Berita
Menimbang Kembali Hukuman Mati di Indonesia
Sabtu (2/1) lalu, dunia dihebohkan oleh eksekusi mati yang dilakukan Arab Saudi terhadap 47 orang; yang salah satunya merupakan ulama sekaligus aktivis kemanusiaan, Syaikh Nimr. Eksekusi tersebut menimbulkan gelombang protes terhadap Arab Saudi di sejumlah negara termasuk Indonesia.
Hari ini, (6/1), terkait hukuman mati di Indonesia, Paramadina mengadakan diskusi publik dengan tema “Hukuman Mati dan Revisi KUHP Indonesia” di Aula Nurcholis Madjid, Kampus Paramadina, Jakarta Selatan.
Siti Musdah Mulia, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah yang mejadi pembicara pertama mengatakan bahwa hukuman mati oleh sebagian orang masih dianggap sebagai bagian dari ajaran Islam. Padahal penafsiran ayat-ayat Alquran tentang hukuman mati sangat beragam. Bahkan di kalangan mazhab Sunni dan Syiah pun tidak tunggal dalam menyikapi hukuman mati ini. Kemudian Musdah mencontohkan tentang hukuman bagi pembunuh yang dihukum dengan dibunuh juga atau disebut Qisas. Untuk melakukan Qisas tersebut harus dipastikan dulu apakah pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja atau tidak. Maka diperlukan peradilan yang adil untuk menjawab hal itu.
“Pertanyaannya, apakah pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sudah melalui peradilan yang adil?” tanya Musdah.
Musdah menegaskan bahwa hukuman mati dalam Islam bukanlah sesuatu yang mutlak tapi sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Bahkan penghapusan hukuman mati itu jauh lebih sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam syariah.
Sementara itu, Lucia Ratih Kusumadewi, Dosen Sosiologi Universitas Indonesia, menyoroti hukuman mati dari sisi Sosiologi. Baginya hukuman mati sebenarnya memperlihatkan tanda dari sebuah watak sosial masyarakat tertentu.
Dengan mengutip sosiolog Erich Fromm yang menggambarkan dua tipe masyarakat yaitu masyarakat sehat dan tidak sehat yang erat hubungannya dengan keadaban dalam suatu masyarakat, apakah termasuk yang beradab atau tidak.
Lucia kemudian melanjutkan bahwa ciri dari masyarakat sakit adalah masyarakat yang selalu berada dalam lingkaran kekerasan.
Lalu bagaimana dengan masyarakat kita? Coba kita lihat berita di televisi.
“Itulah yang disebut oleh filosof Jerman ‘kekerasan yang menjadi sesuatu hal yang biasa,’ termasuk dalam hal ini hukuman mati,” terang Lucia.
Sementara saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia masih menghendaki hukuman mati tetap diberlakukan.
“Apakah ini tanda masyarakat kita adalah masyarakat yang sakit?” tanya Lucia.
Bagi Lucia, masalah hukuman mati bukanlah masalah hukum semata tapi masalah yang sangat berakar dalam tubuh sosial kita. Kalau kita mendukung hukuman mati, berarti kita mendukung lingkaran kekerasan itu ada di dalam masyarakat kita.
Pada kenyataannya saat ini, ketika hukuman mati diterapkan ternyata masih belum mampu meredam tindak kekerasan. Hal ini akibat memahami hukuman sebagai sebuah balasan atas kejahatan yang telah dilakukan bukan sebuah upaya untuk penyadaran dan rehabilitasi.
Maka, menimbang kembali hukuman mati di Indonesia masih layak untuk dilakukan.
Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam itu juga menghadirkan Al Aral, Direktur Eksekutif Imparsial dan Anggara Suwahju dari Koalisi Reformasi KUHP. (Lutfi/Yudhi)