Berita
Mengenal Kepribadian Imam Ja’far Shadiq as
Sejarah menunjukan bahwa Imam Ja’far as adalah tokoh yang sangat dihormati dan dimuliakan di zamannya. Menurut Yakubi, sudah menjadi kelaziman bagi ulama yang menyampaikan sesuatu dari beliau untuk mengatakan, “Si alim (Imam Ja’far Shadiq as) memberitahu kita.”
Bahkan pakar hukum Madinah, Malik bin Anas (95-179H), diriwayatkan pernah berkata apabila mengutip hadis dari Imam Jafar as, ia berkata, “Si Tsiqah Ja’far bin Muhammad sendiri mengatakan kepadaku bahwa….” Malik bin Anas menceritakan pribadi Imam Ja’far dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib (jil. 2, hal. 104), “Aku sering mengunjungi ash-Shadiq. Aku tidak pernah menemui beliau kecuali dalam salah satu keadaan ini: 1) beliau sedang salat, 2) beliau sedang berpuasa, 3) beliau sedang membaca kitab suci al-Quran. Aku tidak pernah melihat beliau meriwayatkan satu hadis dari Nabi saw tanpa bersuci. Beliau sosok paling bertakwa, warak, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad saw. Tiada mata yang pernah melihat, tiada telinga yang pernah mendengar, dan hati ini tidak pernah terlintas akan seseorang yang lebih utama (afdhal) melebihi Ja’far bin Muhammad dalam ibadah, kewarakan, dan ilmu pengetahuannya.”
Baca Pesan Imam Jafar Shadiq tentang Persaudaraan
Syahdan, khalifah Mansur Abbasiyyah ingin mengadakan perbahasan di antara Abu Hanifah dengan Imam Ja’far as. Khalifah bermaksud menunjukkan kepada Abu Hanifah bahwa khalayak ramai sangat tertarik pada Imam Ja’far bin Muhammad as karena keluasan ilmunya. Mansur meminta Abu Hanifah menyiapkan sejumlah masalah yang sulit untuk diajukan ke Imam Ja’far bin Muhammad as dalam acara diskusi itu. Sebenarnyar Mansur telah berencana untuk menjatuhkan Imam Ja’far as dengan cara itu dan membuktikan kepada khalayak bahwa keilmuan Ja’far bin Muhammad tidaklah luas.
Menurut Abu Hanifah, “Mansur memintaku datang ke istananya ketika aku tidak berada di Hirah. Ketika masuk ke istananya, aku melihat Ja’far bin Muhammad duduk di sisi Mansur. Ketika aku memandang Ja’far bin Muhammad, jantungku berguncang kuat, gementaran, dan rasa takut menyelimuti jiwaku terhadap Ja’far bin Muhammad lebih dari al-Mansur. Selepas memberi salam, Mansur memintaku duduk dan beliau memperkenalkanku pada Ja’far bin Muhammad. Kemudian Mansur memintaku menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada Ja’far bin Muhammad. Aku pun mengemukakan pertanyaan demi pertanyaan dan beliau menjawab satu demi satu, mengeluarkan bukan saja pendapat ahli-ahli fikih Irak dan Madinah namun juga mengemukakan pandangannya sendiri, beliau (juga) menerima atau menolak pendapat-pendapat orang lain itu sehingga beliau selesai menjawab empat puluh pertanyaan sulit yang telah kusiapkan untuknya.”
Abu Hanifah lalu berkata, “Tidakkah telah kukatakan bahwa dalam soal ahkam, orang paling alim dan mengetahui adalah orang yang mengetahui pendapat-pendapat orang lain?” Selepas peristiwa itu, Abu Hanifah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang ahli fikih yang paling alim selain Ja’far bin Muhammad.” [Muwaffaq, Manaqib Abu Hanifah, Jil. I, hal. 173; Dzahabi, Tadzkiratul Huffadz, Jil. I, hal. 157]
Zaid bin Ali pernah berkata, “Sepanjang waktu, Allah Swt melalui seorang lelaki dari kami, Ahlulbait, tidak akan mengizinkan manusia memberikan alasan yang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui hukum-hukum-Nya. Di zaman kami, sosok itu adalah anak saudaraku, Ja’far; siapa yang menentangnya, tidak akan mendapat petunjuk.” [Manaqib Shar Ashub, Jil. 3, hal. 147]
Yakubi meriwayatkan bahwa Mansur al-Dawaniqi berkata, “Ja’far berasal dari golongan yang Allah firmankan: Kemudian Kami wariskan Kitab al-Quran itu kepada orang-orang dari hamba Kami yang telah Kami pilih (QS. al-Fathir:32).” Imam Ja’far termasuk kalangan yang telah dipilih Allah Swt dan dari kalangan yang melebihi orang lain dalam hal kebaikan. Dari keluarga Nabi saw sentiasa ada seorang ulama yang mengetahui hadis-hadis Nabi saw secara keseluruhan dan mengajarkannya pada orang lain. Pada zaman kami, sosok itu adalah Ja’far ibn Muhammad.” [Tarikh Ya’qubi, Jil. 3, hal. 117]
Syahrastani mengatakan tentang Imam Ja’far Shadiq as, “Ilmunya sangat luas menyangkut agama dan adab. Beliau sangat menguasai falsafah, memiliki kesalehan besar di dunia dan sepenuhnya menjauhi hawa nafsu. Beliau hidup di Madinah cukup lama untuk memberi manfaat yang besar pada aliran yang mengikutinya dan memberi sahabat-sahabatnya kelebihannya dalam hal ilmu pengetahuan yang tersembunyi….” [al-Milal wa an-Nihal, Jil. I, hal. 166]
Imam Ja’far Shadiq as acap berkata, “Hadis-hadis yang kusampaikan adalah hadis-hadis dari ayahku. Hadis-hadis dari ayahku adalah dari datukku. Hadis-hadis dari datukku adalah dari Ali ibn Abi Talib as, Amirul Mukminin. Hadis dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib adalah hadis-hadis dari Rasulullah saw dan hadis-hadis dari Rasulullah saw adalah wahyu Allah Azza wa Jalla.” [Kulaini, al-Kafi, Juz I]
Islamic Source