Berita
Menanti Ketegasan Penegak Hukum Terhadap Kelompok Radikal ISIS
ISIS ancaman bagi dunia atau hanya untuk Irak dan Suriah saja? Pertanyaan itu agaknya perlu diwacanakan mengingat banyaknya pendukung ISIS berada di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Kelompok radikal yang kebrutalannya sudah diketahui oleh masyarakat dunia ini agaknya melegalkan aksinya dengan istilah “jihad,” bahasa yang sangat popular di kalangan umat Islam sendiri maupun yang memusuhinya.
Secara bahasa, jihad dapat disebut sebagai sebuah kesungguhan dalam berjuang. Dalam arti mencurahkan segenap kekuatan dan kesungguhan untuk berjuang di jalan Allah Swt. Dalam pengertian umum, “berjuang di jalan Allah Swt” memiliki banyak makna; bisa berjuang dalam menuntut ilmu, mencari nafkah, dan sebagainya. Secara khusus “jihad” di sini memiliki arti “perang” melawan musuh-musuh Islam (biasa disebut kafir).
Apakah semua orang kafir boleh diperangi? Ternyata tidak. Dalam Islam orang kafir yang terang-terangan menyatakan perang terhadap Islam saja yang boleh diperangi. Dengan kata lain, posisi “jihad” dalam Islam di sini hanyalah upaya mempertahankan diri dari serangan musuh. Belum lagi, banyak aturan yang harus dipatuhi dalam perang (dalam hal ini berjihad). Di antaranya; tidak boleh merusak fasilitas umum, tempat ibadah, tidak boleh membunuh anak-anak, orang lanjut usia, dan lain-lain.
Namun sayangnya realita “berjihad” ala ISIS tidak sesuai dengan jihad dalam konsepnya. Mereka lebih tepat jika disebut sebagai kelompok yang melakukan ekspansi terhadap negara lain yang sudah berdaulat (Suriah dan Irak). Mereka datang dari berbagai negara di belahan dunia bukan untuk mempertahankan Islam dari serangan musuh melainkan menyerang pihak lain terlebih dulu yang mereka anggap sebagai musuh. Ironisnya, banyak umat Islam sendiri yang justru menjadi korban kebrutalannya. Banyak fasilitas umum dirusak dan banyak anak-anak terbunuh.
Untuk mengetahui kesalahan jihad ala ISIS ini tak perlu kita mengernyitkan dahi untuk memahaminya. Cukuplah kita melihat fakta yang ada lalu akan mmuncul pertanyaan, kenapa memilih jihad di Irak dan Suriah sana? Bukankah penindasan terhadap umat Islam jelas-jelas terjadi di Palestina? Pelakunya jelas, dan korbannya jelas, sebagian besarnya adalah kaum Muslimin. Tapi tak nampak sekalipun kelompok radikal ISIS ini berusaha melawan penjajah Zionis di tanah Palestina. Justru sebaliknya kelompok ini mempertegas posisinya dengan berhadapan melawan pasukan Hizbulah (kelompok perlawanan terhadap Zionis) yang berpusat di Libanon. Dalam banyak literatur disebutkan Suriah dan pasukan Hizbullah dari Libanon merupakan kelompok yang banyak membantu perjuangan rakyat Palestina dan bertempur melawan Zionis Israel (sebuah organisasi internasional yang mencaplok tanah Palestina untuk mendirikan sebuah “Negara”). Kehadiran ISIS yang berhadapan melawan Suriah dan pasukan Hizbullah sekali lagi mempertegas slogan “berjihad” ala ISIS menjadi lebih tepat untuk disebut sebagai slogan “berbuat jahat.” Hal tersebut dipertegas juga dengan fakta kejahatan yang diperbuatnya, dengan korban terbesar justru kaum Muslimin sendiri. Entah itu korban langsung karena aksi terornya, maupun stigma terhadap Islam secara menyeluruh yang kemudian dianggap sebagai agama teroris. Membungkus aksi jahat dengan label “jihad” agaknya menjadi cara efektif untuk memperkenalkan Islam sebagai agama barbar yang patut untuk dijauhi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai negara terbesar pemeluk agama Islamnya ini, Indonesia menjadi “lahan basah” dan potensial terpengaruh faham radikal semacam ISIS. Bagaimana tidak, era Reformasi pasca tumbangnya presiden Soeharto telah membuka peluang bagi siapa saja untuk menyampaikan pendapat dan fahamnya secara terbuka. Alhasil, banyak kalangan saat ini leluasa dan terang-terangan mendukung kelompok radikal ISIS melalui deklarasi, kampanye media dan sebagainya. Bahkan, beberapa pengamat teroris dan kelompok radikal di Indonesia mensinyalir adanya pendukung ISIS yang ikut langsung berangkat ke Suriah.
Solahuddin, salah seorang peneliti dan penulis buku tentang terorisme menilai belum ada instrumen hukum yang tegas terhadap kelompok radikan ini. Beberapa orang sempat ditangkap karena disinyalir sebagai pendukung ISIS. ‘’Tapi kemudian dibebaskan lagi, ada yang kemudian ditahan tapi bukan karena mendukung ISIS, tapi karena kasus lain seperti pemalsuan dokumen dan lainnya.”
Solahuddin juga menyebut adanya kelompok radikal lain yang secara politik berseberangan dengan faham ISIS. Bahkan mereka juga menolak keberadaan ISIS. Hal itu dapat dipahami bahwa pasca berakhirnya rezim teroris internasional al-Qaeda yang dipimpin Osama Bin Laden, menetaslah “telur“ dan “bibit” baru dari latar belakang yang berbeda-beda. Belum lagi adanya faham yang memang dalam dasar ajarannya mengajarkan hal-hal ekstrem dan radikal seperti Wahabi-Salafi. Hat tersebut dapat dilihat di tengah masyarakat, kelompok-kelompok tersebut rela mengabaikan hubungan sosial demi apa yang mereka sebut sebagai upaya “memurnikan’” ajaran agama. Sebagai contoh; mereka menganggap musyrik ritual-ritual ajaran dan pemahaman agama tertentu, tradisi-tradisi yang sudah ada, bahkan acara memperingati Maulid Nabi di kalangan umat Islam sendiri pun dianggap sesuatu yang harus dihindari.
Bahkan budaya dan tradisi lokal yang diajarkan nenek moyang dalam mendakwahkan ajaran Islam terdahulu agaknya lebih Islami ketimbang ajaran “baru” yang mengatasnamakan pemurnian agama itu. Lihat saja misalnya, pemahaman dan tradisi lama dapat menyatukan masyarakat dalam berbagai perbedaan struktur sosial yang ada. Sebaliknya, ajaran baru yang mengatasnamakan pemurnian itu tak lebih hanya berperan meruntuhkan struktur sosial yang ada. Hingga pada kondisi tertentu sesama saudara seiman dapat bertengkar hanya gara-gara masalah boleh-tidaknya melaksanakan Maulid Nabi, atau misalnya, tidak mau menghadiri suatu undangan yang dianggap mengandung ritual-ritual tertentu yang dianggap bid’ah, padahal sebelumnya tidak pernah dipermasalahkan.
Instrumen Hukum di Indonesia
Belum lama ini kita dikejutkan dengan hilangnya 16 Warga Negara Indonesia (WNI) di Turki. Berbagai spekulasi bemunculan. Pendapat bahwa mereka bergabung dengan kelompok radikal ISIS mencuat dari berbagai pengamat kelompok radikal ini. Lalu, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait hal itu? Nampaknya pertanyaan itu belum mendapat tanggapan tegas dari pemerintahan kita.
Kembali ke permasalahan awal tadi, ketika “berjihad” ala ISIS ini dikategorikan sebagai “berbuat jahat,” lalu bagaimana dengan posisi orang yang menyatakan dukungan bahkan pembelaannya terhadap tindakan “berbuat jahat” itu? Ternyata kata “membela” agaknya memiliki makna yang cukup luas. Dalam hal ini, membela memiliki banyak arti, bisa bermakna; mendukung secara finansial (pendanaan), secara fisik (terlibat langsung), melalui kampanye (mengajak orang-orang, melalui ceramah, artikel dan sebagainya).
Sementara dalam hukum pidana, orang yang terlibat dalam aksi kejahatan; terlibat langsung secara fisik maupun terlibat dalam memuluskan aksi dengan memberikan fasilitas seperti membiayai kejahatan, semestinya juga mendapat sanksi pidana. Sedangkan mengajak (berbuat jahat/jihad ala ISIS), menyuruh, dan memberikan semangat provokasi (untuk berbuat jahat) agaknya lebih tepat masuk dalam kategori penghasutan.
Peran negara dalam hal ini agaknya lemah. Pertama, nampaknya pemerintah dalam hl ini kecolongan dengan adanya WNI yang terlibat langsung menjadi anggota ISIS di Suriah dan Irak. Kedua, pengumpulan dana dari masyarakat yang disalurkan ke Suriah kurang mendapat perhatian dan audit yang jelas dari lembaga penyalur bantuan. Hal yang patut dipertanyakan adalah: apakah uang tersebut diperuntukkan bagi warga Suriah (yang menjadi korban) atau sebaliknya digunakan bagi berkembangan ISIS sebagai pendatang haram?
Dalam hal penghasutan misalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) yang kala itu diketuai Mahfud MD mengubah rumusan delik penghasutan dalam pasal 160 KUHP, dari delik formil menjadi materil. Delik formil yang artinya, perbuatan penghasutan itu bisa langsung dipidana tanpa melihat ada tidaknya dampak dari penghasutan tersebut. Sedangkan delik materil seseorang yang melakukan penghasutan baru bisa dipidana bila berdampak pada pidana lain seperti kerusuhan, pembunuhan atau suatu perbuatan anarki lainnya.
Kalaupun penghasutan itu kemudian menimbulkan tindak pidana, secara delik materil butuh kerja keras dan proses panjang untuk membuktikan keterkaitan antara tindak pidana dan proses penghasutan itu. Yang akan menjadi pertanyaan, apakah tindak pidana yang terjadi benar-benar efek dari penghasutan atau dari faktor lain?
Peran aparat negara dalam delik formil cenderung bersifat mencegah supaya tindak pidana akibat penghasutan dapat diminimalisir bahkan tidak terjadi. Sedangkan delik materil bersifat penindakan setelah tindak pidana dilakukan.
ISIS dalam Kacamata Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme
Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 cukup jelas untuk melihat posisi ISIS dalam hukum tindak pidana terorisme. Isi undang-undang itu menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Jika kita lihat, sebenarnya posisi “berjihad” ala ISIS yang bermakna “berbuat jahat” di Suriah dan Irak itu, sudah memenuhi kriteria dalam undang-undang tersebut untuk disebut sebagai pelaku teror (teroris). Tapi entah kenapa, seperti masih ada kebimbangan aparatur penegak hukum di negara kita untuk menindak mereka yang menyatakan ‘”baiat” atau menyatakan diri menjadi anggota (bagian dari) kelompok radikal ISIS, apakah mereka yang “berbaiat” juga sudah bisa disebut menjadi bagian dari teroris dan bisa disebut teroris? (Malik/Yudhi)