Mengikis Stigma Buruk Gerakan Buruh

Selain hak-haknya sering tak dipenuhi dan ditekan oleh pengusaha, pergerakan buruh memperjuangkan hak-haknya kerap mendapat stigma buruk masyarakat.

Hal ini dikeluhkan Dina Ariyanti, SH, pemerhati masalah perburuhan dari  Trade Union Centre (TURC)  dalam Forum Jumat GusDurian yang mengangkat tema, “Masa Depan Gerakan & Organisasi Buruh & Gagasan GusDur” di Wahid Institute, Jumat (8/5).

“Ada masalah citra buruk masyarakat atas gerakan buruh,” ujar Dina. “Kita ditakut-takuti kalau gerakan buruh kuat, maka negara, pengusaha dan rakyat akan rugi. Isunya nanti investasi lari ke luar kalau gerakan buruh kuat.”

“Tapi ini tidak benar. Faktanya di Brasil, gerakan buruh kuat justru Brasil ekonominya menguat melawan kapitalisme dan pelan-pelan bangkit menyusul ekonomi China.”

Buruh Bukan Kelas Rendah

“Ada stigma buruh itu kelas rendah. Yang kerah putih tak mau disebut buruh dan tak ikut serta dalam organisasi buruh,” lanjut Dina. “Padahal semua yang menerima perintah dari atasannya ya buruh namanya.”

“Lihatlah di Jepang atau Brasil misalnya, justru yang aktif dalam gerakan buruh itu kalangan kerah putih. Diskusi rencana demo atau mogok di cafe, bahkan di hotel berbintang. Gerakan buruh bahkan jadi kekuatan politik yang kuat.”

“Ini yang mestinya harus jadi target gerakan buruh. Jadi kalau misalkan Jokowi mau ada rencana bikin jalan tol antar provinsi, ya Jokowi atau DPR tanya dulu ke buruh, minta masukannya,” terang Dina.

Beka Habsara dari International NGO Forum Development (INFID) yang juga hadir sebagai pembicara menyebutkan buruh semestinya tak hanya berdemo menuntut hal-hal normatif seperti upah atau anti outsourcing saja, tapi yang jauh lebih strategis adalah mempengaruhi kebijakan pemerintah.

“Buruh mestinya dilibatkan dalam gerakan politik yang didengarkan pemerintah. Ini mesti diarahin ke sana,” ujar Beka. (Muhammad/Yudhi)