Berita
Mengusir Yang Terusir
Oleh Muhsin Labib
Inspirator Utama “Wisdom of Success”
SELAIN dipusingkan kenaikan harga bensin, hati kita juga terenyuh oleh aksi kekerasan atas nama aliran di Sampang yang hingga saat ini tidak diselesaikan sesuai hukum yang adil. Ketika sepuluh orang rela mengayuh sepeda dari Surabaya hingga Jakarta, mereka bukanlah anggota geng sepeda onthel atau aktivis lingkungan hidup. Mereka hanya mencari nurani di Ibukota. Mereka mengadukan nasib teman dan keluarga di Sampang, Madura: perempuan, anak-anak, dan orang-orang tua yang menjadi korban diskriminasi terpadu dan sistematis atas nama agama dan mazhab.
Kasus Sampang menjadi contoh nyata ketakberdayaan hukum dan amanah kebhinekaan yang diembankan kepada orang-orang yang sejak makan dan minum hingga seragam mereka dibiayai uang pajak rakyat, termasuk para pegowes itu. Tragisnya, saat mereka mengayuh sepeda dan rela berjemur di depan Istana untuk bertemu Presiden, anak-anak dan istri mereka diusir untuk kedua kalinya dari Gelanggang Olahraga Kabupaten Sampang, tempat mereka mengungsi selama sembilan bulan terakhir.
Ironisnya, sejumlah instansi pemerintah yang menyaksikan langsung peristiwa itu tak cukup puas dengan hanya menjadi “penonton yang baik” seperti sering mereka lakukan selama ini. Harus diakui, kerapkali terjadi kekerasan yang mendompleng nama iman, aparatur negara bak menyaksikan lakon ludruk kampung tanpa sedikitpun menunjukkan wibawa dan tanggung jawab mereka. Tapi kali ini, di Sampang, pemerintah terkesan menjadi representasi para penyerang yang menerjemahkan kehendak pengusiran sebagai relokasi.
Bukan hal yang sulit untuk tidak menganggap bahwa istighosah yang diprakarsai kelompok penyerang sebagai pengangkangan terhadap hukum dan penghinaan terhadap wibawa negara. Anehnya, pemerintah malah menjadikan itu sebagai alasan untuk menakut-nakuti pengungsi agar menerima relokasi. Akan sangat sulit pula untuk tidak menganggap pengusiran (relokasi) sebagai sebuah grand design terpadu dari pusat, provinsi, dan kabupaten. Terlebih, rencana relokasi sudah diwacanakan jauh hari sebelumnya.
Relokasi tanpa kehendak warga negara apalagi dengan kekerasan fisik seperti terjadi di Sampang jelas melanggar Konstitusi dan undang-undang. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 28E ayat (1) menegaskan bahwa: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Rekolasi juga bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 40 serta bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 12.
Pengungsi Syiah Sampang tegas telah menolak relokasi. Ketegasan mereka telah disampaikan dalam Surat Terbuka kepada Presiden Republik Indonesia pada 3 September 2012. Bahkan, dalam pertemuan dengan Gubernur Jawa Timur, perwakilan mereka tegas menyampaikan penolakan untuk direlokasi ke rumah susun di Sidoarjo, sebagaimana yang terjadi sekarang. Artinya, tak alasan pembenar apa pun untuk mengatakan pengusiran yang terjadi di Kamis siang pekan lalu itu terjadi atas kehendak pengungsi.
Bila tindak intoleran dan pelanggaran HAM ini tetap didiamkan tanpa solusi jelas dan permanen, maka hal ini akan menjadi preseden buruk sekaligus fakta tambahan tentang terjadinya pengkhianatan pemerintah terhadap bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan. Preseden buruk karena pada hari itu negara kalah oleh keinginan yang dipaksakan lewat tindak kekerasan dan pelanggaran HAM. Bayangkan, berapa banyak lagi anak bangsa yang akan terusir dari kampung halaman mereka jika negara terus-terusan manut kepada keinginan sekelompok anak bangsa yang punya kuasa: harta, takhta, dan massa.
Kasus Sampang tidak boleh diseret ke ranah teologi dan hal-hal abstrak yang terbuka bagi beragam interpretasi subjektif. Menyeretnya ke ranah polemik teologis, selain tidak relevan dalam konteks negara yang berdiri di atas asas Pancasila, juga merupakan pengalihan dan pembodohan. Kasus Sampang adalah masalah hukum, undang-undang, keadilan, kebhinekaan, dan kemanusiaan. Hukum dan undang-undang tidak mempersoalkan keyakinan yang tersimpan rapat dalam relung jiwa. Sedemikian tegasnya hukum sehingga andaikan seseorang secara sadar mengaku sesat pun, hukum tidak libur. Dia tetap harus mendapatkan perlakuan hukum yang sama dengan orang-orang yang mengaku sebagai penganut aliran paling benar dan pasti masuk surga.
Masalah keyakinan merupakan tema sosial yang sudah diatur dalam Konstitusi Negara. Dalam hal ini, UUD 1945 sebagai sumber tertinggi dalam hirarki hukum Indonesia sudah mengakui serta menjamin perbedaan keyakinan warganya. Lebih dari itu, Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, dimana keyakinan juga merupakan sebuah hak paten yang tak bisa diganggu gugat oleh siapa pun. Dengan demikian, negara terikat secara hukum (legally binding) dan wajib mengaplikasikan piranti hukum yang sudah ada.
Hal itu juga menegaskan bagaimana posisi dan peran negara sebagaimana mestinya, yakni sebagai pihak yang menjamin, menghormati, dan melindungi hak yang sudah melekat pada setiap warga. Namun, dalam kasus perbedaan keyakinan, kita menemukan sebuah fakta yang membuat kita bertanya-tanya hendak di bawa ke mana bangsa ini?
Kalau saja pemerintah tegas menegakkan hukum tanpa membedakan kelompok dan agama, maka negara akan terlihat berwibawa di mata rakyat dan masyarakat internasional. Menegakkan hukum adalah tugas aparat negara. Hal itu mudah dilakukan, kecuali bila pihak yang mestinya menjadi pengayom rakyat itu malah terlibat di dalamya atau bahkan menjadi dalang di baliknya.
Ketakberdayaan membendung tekanan kelompok intoleran selanjutnya diwarnai dengan kosmetik “pengamanan korban” karena situasi intoleran di kampung halaman. Relokasi di rumah susun sewa pun ditampilkan sebagai “kedermawanan”. Logika korban tentu berbeda dengan logika orang yang tidak berempati kepada korban. Bagi mereka, berada dalam rumah sendiri meski berlantai tanah dengan status warganegara yang merdeka dan pemilik yang sah tak akan bisa ditukar dengan relokasi di istana sekalipun.
Singkatnya, memaksa relokasi sendiri dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM, apalagi dilakukan dengan pemaksaan secara fisik. Bila semua upaya elegan telah ditempuh untuk mencari perlindungan hukum dan keadilan di dalam negeri sendiri tak membuahkan hasil, maka tidak tertutup kemungkinan para pegowes yang masih setia melakukan ritual penantian di depan Istana Presiden, mencari keadilan di luar negara alias internasionalisasi. Semoga para pegowes bersabar dan mendapatkan perhatian dan empati Presiden dan bangsa Indonesia.