Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Menanti Penegak Hukum Hate Speech

Menanti Penegak Hukum Hate Speech

Bunuh Ahmadiyah!

Usir Syiah!

Darah Kamu Halal!

Polisi Taghut!

Pernahkah anda menemukan orang-orang yang berpidato atau ceramah dengan menggunakan ujaran-ujaran di atas?

Apakah menurut anda makna dari ujaran-ujaran yang tersebut diatas adalah sebuah ujaran bermakna anjuran? Bermakna ancaman? bermakna pujian? Atau bermakna nasihat?

Sekarang, coba anda bayangkan, bila anda bersama istri dan dua orang anak anda yang masih berumur 6 dan 10 tahun. Terkepung ditengah-tengah 500 orang yang mengerumuni anda dengan membawa berbagai perlatan seperti balok kayu, bambu dan juga berbagai senjata tajam yang telah terhunus. Dengan mata yang tajam penuh kebencian semua orang yang mengepung keluarga anda berteriak-teriak dan mengacungkan apa saja yang mereka bawah.

Sementara istri dan kedua anak anda terus menangis, gemetaran dengan terus memeluk tangan anda sangat erat, mencoba mendapatkan perlindungan dari anda yang pada saat itu juga sangat sadar tidak dapat melindungi diri anda sendiri, apalagi melindungi istri dan kedua anak anda? Sementara lima ratus orang yang mengepung anda, dengan garang terus berteriak dengan teriakan seperti “Bunuh!”, “Usir!”, “Darah Kamu Halal!”, ataupun kata “Kafir!”

Bagaimanakah perasaan anda bila ada pada kondisi seperti di atas itu?

Bahkan ketika anda datang untuk melaporkan kejadian intimidasi dan ancaman terhadap diri dan keluarga anda yang baru saja anda dapatkan ke kantor polisi dengan maksud untuk mendapatkan perlindungan. Bila Polisipun menjawab laporan anda dengan mengatakan “Maaf kami tidak bisa memproses laporan anda dan demi keselamatan anda sebaiknya anda pindah saja dari tempat itu”

Bagaimanakah perasaan anda kali ini? Jika perlindungan hukum yang dijanjikan oleh negara kepada setiap warga negaranya ternyata tidak anda dapatkan?

Hate Speech, itu tidak bisa dijerat hukum, karena dalam delik peraturan kita mengatakan bahwa itu bukan termasuk tindakan ataupun perbuatan hukum,” ujar Abdul Khoir, salah seorang peneliti Setara Institute.

Walaupun undang-undang di Indonesia memiliki undang-undang no 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang melarang adanya tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyebaran ujaran kebencian. Namun dalam undang-undang tersebut tidak mengatur secara spesifik tentang ujaran kebencian atas dasar agama.

“Selama ini banyak sekali pengaduan dari masyarakat terkait dengan hate speech. Ada penyebaran rasa kebencian oleh seseorang dan ironinya polisi tidak bisa melakukan tindakan hukum” ungkap Kompolnas Edi Saputra Hasibuan, melalui telepon.

Menurut Kompolnas Edi, banyak masyarakat yang keberatan dengan hate speech namun dilain pihak polisi tidak bisa mengambil tindakan hukum, polisi bisa melakukan tindakan hukum apabila ada dampak yang diakibatkan dari hate speech tersebut. Misalnya ada pembunuhan akibat dari provokasi atau hate speech untuk melakukan pembunuhan tersebut baru bisa dinyatakan sebagai pelanggaran hukum.

Satu-satunya pasal yang ada di Indonesia saat ini yang mengakomodir penegakan hukum terhadap praktik-praktik penyebaran kebencian berdasarkan agama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 156 KUHP menyebutkan :

Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara”.

Namun dalam buku “Menyebarkan Kebencian atas Dasar Agama Adalah Kejahatan” yang diterbitkan oleh ILRC (The Indonesian Legal Resource Center), menyatakan bahwa pasal 156 KUHP tidak merumuskan perkataan “Hasutan yang mengakibatkan diskriminasi dan kekerasan” sebagai akibat dari bentuk tindakan kebenciaan agama sesuai dengan pasal 20 ayat (2) Konvenan Hak-hak Sosial Politik yang telah disepakati oleh Indonesia tahun 2005 di PBB.

Pada 30 September 2005, Indonesia telah meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hak-hak manusia, yaitu Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Internasional convenant on Economic, Social dan Culture Right – ICESCR) atau yang lebih dikenal di Indonesia dengan sebutan Hak Ekosob.

Indonesia juga menandatangani Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Internasional Convenant on Civil and Political Right – ICCPR) yang lebih dikenal di Indonesia dengan sebutak Hak Sipol. Kemudian 28 Oktober 2005, pemerintah mengesahkan ICESR menjadi UU no. 11/2005 dan ICCPR menjadi UU no. 12/2005.

Artinya, menurut Khoir yang berlaku di Indonesia adalah undang-undang negara, itu semangatnya adalah semangat Universal, namun tidak bisa melanggar hukum norma-norma yang ada di dalam Indonesia. Hal itulah salah satu yang menjadi kendala di Indonesia yang membuat susah menjerat para pelaku Hate Speech.

Pasal 156 KUHP sendiri terlalu luas bila harus menjerat mereka yang melakukan Hate Speech. Disisi lain, menurut Khoir, para penegak hukum, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK) ketika memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan norma-norma hak asasi manusia Universal. Para penegak hukum akan mengatakan hak manusia Universal tersebut telah diratifikasi ke undang-undang negara.

Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi hak-hak Sosial dan Politik (Sipol), indonesia seharusnya menerapkan seratus persen ratifikasi tersebut, seperti apa?

“Saya sih mengharapkan klausula Hate Speech itu dimasukan dalam RUU KUHP ataupun regulasi perundang-undangan di Indonesia, itu artinya indonesia mau melakukan perubahan-perubahan yang cukup radikal tapi ketika itu tidak dilakukan artinya kita masih setengah hati untuk meratifikasi norma-norma universal” jelas Khoir menanggapi apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah Hate Speech.

Keprihatinan juga di ungkapkan oleh Kompolnas Edi, dengan mengharapkan kalusul Hate Speech bisa diatur dalam revisi UU Kepolisian atau revisi UU KUHP agar ada modal bagi para penegak hukum untuk menjerat para pelaku Hate Speech yang saat ini bebas dan merajalela tanpa ada hukum yang mampu menyentuh mereka sedikitpun.

“Kami harapkan dalam revisi undang-udang KUHP nanti ada peraturan-peraturan yang mengatur soal Hate Speech” pungkas Kompolnas Edi. (Lutfi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *