Selain menjelaskan batasan-batasan adanya perbedaan di tengah umat, perlu juga memperkuat keimanan intra mazhab dengan cara menjelaskan keunggulan produknya tanpa mencela produk orang lain yang justru menimbulkan sikap tidak simpati orang lain.

(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *