Artikel
Menampung Rahmat Allah di Bulan Suci Ramadan
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya,… (QS. Ar-Ra’d Ayat 17)
Berkenaan dengan ayat tersebut Direktur Islamic Cultural Center Jakarta, Syeh Hakim, dalam khutbah Jumat (25/5) memaparkan bahwa rahmat Allah yang sedemikian luas akan didapatkan oleh setiap orang sesuai kadar dan kemampuan orang tersebut untuk bisa menampung rahmat-rahmat itu.
Bulan suci Ramadan memberikan peluang amat baik untuk meningkatkan potensi dan kadar dan kemampuan menampung Rahmat Allah swt. Karena di bulan ini Allah swt menurunkan rahmatnya yang meliputi segala sesuatu. Di bulan ini setan-setan dibelenggu dan Allah swt memerintahkan malaikat-Nya untuk menutup pintu-pintu neraka serta membuka pintu-pintu surga. Artinya, di bulan ini jalan menuju surga dan keridhaan Allah semakin mudah.
Baca juga: Fikih Puasa menurut Mazhab Ahlulbait
Syekh Hakim kemudian menyampaikan sekelumit kisah berkenaan dengan rahmat Allah swt dan penerimaan seorang hamba:
Seorang Sufi dari kalangan Ahlusunnah bernama Dzun Nun al-Misri bercerita, suatu hari ia keluar rumah menuju suatu keperluan. Saat itu salju turun dengan lebatnya, dan di mana-mana dipenuhi dengan salju. Dzun Nun kemudian melihat tetangganya yang seorang Yahudi sedang menaburkan biji-bijian gandum di atas salju.
“Buat apa biji-bijian gandum ini kau sebar disini? Tanya Dzun Nun.
“Sekarang di mana-mana dipenuhi salju. Burung-burung yang beterbangan mencari makanan akan kesulitan mendapatkannya karena tertutup oleh salju. Karena itu aku sebar biji-bijian gandum ini supaya mereka mudah mencari makan,” jawab tetangganya.
Baca juga: Aplikasi “Waktu Shalat Falak ABI”
Lalu Dzun Nun berkata kepadanya, “Kenapa engkau lakukan ini sedangkan engkau adalah orang Yahudi? Allah tidak akan menerima sesuatu dari orang yang belum masuk Islam.”
“Allah mau menerima ataukah tidak yang penting Dia melihat aku. Yang penting ada hamba-hamba Allah dan ciptaan Allah yang kenyang dengan perbuatanku”. Kata si Yahudi.
Kemudian Dzun Nun al-Misri meninggalkan tetangganya.
Baca juga: Fikih Zakat menurut Ahlulbait
Setahun kemudian, Dzun Nun pergi melaksanakan ibadah haji. Ketika berada di Masjidil Haram, di dekat Ka’bah, ia melihat tetangganya yang yahudi sedang berada di Ka’bah memegang tirai Ka’bah sambil berdoa dengan sangat khusyuk.
Dzun Nun kemudian mendatanginya, “Wahai tetanggaku, bukankah engkau orang Yahudi? Apakah engkau sudah masuk Islam?”
“Iya benar aku sudah masuk Islam”. Jawabnya.
Dzun Nun kembali bertanya, “Bagaimana kisahmu bisa masuk Islam?”
Tetangganya tadi menjawab, “Kisah benih-benih gandum yang aku tebar. Allah melihat dan Allah yang mengganti imbalan. Allah telah memberikan balasan yang sangat besar kepadaku dan membuka tirai-tirai kebodohan dariku, sehingga aku mendapatkan petunjuk.” (Muh/Ahlulbait Indonesia)