Berita
Mengenal Makna Ekstremisme dan Intoleransi
Ekstremisme dan intoleransi di tengah masyarakat Indonesia dan di dunia pada umumnya sangat mengkhawatirkan. Hal itupun diakui oleh sejumlah LSM yang menyatakan aksi hate speech di Indonesia semakin meningkat.
Lalu apa sebenarnya ekstremisme dan intoleransi itu? Siapa yang dapat melakukannya? Apa yang bisa kita lakukan?
Untuk menjawab dan mengenal apa itu ekstremisme dan intoleransi, berikut wawancara Tim ABI Press dengan cendekiawan muslim Dr. Muhsin Labib.
Apa sebenarnya ekstremisme dan intoleransi menurut Dr. Muhsin Labib?
Ekstremisme itu adalah sikap berlebihan baik menolak maupun mendukung, baik positif maupun negatif, jadi lawan dari keseimbangan, lawan dari jalan tengah. Contohnya adalah mencintai berlebihan, hal itu bisa dianggap ekstrem, membenci berlebihan, juga bisa dianggap ekstrem. Jadi ekstremisme itu berada pada dua sisi yang berlawananan, itu dianggap sebagai ekstrem yang dalam bahasa Arabnya disebut iftath wa tafrith yaitu sangat kurang sangat lebih, begitu secara pemahaman umum.
Ekstremisme biasanya dikaitkan dengan keyakinan-keyakinan yang cenderung menafikan hak orang lain, jadi ekstremisme itu biasanya sama dengan eksklusifisme. Ekstremisme itu sendiri adalah persoalan psikologis dan persoalan logis. Jadi orang yang tidak memiliki banyak data atau tidak memiliki alternatif (pilihan lain) biasanya dia cenderung ekstrem.
Makanya kalau orang punya banyak pilihan biasanya cenderung tidak ekstrem. Tidak punya banyak pilihan itu berarti datanya kurang, yang ujung-ujungnya adalah pengetahuan yang kurang.
Kemudian tentang persoalan psikologis itu seperti halnya seorang penderita Bipolar, dia kalau sedang benci, benci sekali dan kalau sudah menyukai, ya suka sekali.
Kalau intoleransi itu adalah bisa dianggap karena berpikir ekstrem, karena cara pandangnya ekstrem, karena dia bersikap ekstrem, kemudian muncul dalam bentuk sikap dan prilaku intoleran. Jadi kalau cara berpikirnya disebut ekstrem, sedangkan perilakunya disebut intoleran.
Intoleran itu artinya dia tidak bisa menerima sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Kalau toleran itu artinya dia bisa menerima adanya perbedaan pada orang lain. Misalnya ada orang yang tidak sama dengan hobinya dan dia bisa menerima, itulah toleran. Tapi jika ada orang yang sulit menerima bila ada orang yang punya cara berbeda dengannya, berarti tingkat toleransinya rendah.
Jadi ekstremisme itu menyangkut cara pandang sedangkan intoleransi adalah outputnya dalam bentuk sikap sosial. Maka dari itu orang yang intoleran pasti ekstrem. Ekstremisme jangan diidentikan dengan tindakan-tindakan politik atau tindakan militer. Pola pikir ekstremisme itu misalnya, saya kalau suka kopi berlebihan itu ekstrem namanya, suka gula berlebihan itu ekstrem, dan biasanya semua ekstrem itu negatif, suka garam berlebihan bisa kena darah tinggi, suka gula berlebihan bisa kena diabetes, suka pedas kena lambung, jadi semua yang berlebihan adalah ekstremisme. Bukan cuma soal agama dan hal tersebut adalah abnormal.
Apa penyebab munculnya ekstremisme dan intoleransi?
Faktornya bisa jadi banyak hal, salah satunya mengapa orang menjadi ekstrem itu, karena dia menganggap apa yang dipahaminya adalah mutlak, terutama informasi tentang agama. Agama itu kan wahyu, wahyu itu kan dibawa oleh Nabi supaya wahyu terjaga tetap sebagai wahyu. Orang bisa meyakini wahyu sebagai sesuatu yang mutlak karena Nabi dibela oleh Tuhan.
Tapi apa yang disampaikan oleh Nabi ketika sampai ke dalam pikiran kita dan karena setiap orang memiliki pikirannya sendiri-sendiri, maka terjadilah pemahaman yang berbeda, penangkapan yang berbeda, akibat kapasitas orang yang berbeda-beda. Karena kapasitas berbeda-beda tersebut maka kita katakan apa yang kita tangkap tidak sama persis dengan apa yang disampaikan oleh Nabi. Kalau sama dengan apa yang disampaikan oleh Nabi, maka dia akan menjadi Nabi juga, lalu apa yang membedakan? Kita sebut dia Nabi itu karena dia menjaga wahyu, wahyu itu kan suci, mutlak. Maka pemahaman manusia yang tidak memiliki kapasitas seperti Nabi, pasti tidak akan sama.
Pelaku intoleransi itu yang kita sebut dengan orang yang tidak punya kesiapan untuk menerima ada beda antara keyakinan dengan kebenaran. Kalau keyakinan itu sikap dan subjektif, kalau kebenaran itu realitas, sesuatu yang berada di luar kita. Sedangkan kita berusaha memahami supaya kita dekat dengan realitas itu. Kedekatan orang dengan realitasnya tentu berbeda-beda tergantung tingkat kebersihan hatinya, tergantung ketajaman nalarnya dan lain sebagainya.
Karena sama-sama relatifnya, istilahnya itu sama-sama tidak mendapat “bocoran dari langit” ya kita harus bisa menerima ada orang berbeda dengan kita. Dengan begitu maka akan muncul sikap toleransi.
Mengapa muncul intoleransi? Faktor-faktor munculnya intoleransi belum tentu sama dengan faktor munculnya ekstremisme dalam pikiran, karena ada faktor ketika orang tidak berpikir ekstrem tapi ada faktor-faktor sosial politik ekonomi yang akhirnya membuatnya menjadi intoleran.
Selain faktor-faktor pengetahuan yang tadi saya sebutkan, yaitu memutlakkan, tidak membedakan kebenaran dengan keyakinan, tidak membedakan antara konsep dengan realitas, tidak bisa membedakan yang semestinya di benaknya dengan yang menjadi fakta di luar dirinya, itu semuanya memang problem-problem yang bersifat intelektual dan persoalan epistemologis.
Tapi munculnya intoleransi dan mengapa orang menafikan orang lain itu banyak faktor dan tidak semata-mata karena ekstremitas. Salah satunya adalah dia menganggap kalau ada orang berbeda dengannya, dia akan menjadi ragu dengan keyakinannya. “Lho kok ada orang berbeda dengan keyakinan saya? Jangan-jangan dia yang bener? Kalau dia masih tetap ada, kan saya dirugikan, akhirnya saya bimbang terhadap keyakinan saya.”
“Supaya saya tetap mantap dengan keyakinan saya, sebab kalau saya harus ubah keyakinan saya, kan berarti hilanglah saya. Kan sudah lama saya bangun keyakinan saya ini, ini kan masalah saya, saya kan penting, saya ini kan unggul,” dan begitulah seterusnya kecamuk isi pikirannya. Nah karena cara pandang seperti itu, hal pertama yang akan dilakukan adalah orang yang berbeda itu akan diajaknya menjadi sama dengan dirinya.
Itu langkah pertama, tapi kalau ternyata orang itu memiliki argumen atau bertahan dengan pandangannya, maka dia harus memusnahkannya. Memusnahkan di sini bisa terkait keyakinannya dikucilkan atau yang bersangkutan akhirnya akan mengembalikan keyakinan dari orang yang berbeda itu agar sama dengan si intoleran hingga akhirnya menghilangkan orang yang berbeda tersebut.
Jadi sebetulnya mengapa muncul intoleransi, itu karena si intoleran tidak terlalu confident dengan keyakinannya atau galau dengan keyakinannya. Sebetulnya kalau orang itu mantap dengan keyakinannya, walau ada orang berbeda, orang jungkir-balik pun dia akan kukuh dengan keyakinannya. Jadi sebetulnya sebagian besar orang yang intoleran itu adalah orang yang gamang (ragu) dengan keyakinannya. Itu salah satu analisis.
Analisis kedua, mengapa muncul intoleransi, kadang-kadang orang yang intoleran ini kelihatan seperti orang pintar, ngajinya banyak, kitabnya banyak, sorbannya besar, janggutnya juga panjang. Pendeknya kelihatan bijak gitu, tapi giliran melihat orang yang berbeda, dia intoleran.
Ini biasanya juga berhubungan dengan kekuasaan, jadi kehendak untuk mempertahankan kekuasaan atau mengambil kekuasaan, lebih bernuansa kekuasaan. Mengapa begitu? Sebab kalau dia sudah punya kekuasaan, kemudian di wilayah kekuasaannya ada orang yang berbeda itu artinya ada yang tidak mengikuti dia, maka dia khawatir orang-orang lain yang sudah mengikuti dia akan mengikuti orang yang berbeda itu dan akhirnya dia takut kehilangan kekuasaannya. Supaya kekuasaannya tetap bertahan, dia harus mencari cara menghilangkan orang yang berbeda itu supaya semua tetap sama dan dia tetap memegang kekuasaannya.
Faktor analisis yang lain adalah sebagian orang merasa berbeda juga diartikan dia ingin mengambil kekuasaan, jadi bukan hanya merasa terganggu kekuasaannya, tapi dia menganggap yang berbeda itu ancaman terhadap kekuasaan dan eksistensinya. Karena itu bagi dia, ini bukan masalah benar dan salah.
Ibaratnya, ini semata-mata masalah rantai makanan. Karena itu orang-orang yang intoleran itu kelihatan gigih sekali untuk menghabisi perbedaan. Walaupun ngajinya bagus, hubungan dengan Tuhan, ibadah-ibadahnya itu lumayan bagus, tapi terhadap persoalan adanya yang berbeda dengan dirinya lantas dia menjadi intoleran, hal inilah yang kadang-kadang membuat kita bingung. Apalagi jika mereka yang berpikir intoleran ini jika terjadi konflik intoleransi horizontal malah yang dipanggil untuk menyelesaikannya, sebab yang dipandang oleh masyarakat sekarang ini lebih condong pada atribut.
Ada lagi intoleransi yang muncul karena dia merasa orang lain tidak ada yang seberuntung dia dalam memahami kebenaran. Karenanya dia merasa punya jiwa penyelamat, fantasi Super Hero untuk menyelamatakan orang lain supaya orang lain itu seberuntung dia dalam mengenali kebenaran. Jadi ini seperti menebar cinta kasih, maksudnya. Akhirnya dia berusaha untuk meyakinkan orang, maksudnya dia ingin menyelamatkan orang lain yang berbeda dengannya. Ini persoalan kejiwaan juga, sebutannya God Complex atau Playing God, jadi merasa dirinya adalah Tuhan, secara tidak sadar. Itu adalah delusi, halusinasi, merasa semua orang harus diselamatkannya, kalau tidak nanti celaka, kalau tidak nanti masuk neraka dan sesat dan kafir dan lain sebagainnya.
Jadi banyak faktor yang bisa kita gali mengapa muncul intoleransi dan tidak semuanya bertujuan negatif. Kalau yang berhubungan dengan kekuasaan, itu tujuannya negatif tapi bagaimana halnya kalau ingin menyelamatkan orang lain? Menurut pelaku intoleransi, sesederhana itu. Bahwa orang yang berbeda dengannya itu memang berencana untuk masuk neraka, memang ingin mencari neraka dan murka Allah. Hal seperti itu berlaku terutama pada diri pemimpin kelompok yang berbeda dengannya, yang dianggap memang berencana masuk neraka. Tapi terhadap orang-orang yang di bawah, yang ikut-ikutan berbeda, itu yang perlu diselamatkan.
Jadi tujuannya adalah salvation atau penyelamatan, jadi apa yang dia lakukan semuanya alasannya adalah penyelamatan, atau menjaga dan memproteksi umat yang merupakan propertinya. Sebab sebagian orang menganggap umat, rakyat, penggemar, pengikut itu adalah fasilitas, properti. Karena properti berharga, maka perlu dilindungi. Bahkan tak jarang mereka merasa lebih dari itu, bahwa Tuhan itu perlu dijaga, bahwa Tuhan dalam posisi lemah dan pelaku intoleransi itu merasa bahwa dia adalah seorang pelindung, yang takut rusak agamanya.
Sebab menurut mereka Tuhan sudah tidak mengurusi, maka mereka perlu dengan gigih menjaga Islam itu. Begitulah menurut mereka yang intoleran. Sebenarnya sebagian dari mereka adalah orang-orang yang patut dikasihani dan sebenarnya tidak patut dimusuhi.
Siapa saja yang bisa menjadi seorang ekstremis dan intoleran?
Siapa saja bisa, setiap manusia yang tidak memiliki bekal pengetahuan, hatinya sempit, jadi akalnya picik akan sangat mudah menjadi ekstrem. Pikiran ekstrem ini tidak hanya berhubungan dengan agama, juga bisa dalam hubungan sosial. Ketika kita tidak bisa berinteraksi dengan segala jenis manusia, berarti kita belum toleran.
Kita kadang-kadang menemukan orang-orang yang tingkat pendidikannya beda, tingkat pemahamannya beda tapi kita harus berinteraksi dengan mereka dan memperlakukan mereka dengan baik. Seperti seorang marketing yang aktif di dunia marketing atau seorang customer service, kita harus memiliki tingkat toleransi yang tinggi. Kalau sebagai marketing dia seorang intoleran pastilah dia bukan hanya takkan mampu menambah costumer, bisa-bisa malah costumer yang sudah ada pun bakal lari.
Jadi toleransi itu diperlukan dalam berbagai hal. Dalam rumah tangga lebih-lebih diperlukan toleransi karena pernikahan itu menggabungkan dua manusia yang berbeda latar belakang, berbeda orang tua, berbeda DNA, berbeda segala macamnya tapi harus bisa menerima orang lain yang berbeda dengan kita, oang yang bahkan satu bantal, satu kasur dengan kita. Kalau kita tidak toleran, semua orang akan kita ukur dengan ukuran kita dan sebagian besar penyebab perceraian itu karena sikap intoleransi. Sebab si suami ingin mengukur orang lain (istrinya) dengan kesenangan dia, sehingga yang menurut dia baik itu pasti baik bagi istrinya dan istrinya itupun boleh jadi begitu. Sehingga intoleransi ini bukan persoalan agama semata, tapi problem umat manusia, tidak harus tendensinya agama, dilakukan ulama, sebab siapapun bisa bertindak intoleran.
Bukan juga khusus milik satu agama tertentu atau kelompok tertentu. Tapi biasanya penyakit intoleransi terjadi dalam masyarakat yang jumlahnya lebih banyak. Jadi coba lihat ekstremisme para pendukung bola, itu kalau sendiri-sendiri biasa saja, tapi begitu kumpul muncul kecenderungan intoleransi.
Intoleran kepada pengguna kaos yang berbeda klub dengannya bisa saja brutal. Hanya karena bahwa itu penggemar klub bola lain. Misalnya pengemar klub bola di Inggris yang tidak ada hubungannya dengan yang di Inggris yang juga tidak ngerti dia, tapi bisa bertindak intoleran. Saya pernah lihat di suatu tempat itu terjadi perkelahian antara penggemar klub bola Inggris yang berbeda, padahal dua-duanya bukan orang Inggris. Kenapa? Karena intoleransi ini bisa terjadi kepada siapapun, dari agama apapun, dari suku apapun, mazhab apapun, dari kelompok sosial manapun, semua bisa terjadi. Maka salah kalau intoleransi itu seakan-akan hanya dibatasi oleh tendensi keagamaan. Bahkan intoleransi paling banyak terjadi dalam rumah tangga dan dalam perusahaan.
Salah satu alasan seseorang menjadi nepotis adalah dia sulit menerima orang yang berbeda, maka dia mencari orang-orang yang memiliki kesamaan dengannya, itu intoleran juga sebenarnya.
Sebagian orang menyatakan kita melakukan ini karena diprovokasi, seperti halnya salah satu seporter bola yang mengejek yang lain, akhirnya terjadilah tindakan intoleransi, bagaimana pernyataan tersebut?
Karena intoleransi itu bisa menjangkiti siapapun, intoleransi muncul dalam bentuk sikap, dalam bentuk aksi maupun reaksi.
Termasuk tindakan provokasi juga adalah tindakan yang intoleran?
Iya, walaupun yang memprovokasi punya tendensi yang lebih luas dari itu tapi bahwa siapapun, mau ulama, mau orang pandai, bisa saja dia intoleran. Misalnya kita memperlakukan pembantu beda dengan kita, kita melakukan diskriminasi, diskriminasi adalah bentuk intoleransi. Sebab kita mempekerjakan dia di sini, tapi kita tidak bisa menerima kehadiran dia? Itu adalah intoleransi, jadi secara umum intoleransi adalah penolakan fakta, rabun realitas, buta fakta.
Padahal mestinya orang bisa menerima, yang membedakan kita dengan Tuhan itu apa? Kalau Tuhan itu satu, kalau kita itu banyak. Disebut banyak itu karena berbeda, kalau banyak tidak berbeda bukan banyak namanya. Jadi keragaman itu adalah sebuah keniscayaan. Kalau ada yang menolak keniscayaan, itu hanya dua kemungkinan. Dia sebenarnya tidak sadar atau jangan-jangan dia merasa seperti Tuhan yang harus satu. Makanya saya katakan penyakit Tuhan, sebenarnya merasa menjadi Tuhan, artinya dia memiliki penyakit yang membuat dirinya berlagak seperti Tuhan. Nah, orang seperti ini sulit dipahamkan, bagaimana bisa? Dia menganggap dirinya itu adalah kebenaran itu sendiri, bukan dia meyakini kebenaran, tapi dia merasa dialah kebenaran.
Maka itu kita harus sadar bahwa salah satu asma Allah itu al-Haq artinya apa? Al haqqu min rabbikum, kebenaran itu dari Tuhan. Kalau dari kita itu namanya adalah penafsiran tentang kebenaran. Kan Tuhan sudah berfirman, kebenaran dari Tuhanmu, itu untuk menegaskan apa? Yaitu yang bukan dari Tuhanmu, yang dari manusia, itu bukan kebenaran, tapi itu pemaknaan terhadap kebenaran, interpretasi terhadap kebenaran, persepsi, pemahaman tentang kebenaran. Tentu saja berbeda antara kebenaran itu sendiri dengan penafsiran tentang kebenaran. Sampai-sampai kalau kita bilang agama, setiap orang punya agama, nah yang sama-sama agamanya itupun tidak bisa dibilang semua sama, kenapa? Sebab di dalam agama itu ada penganut-penganut yang memiliki persepsinya sendiri-sendiri dan ujung-ujungnya setiap orang itu punya agamanya sendiri-sendiri.
Mestinya kalau orang yakin dengan keyakinannya, maka tidak perlu galau, tidak perlu panik kalau ada orang yang berbeda dengannya, malah seharusnya itu menjadi motivasi buat dia untuk berbuat baik lebih banyak lagi, karena kita disuruh berlomba, kita disuruh bersaing dalam kebaikan. Maka kalau ada orang yang berbeda dengan saya, saya harus lebih baik dari dia, bukan saya harus menguasai dia. Tidak boleh kita menguasai siapapun, tidak boleh kita merasa lebih unggul terhadap orang lain, karena yang punya keunggulan hanya yang lebih tinggi dari kita yaitu Allah SWT.
Masyarakat Indonesia tampak lebih mudah untuk diajak melakukan intoleransi dan berpikir ekstrem daripada diajak untuk saling mengasihi, ada apa sebenarnya ini?
Mereka tidak menganggap itu sebagai sebuah tindakan intoleransi, masalahnya orang-orang yang menganjurkan intoleransi tidak pernah menyadari bahwa itu intoleransi. Jika mereka tahu itu intoleransi pasti itu mereka tolak. Tapi mereka memahami itu adalah salah satu bentuk kesalehan, bentuk kepatuhan, bentuk kesetiaan pada agama.
Jadi kalau kita berusaha menerima perbedaan orang lain, itu menurut mereka berarti kita menganggap bahwa orang lain itu benar. Kalau menganggap dia benar berarti kita tidak benar, berarti kita tidak konsisten terhadap agama kita, begitulah para intoleran memahaminya. Jadi memang salah menafsirkan toleransi, dianggapnya kita membenarkan orang lain padahal toleransi itu bukan membenarkan orang lain, toleransi itu menerima ada orang lain yang berbeda dengan kita.
Karena itu akhirnya semua orang berlomba untuk menjadi ekstremis, menjadi intoleran, dianggapnya hal itu ajaran agama. Padahal agama menyuruh kita untuk komitmen terhadap ajaran kita, tapi bukan menafikan hak orang lain untuk berbeda dengan kita. Kita disuruh konsisten, kita disuruh mengamalkan ajaran sesuai dengan yang kita yakini, tapi jangan menganggap orang lain itu sesat, jangan anggap bahwa Anda yang paling baik.
Akhirnya ada over estimate, ada kesombongan bahwa apa yang diterimanya itu sesuatu yang paling benar sementara orang lain itu dianggap tidak seberuntung dirinya, orang lain itu dianggap lebih sial darinya dalam masalah kebenaran, dianggap lebih bodoh dan lain sebagainya. Dia harus menafikan keunggulan orang lain, peluang orang lain untuk bisa lebih baik dari dia. Padahal kita harus bisa menerima kenyataan, boleh jadi ada orang yang lebih baik dari kita, al-Quran sendiri bilang wafaql bil ilmi alim, kalau ada orang berilmu, sadari bahwa ada orang yang lebih berilmu darinya, dia bukan yang terakhir, bukan yang terunggul. Itulah artinya bahwa semuanya relatif, bertingkat-tingkat.
Kesadaran tentang itu di tengah masyarakat sangat lemah, apalagi kebanyakan orang yang menjadi penganjur intoleransi adalah orang-orang yang sudah diposisikan –entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba sudah berada dalam mimbar-mimbar keulamaan, tiba-tiba menempati sentra-sentra yang menjadi tempat penganjur, dianggap itu posisi keagamaan yang sakral, mereka sudah tidak lagi mempertanyakan bagaimana prosesinya kok tiba-tiba menjadi ulama, disebut ulama, namanya ulama, namun tiba-tiba dengan mudahnya dia menganjurkan orang untuk intoleran.
Mengapa mudah mengikuti? Karena anjuran intoleransi yang datang dari yang disebut ulama itu dianggap sebagai kesalehan, ini problemnya. Maka tak heran, cukup hanya sekadar pasang spanduk di pinggir jalan “Awas aliran sesat menyesatkkan,” hal tersebut langsung dianggap sebagai sesuatu yang benar. Peringatan “Awas aliran ini, kelompok ini adalah sesat dan menyesatkan dan ingin menghancurkan Islam,” pun langsung diterima tanpa perlu dikaji lebih mendalam.
Apalagi bila hanya dengan searching di Google ada informasi atau stigma negatif berupa tuduhan dan dianggap sebagai kebenaran, sedikit sekali yang merasa perlu harus mengkonfirmasi kepada pihak yang dituduh. Sedikit sekali yang melakukan perbandingan, jarang sekali itu terjadi. Karena memang manusia kalau tidak mengggunakan nalar yang kuat dan tidak kritis, maka dia cenderung langsung mempercayai informasi pertama yang dia terima. Ini problem.
Apalagi bila tuduhan itu diulang-ulang, apalagi bila tuduhan itu disampaikan orang yang punya posisi sosial, apalagi bila diberi dalil-dalil manipulatif dan lain-lain. Kita sendiripun kalau tidak punya pertahanan yang kuat, maka kita akan menjadi seperti mereka. Dulu waktu kita masih kecil sering kita dicekokin dengan pikiran-pikiran intoleran yang sepertinya digambarkan itu sebagai ajaran agama. Dulu lihat orang beda agama dengan kita saja kita ndak nyaman, terganggu. Akhirnya karena kita bergaul, kita lihat ada keragaman, memang kita ndak bisa menafikan orang. Dulu waktu pertama kita lahir saat bayi, orang yang pertama kali kita lihat itu ibu kita atau perawat, setelah itu kita lihat ada bapak kita, setelah itu adik-adik kita, ada sauadara kita, dan ternyata di luar rumah kita juga ada orang-orang lain lagi.
Nah orang-orang ini, mereka ini seperti hidup dalam tempurung, hidup dalam tabung-tabung, dia ibarat sedang berada di inkubasi, dia tidak tahu bahwa realitas ini, bahwa kamu ini hanya satu partikel di alam yang luas ini. Kamu jangan menyesal bahwa kamu bukan Tuhan, jangan kecewa bahwa kamu bukan yang terunggul. Karena itu mereka sulit untuk menerima bahwa ada orang lain yang mungkin lebih pandai dari dia, mungkin orang lain memiliki pengetahuan lebih banyak dari dia, dia sulit menerima itu. Jadi lagi-lagi ini persoalan psikologis yang lebih dominan ketimbang persoalaan keagamaan.
Kalau di dalam agama sendiri, apakah ada yang mengajarkan untuk menjadi ekstremis dan melakukan tindakan intoleransi?
Jelas yang disebut agama itu ajaran Tuhan. Pastilah tidak akan menganjurkan keburukan. Jadi agama itu pasti mengkonfirmasi nilai etika dan logika, tidak mungkin agama datang bertentangan dengan etika dan logika yang sudah ada pada diri setiap manusia. Jadi tidak mungkin kalau ada ajaran agama yang menganjurkan hal-hal atau tindakan ekstremis dan intoleransi. Jika ada, pasti bukan agamanya yang salah tapi penafsiran orang yang menganut agama itu yang mungkin salah, akibat distorsi penafsiran orang yang pemahaman tentang agamanya hanya dari satu sudut. Karena tidak bisa membedakan antara komitmen atau keterikatan dengan ajaran agama dengan ekstremisme dan fanatisme. Karena itu orang yang tidak bisa membedakan keduanya menganggap itu memang ajaran agama, bahwa ada teks agama atau ayat yang menganjurkan begitu. Padahal ayat itu tidak hanya begitu saja turun, ada ceritanya, ada konteksnya.
Buktinya, Nabi bergaul juga dengan orang yang beda agama, ada Yahudi ada Kristen. Itu membuktikan bahwa ada kecenderungan untuk bisa menerima ada orang yang berbeda. Hal itu ada dan ditunjukkan oleh Nabi, ayat-ayat suci al-Quran juga menunjukkan, terhadap orang yang beda agama saja kita disuruh untuk mencari titik temu, mengapa kita yang sudah punya standar satu “La ilaha illallah Muhammadur rasulullah” masih mau menambah syarat-syarat lain?
Bahwa ada yang berbeda dengan kita, hal itu sebuah kepastian. Sebab kalau tidak, buat apa ada kelompok lain? Anda harus bisa menerima, ketika Anda menerima sebuah mazhab, sebuah ajaran, sebuah pandangan, sebuah agama. Anda juga harus bisa menerima bahwa ada orang lain yang berbeda dengan Anda, menerima agama lain, menerima ajaran lain, menerima mazhab lain, jangan anggap bahwa agama Anda itu satu-satunya agama. Jangan anggap bahwa ini satu-satunya mazhab. Kalau berpikir seperti itu, berarti Anda tidak update, tidak paham pergaulan. Jadi, agama apapun tidak ada yang mengajarkan kekerasan, mengajarkan kezaliman, agresi terhadap orang lain. Memang dalam al-Quran ada hukum, tapi kan itu berpotensi dipersepsikan dengan cara beragam juga, hingga ada undang-undang yang disepakati, ada kontrak social, sehingga kalau mencuri akan dihukum juga dengan kekerasan, tapi kekerasan yang legal.
Sebab kalau tidak ada sanksi, maka tidak ada efek jera, akhirnya malah akan menimbulkan kekacauan. Artinya ketika masyarakat berada dalam satu kesepahaman dalam soal itu, baru hal tersebut bisa diterapkan. Tapi kalau setiap orang merasa berhak mengadili orang lain, hal itu tidak bisa. Karena itu, ekstremisme tidak identik dengan satu agama, tidak identik dengan satu mazhab. Bisa Sunni, bisa Syiah, bisa apa saja. Di antara orang-orang dalam satu mazhab saja juga bisa ekstrem, bisa intoleran. Itu bisa saja terjadi.
Jadi ekstremisme dan intoleransi ini memang tidak identik dengan kelompok apapun, tidak identik dengan Islam, tidak identik dengan Sunni, tidak identik dengan Syiah. Dalam Sunni ada ekstremisme, malah sekarang ekstremisme itu terorganisir, memakai nama, ada kelompoknya bahkan ada mazhabnya, yang alhamdulillah sebetulnya sudah bukan bagian dari Sunni.
Karena Sunni yang asli adalah Sunni yang toleran. Seperti ditunjukkan oleh tokoh-tokoh, oleh imam-imam, kyai-kyai, ulama-ulamanya. Mereka menunjukan bahwa mereka representasi dari Sunni yang toleran. Jadi memang aslinya Ahlisunnah itu toleran. Begitu juga dengan Syiah, apakah ada ekstremisme di dalam Syiah? Ekstremisme ini ada dimana-mana, Syiah juga ada ekstremisnya. Tapi apa karena ada ekstremis Syiah, ada ekstremis Sunni, lalu Sunni dan Syiah harus menjadi korban dari ekstremis-ekstremis ini?
Ekstremisme itu adalah anomali, ekstremisme itu adalah limbah. Jadi pabrik pasti ada limbahnya, rumah pasti ada jambannya, kenapa kita tidak melihat bagian-bagian yang lebih baik, yang lebih banyak dari itu? Kalau ada satu-dua orang melakukan tindakan yang tidak terpuji, apakah dia kemudian harus menimpakan semua kesalahan pada semua orang?
Hanya karena misalnya ada satu sopir metromini Batak yang nabrak, kemudian semua sopir Batak kita salahkan ? Itu kan tidak bijak namanya, ini sendiri tidak logis, dan tidak perlu berpikir lama untuk memastikan itu. Tapi kenapa masyarakat cenderung menyalahkan orang berdasarkan suku, berdasarkan agama, berdasarkan mazhab hanya karena prilaku satu dua orang?
Di Indonesia ini kan mayoritas Sunni, lalu apakah semua kejahatan, penjahat dan koruptor-koruptor itu kita bilang Sunni? Kan tidak bijak begitu. Tidak bisa kita melihat Sunni, mazhabnya, agamanya, Kristen atau Islamnya, namun tetap harus kita lihat tindakannya.
Ada upaya menggiring opini publik oleh kelompok-kelompok tertentu, bukan kelompok yang sebenarnya sih ya, melainkan hanya oleh manusia-manusia yang itu-itu juga. Nama kelompoknya macam-macam, logonya macam-macam. Mereka inilah yang kelihatannya sedang memainkan agenda adu-domba di antara kaum muslimin dan di antara sesama anak bangsa dengan terus berusaha membesar-besarkan masalah.
ISIS itu mengaku dirinya Sunni, tapi kita ndak pernah menganggap mereka Sunni. Anggaplah Bashar Assad itu Syiah meskipun sebenarnya bukan Syiah. Lalu apakah akibat kesalahan Bashar Assad yang jaraknya ribuan kilometer dari kita, kemudian dibebankan pada Syiah yang ada di tempat lain?
Anwar Sadat itu Sunni. Jika Anwar Sadat salah apakah kita harus menyalahkan orang-orang Sunni yang lain? Ini jelas-jelas sudah jauh jaraknya dengan logika, tapi anehnya isyu-isyu semacam itulah yang mudah dipakai untuk mempengaruhi orang, dengan mudahnya orang menjadi intoleran, menjadi ekstremis karena hal itu. Kenapa masyarakat tidak bisa melihat dengan jernih? Kenapa hati nurani itu merasa teraniaya hanya karena hiruk-pikuk bising suara orang yang memelintir berita dan memanipulasinya?
Tegakkan hukum bagi siapapun dia, jangan lihat sukunya, jangan lihat agamanya, jangan lihat mazhabnya, karena itu yang lebih penting dari apapun, yaitu perlakuan adil dalam hukum. Karena itu, semua yang terjadi haruslah tidak malah menjadi momen kita saling hara-kiri dan saling menghancurkan, tapi harus menjadi pelajaran untuk evaluasi. Masih banyak agenda-agenda yang lebih penting untuk kita pikirkan, untuk bangsa ini, untuk umat ini. Kenapa kita harus habiskan energi, kenapa harus hambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang sebenarnya merugikan diri kita sendiri?
Jika Syiah dihujat, mungkin kesalahan itu tidak sepenuhnya ada pada orang lain yang mengkafirkan. Boleh jadi ada prilaku-prilaku orang Syiah yang mungin salah, karena itu orang Syiah harus lebih bisa menempatkan diri. Bila perlu minta maaf kalau memang terjadi kesalahan, tapi bukan semua orang Syiah, tapi hanya orang-orang yang melakukan itu.
Lalu bagaimana sikap kita jika menghadapi aksi ekstremisme dan intoleransi yang dilakukan secara masif kepada kita?
Tidak ada yang bisa kita lakukan. Kalau ada orang melakukan suatu kejahatan, jangan kita ikut melakukan kejahatan. Kalau memang kita sudah berupaya untuk kembali pada hukum, disinilah ada negara, ada pemerintah, ada penegak hukum. Tapi seandainya kita sudah berupaya tapi tidak ada tindakan hukum, saya pikir itu adalah sebuah risiko yang harus diterima dengan ketabahan. Tidak boleh Anda melakukan tindakan balasan yang karena itu bisa menimbulkan efek yang lebih buruk lagi.
Disinilah diperlukan pengorbanan. Jadi mereka yang merasa teraniaya, merasa dikepung oleh kebencian, kalau memang tidak bisa membalas apa-apa, berharaplah itu adalah sebuah wujud pengorbanan dan tidak harus membalas. Karena bagaimanapun juga yang terciderai nanti justru nama Islam, nama umat Islam. Kita semua akan menjadi tertawaan di mata umat lain.
Saya melihat tidak ada yang bisa dilakukan selain mempercayakannya pada proses hukum, penegakan hukum, dan perlakuan adil dari baparat. Seperti, apakah spanduk itu bisa dicabut oleh negara, itu hak negara. Maka terhadap hate speech (ujaran kebencian), pernyataan-pernyataan buruk atas nama ceramah agama, atas nama tablig, atas nama beda buku, kita tidak berhak untuk melakukan apapun. Kita hanya bisa bersabar sambil menunggu bagaimana hukum itu ditegakkan. Lebih dari itu kita tidak boleh berbuat apapun, karena keutuhan citra Islam itu lebih mulia daripada sekadar kita harus menuntut dipenuhinya hak-hak kita.
Apa pesan-pesan anda dalam kondisi intoleransi di masyarakat begitu masif seperti saat ini?
Agama Islam itu adalah agama yang sangat toleran, diperagakan sendiri oleh Nabi sampai dalam al-Quran mungkin saya pernah menyebutkan al-Quran itu ada sebuah ayat berbunyi wailul likulli humazah, celaka atau neraka wail buat orang yang memonyongkan mulutnya atau mengkedipkan matanya untuk merendahkan orang lain. Hanya sekadar berbuat begitu sudah dijanjikan neraka wail.
Agama ini juga yang mengajarkan kalau Anda tersenyum kepada orang, Anda bisa dianggap melakukan sedekah. Itu artinya mungkin dengan hanya menarik ujung bibir Anda bisa membesarkan hati orang, bisa menyelamatakan orang dari putus asa, dari minder dan lain sebagainya. Hal itu sudah cukup sebagai contoh bahwa sebenarnya kalau kita kembali kepada agama fitrah ini, agama yang sesuai dengan akal dan hati nurani, maka tidak perlu terjadi peristiwa-peristiwa yang membuat kita sesak dada ini.
Jadi kembalilah kepada inti agama dan jangan lihat agama pada tampilan, pada sorban, pada jubah. Sebab itu bukan agama. Agama itu ya pada prilaku, lihat prilakunya, baru lihat orangnya. Kita harus mengukur kebenaran ajaran itu dari ajarannya bukan dari prilaku pemeluknya. Kalau kita melihat orangnya juga lebih parah lagi. Jadi pertama, kembalilah pada ajarannya, kemudian lihat prilakunya, baru melihat orangnya.
Bangsa ini pada dasarnya adalah bangsa yang toleran dan orang-orang intoleran itu sedikit cuma gencar, gigih berkoordinasi dan memang ada yang menggerakannya sehingga kelihatan banyak tapi sebenarnya tidak. Anda tahu disini ada yang disebut dengan silent majority, mayoritas yang diam, yang suatu saat apabila memang para intoleran ini sudah benar-benar keterlaluan maka mereka akan tampil. Saya yakin itu.
Kalau aparat seperti gamang karena ukurannya adalah banyak dan sedikit, mayoritas dan minoritas, maka masyarakat akan melihat bahwa sebetulnya yang toleran itu lebih banyak. Walaupun sebenarnya ukuran mayoritas-minoritas itu tidak terlalu penting, yang penting itu kita adalah satu sebagai bangsa Indonesia, satu sebagai umat Islam, dimanapun, di negara manapun kita. Tapi kalau kita menghalang-halangi orang masuk surga, sedangkan Nabi saja berusaha agar semua orang masuk surga, itu berarti kita masuk di era kegelapan dan pertikaian pun tidak akan pernah selesai.
Anak-anak kita akan mewarisi ketegangan ini dan hidup dalam trauma dan tidak akan pernah bisa tampil sebagai sebuah bangsa, sebagai umat yang disegani oleh bangsa-bangsa lain. Dan itu adalah sebuah masa depan yang suram, buat kita semua, buat yang intoleran maupun yang toleran, buat yang menjadi pelaku maupun yang menjadi korban, buat yang mengkafirkan maupun yang dikafirkan, semua sama, tidak ada bedanya.
Karena semua adalah korban. Karena korban pertama kezaliman itu adalah pelakunya. Banyak orang menyebut bahwa orang lain yang menjadi korbannya, namun sebenarnya adalah dia sendiri, si pelaku kezaliman itulah yang mengorbankan dirinya. Korban dalam arti apa? Dia telah merugikan dirinya sendiri. Sekali lagi karena pelaku kejahatan, sejatinya adalah korban pertama dari kejahatan yang dia lakukan. (Lutfi/Yudhi)