Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Mengenal Sayid Muhammad Baqir al-Shadr, Ekonom Islam Kontemporer

Sayid Muhammad Baqir Shadr lahir pada 25 Dzulkaidah 1353 H di kota Kazhimain. Ayahnya bernama Sayid Haidar Shadr Amili dan ibunya adalah putri Syaikh Abdul Husain Yasin. Kakeknya Sayid Ismail Shadr termasuk salah seorang marja’ taqlid. Garis keturunannya bermuara pada Imam Musa Kazhim as.

Syahid Shadr menamatkan pendidikan dasarnya selama 3 tahun dan melanjutkannya dengan mempelajari ilmu keagamaan di hawzah. Ia mempelajari kitab al-Mantiq karya Muhammad Ridha Muzhaffar dan Ma’alim al-Ushul di sisi saudaranya, Sayid Ismail. Beliau mampu menamatkan kitab-kitab hawzah dalam tempo singkat. Di antara guru-gurunya adalah Muhammad Taqi Jauhari, Abbas Syami, Sayid Baqir Syakhs, Shadra Badkubi, Sayid Muhammad Ruhani, Sayid Abul Qasim Khui, dan Syaikh Muhammad Ridha Yasin.

Menginjak usia 20 tahun, Sayid Muhammad Baqir Shadr mulai mengajarkan kitab Kifayatul Ushul. Semenjak usia 25 tahun, beliau mengajarkan kharij ushul, dan mulai usia 28 tahun, mengajarkan kharij fikih.

Selama kira-kira 30 tahun mengajar, Sayid Shadr mampu mendidik sejumlah murid. Di antara mereka adalah Sayid Muhammad Baqir Hakim, Sayid Nuruddin Asykawari, Sayid Kamal Haidari, dan lain-lain. Beliau mempelajari ilmu-ilmu agama dari Ayatullah Khui dan beberapa ulama Najaf. Ia mampu menyelesaikan pendidikannya sebelum berusia 20 tahun. Ia mengajar ilmu-ilmu agama di hawzah ilmiah Najaf.

Baca: Mengenal Abu Raihan Al-Biruni, Ulama Bergelar Guru Segala Ilmu

Karya-karyanya sangat banyak. Di antaranya, Falsafatuna (Filsafat Kita), Fadak fi al-Tarikh (Fadak dalam Sejarah), Ghayatul Fikr fi Ilm al-Ushul (Puncak Pemikiran dalam Ilmu usul), Iqtishaduna (Ekonomi Kita)
Al-Usus al-Mantiqiyah li al-Istiqra (Dasar-dasar Logika untuk Induksi) dan puluhan lainnya dalam bidang fikih, ushul, logika, filsafat, ekonomi, teologi, tafsir, sejarah, dan politik.

Di antara karyanya yang sangat fenomenal adalah Iqtishaduna atau Ekonomi Kita. Kendati tak punya latar pendidikan khusus dalam bidang ekonomi, namun beliau dengan sangat cerdas mengritisi dua mazhab ekonomi materialistik, yaitu Kapitalime dan Sosialisme. Keduanya sama-sama hanya berfokus pada faktor produksi. Sayid Shadr meyakini bahwa sesuatu yang disampaikan Islam adalah aliran ekonomi Islam, bukan ilmu ekonomi Islam. Artinya, ekonomi Islam menyuguhkan cara yang adil bagi pengaturan kehidupan ekonomi.

Menurutnya, distribusi sumber-sumber produksi yang dasariyah, mendahului proses produksi itu sendiri. Jadi, dalam perspektif Sayid Shadr, faktor pertama adalah distribusi, kemudian produksi. Dalam sistem ekonomi Islam, distribusi sumber produksi mendahului proses produksi dan setiap organisasi yang terkait dengan proses produksi, otomatis berada pada tingkatan kedua. Sebagai titik awal atau tingkatan pertama dalam sistem ekonomi  Islam adalah distribusi, bukan produksi, sebagaimana ekonomi politik tradisional. Masalah utama ekonomi berakar pada distribusi itu sendiri.

Sayid Shadr menyatakan bahwa hukum Islam menugaskan negara untuk menjamin kebutuhan seluruh individu. Fungsi negara dalam mengaplikasikan prinsip kewajiban timbal balik masyarakat sebenarnya mencerminkan peran negara dalam memaksa warganya untuk mematuhi apa yang telah digariskan dalam syariat, demi memastikan kaum Muslim mematuhi hukum-hukum Islam.

Pada 1377 H, Muhammad Baqir Shadr bersama beberapa ulama Irak membentuk Partai Dakwah Islam guna mengelola pelbagai aktivitas politik muslim Irak. Sayid Shadr juga menjalin kerjasama dengan Komunitas Ulama Najaf yang anggotanya terdiri dari para ulama seperti Syaikh Murtadha Yasin, Syaikh Muhammad Ridha Muzhaffar, dan Sayid Mahdi Hakim. Karena masih berusia muda, beliau tidak menjadi anggota, namun intensif menjalin kerjasama serius dengan mereka.

Sayid Muhammad Baqir Shadr juga mendukung pergerakan Imam Khomeini di Iran. Ketika Imam Khomeini tinggal di Najaf, Sayid Shadr pun menjalin hubungan dengan Imam Khomeini. Syahid Shadr mengeluarkan statmen berkenaan dengan Imam Khomeini, “Meleburlah kalian dengannya, sebagaimana Imam Khomeini melebur dalam Islam.”

Pada 5 April 1970 (19 Jumadil Awal 1400 H), penguasa Irak menangkap Sayid Muhammad Baqir Shadr setelah sebelumnya dipenjara dalam rumah selama sembilan bulan. Rezim Saddam mengatakan kepada orang-orang yang menangkap beliau saat itu, “Katakan bahwa ia tidak akan memusuhi rezim, jika tidak, akan dieksekusi.”

Sayid Shadr menolak permintaan ini dan menyatakan siap mati syahid. Akhirnya pada 8 April 1980 (22 Jumadil Awal 1400 H), Syahid Shadr bersama saudarinya (Bintul Huda) gugur sebagai syahid. Kemudian, penguasa Irak menguburkan jasad Syahid Shadr secara rahasia di pemakaman Wadi Salam. Setelah intifadah Sya’baniyah tahun 1991, dengan maksud menghancurkan kuburan orang-orang pengikut Ahlulbait, dibuatlah jalan-jalan yang banyak di pemakaman ini dan kuburan Syahid Shadr diletakkan di jalan raya. Orang-orang yang mengetahui tempat kubur beliau lantas memindahkan jasadnya ke tempat lain di Wadi Salam. Setelah beberapa waktu, dikarenakan adanya orang lain yang mengetahui letak pusaranya, jasad beliau pun kembali dipindahkan ke tempat lain. Akhirnya, pada bulan Ramadhan 1427 H, jasad Syahid Shadr dipindahkan ke pintu gerbang kota Najaf, hingga kemudian dibangun lembaga-lembaga ilmiah dan sosial di sekitarnya.

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *