Berita
Menanti Keseriusan Pemerintah Atasi Persoalan Garam
Melambungnya harga garam kembali ramai diberitakan pada pekan terakhir bulan ini. Angka kenaikannya bervariasi dari 100 hingga 400 persen. Tidak hanya naik, kebutuhan pokok yang dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat ini dikabarkan langka di beberapa daerah. Sementara itu, pemerintah masih mengandalkan impor untuk mencukupi kebutuhan garam dalam negeri.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan impor garam memang tidak bisa dihindari guna memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Ia juga mendukung jika pemerintah melalui Kementerian Perdagangan melakukan impor garam untuk menyikapi kelangkaan.
“Impor garam memang tidak bisa dihindari karena produksi garam di Indonesia masih sangat sedikit dan belum banyak pabrik garam di Indonesia,” katanya di Semarang, sebagaimana dilaporkan Antara, Minggu (30/7).
Sebagai negara dengan wilayah yang sebagian besar adalah lautan, Indonesia berpeluang menjadi negara swasembada garam. Bahkan berpeluang besar menjadikan kebutuhan pokok satu ini sebagai komoditas ekspor. Namun ironisnya, kelangkaan garam justru terjadi.
Persoalan garam membutuhkan keseriusan pemerintah
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB) Prof Indrajaya mengatakan, persoalan garam membutuhkan keseriusan pemerintah.
“Menurut hemat saya persoalan garam dikarenakan kurang gigihnya kita memanfaatkan dan memperjuangkan potensi tambak garam yang kita miliki,” kata Indra seperti dikutip Antara, Sabtu (29/7).
Indra menjelaskan, impor garam terjadi karena jumlah produksi nasional tidak mencukupi tingkat konsumsi. Padahal, teknologi untuk memproduksi garam tergolong rendah (low tech), bukan teknologi tinggi (high tech). Sehingga masalah garam bukan di teknologi, tapi kemauan untuk mandiri atau swasembada yang lemah.
Ia menyebutkan, tambak garam di Indonesia luas, tersebar di sejumlah daerah seperti Madura, NTT, Sulawesi Selatan dan lainnya. Tapi potensi itu kurang digarap secara serius.
“Mestinya kita serius mengurus dari proses produksi sampai ke distribusi,” katanya.
Menurutnya, untuk meningkatkan produksi garam, pemerintah harus membantu para petani, karena kalau tidak dibantu, maka petani garam Indonesia tidak akan kompetitif. Selain itu, tambak garam yang ada saat ini perlu dibenahi, juga infrastrukturnya.
Produksi garam di Indonesia saat ini menggunakan sistem evaporasi yakni air laut dialirkan ke dalam tambak kemudian air yang ada dibiarkan menguap. setelah beberapa lama akan tersisa garam yang mengendap di dasar tambak tersebut.
Menurutnya, dalam teknologi tersebut, perlu aliran air laut yang masuk ini diatur atau dijamin ke semua tambak.
Setelah dipanen juga perlu ada jalan untuk mengangkut garam tersebut. Selain itu, dasar tambak juga perlu diberi alas atau terpal agar tidak lagi seperti dulu yang tradisional, alasnya adalah tanah.
“Nah ini semua butuh investasi awal yang perlu mendapat dukungan pemerintah,” katanya.
Ia mengatakan, tambak garam di Indonesia boleh dikatakan sangat tradisional, sehingga perlu sedikit sentuhan teknologi, misalnya dengan pemberian alas atau terpal tadi sehingga kualitas garam yang dihasilkan akan lebih baik dari yang ada saat ini. Saat ini garam yang dihasilkan umumnya kotor, bercampur dengan tanah atau lainnya.
Menurutnya, India mampu memproduksi garam dengan sistem yang praktis dan tetap ekonomis. Maka, Indonesia juga harus bisa. Berbeda dengan Australia, agak lain, karena garam ditambang oleh mereka.
“Tambang garam di Australia jadi praktis tinggal keruk, masukkan ke karung, lalu dijual,” katanya.
Indra menjelaskan, India dan Indonesia sama-sama menggunakan teknologi evaporasi dalam memproduksi garam. India mampu karena menangani dengan serius dan sungguh. India mengganggap industri garam sebagai lahan untuk memberi kesempatan kerja kepada rakyat. (AM)