Artikel
Mengeja Patriotisme Beberapa Tokoh Nasional
Tiba-tiba saja beberapa tokoh nasional berkumpul dan menunjukkan patriotismenya menyikapi wawancara Sukanto Tanoto yang dimuat di halaman Indonesiana Tempo. Beberapa tokoh itu muncul dan terlihat sangat bersemangat dalam membela tanah airnya. Hanya saja sesuatu yang lagi-lagi membuat hati terasa miris adalah ketika kembali mereka menyinggung soal yang berbau SARA. Karena itu, wajar saja jika kemudian muncul sebuah pertanyaan, tuluskah mereka dalam patriotismenya itu?
Memang benar bahwa apa yang dikatakan oleh Sukanto Tanoto yang notabene adalah seorang konglomerat merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan. Dia yang lahir di Indonesia, besar di Indonesia, kemudian menikah dan memulai bisnisnya di Indonesia, tiba-tiba dia katakan Indonesia hanyalah ayah angkatnya, sedangkan Cina adalah ayah kandungnya. Lebih miris lagi hal itu dia katakan karena dia masih merasa sebagai orang Cina. Bahwa kecinaannya melebihi apapun. Dengan kata lain, rasa keindonesiaan tidak sedikitpun melekat pada dirinya. Seolah dia mengingkari dari tanah mana dia tumbuh besar dan bahkan kemudian menjadi seorang yang bergelimang harta.
Menilik kehidupan bangsa Indonesia yang bhineka, maka tidaklah salah jika mengatakan bahwa Sukanto Tanoto adalah seorang yang sektarian. Sebagaimana tidak berbeda dengan seorang Jawa yang menonjolkan kejawaannya, orang Sunda dengan kesundaannya, atau orang dari etnis manapun yang menonjolkan kesukuannya. Jelas, ujung-ujungnya dari sikap yang demikian ini adalah sikap yang akan lebih mengarah kepada sikap intoleran, yakni sebuah sikap yang sama sekali tidak dikehendaki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri yang menjunjung tinggi prinsip Bhinneka Tunggal Ika ini.
Namun terlepas dari itu semua, siapapun tentu memahami bahwa Sukanto Tanoto tidaklah bisa dikatakan sebagai sosok yang cukup mewakili isi jiwa seluruh etnis Cina yang ada di Indonesia. Artinya, masih ada kemungkinan bahwa orang-orang yang satu etnis dengan Sukanto Tanoto namun jiwa patriotismenya berbeda dengannya. Perlu digarisbawahi, ini bukanlah pembelaan pada etnis tertentu. Hanya saja, sudah seharusnya kita mesti obyektif dalam melihat dan menilai sesuatu. Itu saja.
Karenanya, sekali lagi, sangat wajar muncul pertanyaan ketika beberapa tokoh nasional tiba-tiba sangat bersemangat menunjukkan sikap patriotismenya disebabkan kata-kata Sukanto Tanoto, namun berbarengan dengan itu mereka besar-besarkan persoalan terkait perbedaan etnis. Untuk apa?
Jika tak mau menjawabnya, renungkan saja andai di pojokan jalanan ada seorang yang menghela nafas panjang setelah membaca berita itu dan kemudian bergumam: “Kepentingan apa lagikah yang sedang mereka usung?” (Malik AZ/Yudhi)