Berita
Menelusuri Ciliwung
Sungai Ciliwung merupakan sungai terpenting di Tataran Pasundan, Pulau Jawa. Terutama karena melalui wilayah ibu kota, DKI Jakarta, dan kerap menimbulkan banjir tahunan di wilayah hilirnya. Dahulu, sungai dengan panjang hampir 120 km dan membentang dari Bogor hingga kota Jakarta ini dapat dilalui perahu-perahu kecil pengangkut barang dagangan.
Dalam perkembangannya, bersamaan pula dengan padatnya penduduk Jakarta, sungai Ciliwung kini banyak beralih fungsi dan menjadi sumber berbagai permasalahan. Masalah terpentingnya adalah banjir dan padatnya pemukiman, terutama bangunan-bangunan liar di bantaran kali. Ditambah lagi kurangnya kesadaran masyarakat yang sering membuang sampah di sungai.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 2011, pasal 9 tentang sungai disebutkan: Garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan, ditentukan:
(a). paling sedikit berjarak 10 m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter.
(b). paling sedikit berjarak 15 m (lima belas meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 m (tiga meter) sampai dengan 20 m (dua puluh meter), dan poin (c) dengan kedalaman lebih dari 20 meter paling sedikit berjarak 30 meter.
Sementara dalam pasal 10 ayat (2): Garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit berjarak 100 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. Ayat (3): Garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit 50 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
Berdirinya bangunan-bangunan di sepanjang tepian sungai Ciliwung terutama di Jakarta secara langsung memang bertentangan dengan aturan pemerintah di atas.
Alhasil, pemerintahan DKI Jakarta pun dalam upaya mengembalikan tata ruang kota dan mengembalikan fungsi sungai menemukan banyak kendala dan tantangan dari banyak pihak, terutama warga yang sudah lama tinggal di bantaran sungai.
Kasus terbaru dalam merealisasikan normalisasi sungai Ciliwung ini adalah penggusuran pemukiman warga Kampung Pulo, Jakarta Timur. Meski pemerintah menyediakan rusun sebagai tempat relokasi warga, namun kenyataannya banyak warga menolak, hingga akhirnya berujung bentrok antara aparat pemerintah dengan warga yang hendak digusur rumahnya. Alasan penolakan warga pun beragam; mulai dari persoalan ganti rugi, juga hilangnya lahan pekerjaan. Setelah Kampung Pulo, proyek normalisasi ini pun dianggap menjadi ‘ancaman’ bagi kampung-kampung lain di bantaran sungai yang sedianya juga akan menjadi target penggusuran.
Namun, proyek yang sudah berjalan sejak 2013 dan diperkirakan menghabiskan dana 5,8 Triliun untuk menormalisasi sungai Ciliwung dengan cakupan wilayah panjang sungai sekitar 20 km ini tetap akan dilangsungkan. Dalam hal ini, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahya Purnama menargetkan, proyek ini selesai tahun 2016 nanti. Triliuanan rupiah merupakan dana sangat besar hanya untuk sekadar urusan sungai di Jakarta.
Mengembalikan sungai sesuai fungsinya, serta upaya mengatasi persoalan banjir di Jakarta tentu menjadi sebuah cita-cita yang sejak dulu diharapkan.
Namun dalam penerapannya, apakah Pemerintah DKI dalam hal ini benar-benar sepenuhnya memihak kepentingan rakyat? Ataukah ada kepentingan lainnya? Mengingat, proyek ini menelan biaya sangat besar dan melibatkan banyak pihak. Setidaknya pengembang rumah susun dan kontraktor yang terlibat dalam normalisasi ini, memiliki kepentingan dalam hal keuntungan. Di sisi lain ada warga tergusur yang tidak mendapat ganti rugi, atau ganti rugi yang tidak sesuai.
Selain itu apakah dalam normalisasi ini, Pemrov DKI tidak tebang pilih dalam menggusur bangunan-bangunan yang seharusnya menjadi bagian dari penggusuran? Tim ABI Press sedang menelusurinya. (Malik/Yudhi)