Berita
Menafsir Ulang Gerakan Islam Progresif
Islam sejak awal hadir sebagai sebuah ajaran dan gerakan pembebasan dan penegakan keadilan sosial. Dalam ajaran Islam yang progresif ini, upaya-upaya penyucian dan kebenaran transendental memang tak bisa dilepaskan dari upaya perlawanan membangun sosial justice.
Sejarah perlawanan Nabi Muhammad saw kontra kekuatan oligarki kafir Quraisy yang menindas kaum mustadhafin membuktikan hal ini. Tapi kenapa saat ini umat Islam yang mengaku ‘progresif’ kebanyakan abai akan spirit perlawanan terhadap kekuatan penindas, dan lebih sibuk pada isu-isu identitas sektarian?
Berikut wawancara ABI Press dengan aktivis Islam Bergerak dan cendekiawan muda NU, Gus Roy Murtadho.
Bagaimana Anda melihat paradigma ajaran Islam, Gus Roy?
“Islam itu menurut saya sangat Kiri dan progresif. Kalau Muslim tidak progresif dan Kiri, menurut saya patut dipertanyakan keislamannya.”
“Dimensi progresif dan Kiri dari Nabi Muhammad itu sangat jelas terlihat. Nabi Muhammad itu datang tidak sedang memperkenalkan Tuhan baru. Tuhannya sama. Bapaknya Muhammad namanya Abdullah, hamba Allah. Allah itu berasal dari kata ‘Al’ yang artinya ‘the’, dan Illah, yang artinya Yang Maha Tak Terdefinisikan, Yang Maha Tak Terjangkau manusia. Jadi sudah jelas, tuhannya sama, Allah.
“Bobroknya orang Quraisy, yang dilawan oleh Nabi Muhammad, adalah sistem berpolitiknya yang oligarkis, terjadi perbudakan, perempuan yang diwariskan, menindas rakyat kecil, dan sebagainya itu. Nabi Muhammad, hadir menghancurkan oligarki politik itu. Inilah Islam yang (sejatinya) progresif. Jadi, Islam semestinya menjadi gelombang besar melawan ketidakadilan, pembebasan, maka dia jadi bagian dari gerakan progresif.”
Lalu bagaimana Anda melihat gerakan Islam progresif di Indonesia sekarang ini?
“Pertama harus kita jelaskan lebih dulu apa itu artinya Kiri dan progresif. Menurut saya soal kategori progresif sejak awal sudah problematis. Itu dulu. Pertama pada siapa pemikiran atau gagasan itu, dan untuk apa progresifitas itu mau dimajukan atau diperjuangkan?”
“Islam yang progresif itu membebaskan, to liberate. Jadi liberation atau pembebasan. Itu bukan liberalisme. Nah kategori itu yang mau kita tolak, yang mau kita jernihkan. Liberalisme itu bukan progresifisme. Alih-alih membebaskan, ketika menerima ekonomi pasar (liberalisme), justru ketidakadilan dimulai dari sana. Ketidakadilan yang mulanya bergerak dalam sektor-sektor domestik, justru sekarang mengarah pada ketidakadilan yang lebih besar dari sektor domestik, di sektor publik. Dalam perburuhan, perempuan digaji separuh dari gaji laki-laki. Atau perampasan lahan yang besar-besaran itu.”
“Sayangnya ide-ide Islam progresif yang dalam kategori liberal, itu tidak menjadi liberation. Tidak ada proposal perubahan yang baru. Progresifitas itu kan bisa dimaknai karena ada kebaruan, ada yang baru, ada newness-nya. Jadi nilai kebaruannya sebenarnya tidak ada. Karena kritik pada kejumudan, ketertinggalan, itu adalah kritik Cak Nur, tapi tidak diradikalkan menjadi sebuah agenda gerakan, menjadi sebuah teori yang lebih komprehensif, yang lebih rigorous dan mencipta yang baru. Itu yang menurut saya sejak awal itu problematis.”
“Kedua, untuk siapa dan untuk apa gagasan itu tengah diajukan? Nah, kita tahu untuk apa dan untuk siapa, kan? Alih-alih membebaskan banyak orang, malah menindas rakyat kecil. Ada jarak dengan rakyat. Intelektual mestinya adalah bagian dari rakyat. Semua intelektual manapun dia harus sadar bahwa dia adalah bagian dari kelas sosialnya. Kelas sosialnya siapa? Mereka yang menerima liberalisme dan tidak mengamalkan liberalisme (dalam artian membebaskan) itu justru mewakili kelas menengah sosial borjuasi. Bukan kelas sosial kita.”
“Kita lihat mereka gagal untuk membebaskan kaum mustadhafin. Kaum mustadhafin kalau dalam gagasan Soekarno kan Marhaen. Orang-orang yang tertindas, yang dirugikan langsung atau tidak langsung terhadap proses percepatan re-organisasi ruang berupa perang tanah untuk membangun ruang-ruang kapitalis baru. Mereka diam saja. Tidak ngomong apa-apa. Tidak berbuat apa-apa.”
Anda mengatakan mereka lupa dengan nllai progresifitas Islam?
“Ya, mereka itu kan bergerak pada modernitas. Mereka mengaku sebagai neomodernism. Modernisme Islam. Nah, ada tokoh modernis yang namanya Francis Bacon. Dan saya kira mereka juga tidak konsisten untuk menjaga ide-idenya Francis Bacon. Bacon mengatakan bahwa untuk mencapai objektifitas itu harus melampaui empat idola; idola fora, idola theatra, idola tribus, dan idola specus. Idola-idola itu kalau orang bisa melampauinya maka bisa mencapai objektifitas. Ketika orang mempercayai dengan rasionalisme, percaya dengan akal, la’allakum ta’qilun, tapi terus membakukan satu gagasan tertentu, justru problematis. Dia tak mencapai objektitifas itu.”
“Kedua, mereka tidak mengaitkan sebuah gagasan sebagai sebuah situasi di zamannya. Contoh saya mengkritik Cak Nur, tapi menempatkan Cak Nur pada konsep zaman itu. Sambil menggenapi, menambahi apa yang kurang yang belum dilakukan sesuai konteks zaman kita. Oke, Cokroaminoto, Cak Nur, Gus Dur itu sudah mulai dari awal. Mereka ini sang pendobrak. Nah, kita mesti mendeskripsikan gagasan itu menjadi proposal aksi juga, tidak teori, tapi juga menjadi agenda gerakan yang lebih massif.”
“Sekarang menerima ideologi pasar malahan. Akhirnya malah menggelontorkan dana-dana internasional. Yang itu bahasa kasarnya ‘tak ada makan siang gratis’. Kita dikasih kemudahan-kemudahan finansial itu kan tidak dengan gratis. Syaratnya adalah penyesuaian struktural. Syaratnya adalah Indonesia dibuka untuk pasar global. Nah, kita sebagai sumber bahan baku yang kaya, ada sumber daya yang luar biasa kayanya, dan sumber daya manusia yang murah, atau buruh murah, dan sekaligus dijadikan sebagai ajang sirkuit kapitalisme global, itu yang mestinya harus dijawab hari ini.”
“Nah, nilai liberation yang dibangun Cak Nur hari ini bisa diselamatkan sejauh kita menjadi bagian dari kritik kapitalisme global yang beroperasi di Indonesia. Kalau liberation tidak ditafsir ulang seperti hari ini, maka menjadi gagal dan berbahaya. Cak Nur pada akhirnya hanya direduksi oleh mereka, untuk urusan-urusan toleran saja. Tapi ingat, tanggungjawab historis sosial-politik hari ini memberikan kritik dan proposal perubahan, sekaligus perlawanan secara massif pada menjamurnya atau massifnya agenda neoliberalisme di Indonesia.”
Jadi, gerakan Islam progresif semestinya diarahkan pada perlawanan gerakan kapitalisme dan liberalisme global?
“Jamaluddin al-Afghani, Hasan Hanafi, sudah mengingatkan bahwa perang itu terhadap kolonialisme, dan kolonialisme hari ini adalah pasar bebas. Tapi kenapa mereka justru mendukung free market. Nah, itu yang menjadi tanggungjawab yang harus diluruskan. Hasan Hanafi bilang, tugas historis umat Islam, atau intelektual umat Islam hari ini di dunia adalah melawan ketidakadilan, represi persekusi atas nama pembangunan, imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk yang baru saat itu. Seperti hari ini, ya neoliberalisme atau ideolgi konsensus Washington. Itu mesti berimbang.”
“Maksudnya berimbang begini, kita tak bisa memisahkan satu hal dengan kondisi yang terjadi hari ini, ada berbagai macam krisis struktural dan kultural hari ini, yabg itu juga terkait dengan berbagai macam maraknya penghisapan itu. Apa yang terpotong? spirit perjuangan melawan ketidakadilan itu dihancurkan. Saya gak pernah mendengar itu statemen dari JIL, mereka mendukung gerakan tani. Saya juga tak pernah mendengar suara mereka ketika ada buruh-buruh atau TKW yang disetrika atau dihabisi. Kita tak pernah mendengar satu atau dua sikap politik mereka. Itu kita anggap lumrah, karena itu tidak menjadi konsen mereka. Mereka menganggap bahwa tugas mereka hanya ngomong soal keragaman. Ini yang perlu.”
“Kita juga konsen pada soal keragaman. Kita membela Syiah di Jawa Timur, kita ikut mendorong upaya supaya temen-temen Syiah di Jemundo dikembalikan ke Sampang. Ada gereja ditutup, kita berdiri paling depan juga. Jangan sampai ada, kawan-kawan kita yang minoritas di Indonesia atau kelompok-kelompok rentan itu terzalimi. Kita sepakat itu. Tapi mestinya gerakan Islam hari ini, atau intelektual Islam hari ini, terutama yang dilabeli sebagai progresif, harus juga menjadi bagian dari kritik ekonomi-politik terhadap kebijakan-kebijakan negara yang pro-pasar, bukan justru malah menyokongnya. Ini yang terjadi, akhirnya apa, tidak pernah ada satu keadilan yang merebak di tengah mereka. Mana ada statemen gerakan bela TKW, buruh, gak ada. Mereka asik dengan problem-problem domestik, dengan problem-problem artifisial.”
Apa bahayanya jika semangat perlawanan ini terpotong?
“Kalau boleh kita kembali ke semangat perlawanan awal, ketika orang melawan kolonialis di zaman perjuangan, kita tak pernah mendengar, atau saya tak pernah mendengar, ada konflik antar Kristen dan Islam, misalnya. Gak pernah. Haji Misbah, seorang dai, seorang kiai dari Islam, sangat deket dengan temen-temen Kristen. Bahkan menjadi bagian dari gerakan mereka, gerakan sosialis. Tugasnya adalah menyelamatkan bangsa indonesia dari penjajahan. Itu artinya mereka tak membiarkan dirinya ribut antar komunitas.”
“Nah ini saya justru khawatir di kalangan rakyat Indonesia kesadaran ini justru hilang dari cara berpikir mereka. Atau JIL, saya mengkritik JIL ketika hanya dalam dimensi Islam yang mau diperjuangkan dengan dimensi keragaman. Hei, ada keadilan juga di situ, keadilan sosial itu artinya kritik politik terhadap berbagai macam penghisapan yang terjadi di berbagai belahan dunia, terlebih di Indonesia. Apa yang terputus itu tadi adalah spirit perlawanannya. Mereka tak pernah mengatakan itu. Mereka takut mengatakan kata jihad, takut mengatakan jihad.”
“Saya Islam radikal loh. Saya men-declare di mana-mana kalau saya radikal. Islam radikal menurut saya adalah, berpikir secara radix, secara berakar, yang kedua adalah bertindak secara radikal. Juga menganalisa persoalan secara radikal. Mana yang menjadi syarat-syarat kemungkinan pada satu hal itu mesti dibaca. Contoh, problem-problem identitas yang ada di Indonesia ini tidak bisa berdiri sendiri. Isu-isu Syiah, Kristen, Cina, dan lain-lain itu sebenarnya di balik itu ada perang ekonomi-politik. Kemudian apa letupannya biar terjadi konflik, dan kita lupa pada tanggungjawab kita? Ya problem identitas, political identity ini.”
Jadi inikah yang Gus Roy maksudkan sebagai kategori Islam Kiri?
“Ya, makanya saya katakan, liberalisme itu tidak meliberasikan. Islam Liberal tidak membebaskan. Maksudnya apa? Dari segi ekonomi-politik mereka percaya dengan ekonomi kapitalis. Dia tak ada persoalan dengan kapitalis. Di sisi lain, Islam yang disebut sebagai garis keras itu juga pro dengan kapitalisme, sama dengan JIL. Sama saja. Jadi gak ada bedanya. Nah, kategori Kanan dan Kiri itu makanya mesti dipertegas. Yaitu kategori politik, kategori sosial, kategori relasi sosial dan kelas. Kiri itu otomatis artinya bagian dari perjuangan kelas, kelas musthadafin vs kelas mustakbirin. Kelas antara Yazid bin Muawiyah vs kelasnya Husein bin Ali. Kita bagian dari ini, kita Husein atau Yazid bin Muawiyah? Mesti tegas gitu!”
“Kiri itu Abu Dzar al-Ghiffari. Kiri itu melawan kemapanan. Kiri itu melawan oligarki politik. Kalau kita melindungi atau pro-ekonomi politik kapitalis itu, maka otomatis Kanan. Entah kau itu melakukan kekerasan semacam HTI atau tidak melakukan kekerasan. JIL tidak melakukan kekerasan, dia menolak kekerasan. Dia mengutuk terorisme secara keras. Tapi fatalnya, dia tidak mengutuk kejahatan yang sama, yang jauh lebih besar oleh kapitalisme. Itu yang menurut saya problematis. Terorisme jahat, tapi terorisme juga lahir dari realitas kapitalisme. Dia diciptakan, dikonstruksikan oleh dinamika global, yang mereka sebenarnya mengambil identitas dari Islamnya saja. Hanya mereka berjuang memakai identitas Islam dan melakukan kekerasan dengan jalan dan cara yang salah.”
Terakhir, apa yang menurut Gus Roy penting untuk disampaikan ke kawan-kawan Islam progresif ini?
“Sesungguhnya hal ini tidak bisa dikotak-kotakkan, tak bisa dipisah-pisahkan. Ya kalau kita percaya dengan keadilan, maka kita bebaskan saudara-saudara kita yang dizalimi. Dan ingat, semua problem-problem identitas dilatarbelakangi perkara-perkara ekonomi-politik di belakangnya yang memakai topeng agama. Itu yang terjadi. Kasus di Jawa Timur, misalnya, itu sebenarnya soal lapak-lapak ekonomi saja. Nah, advokasi tak jauh sampai ke sana. Dan tidak dibongkar selubungnya. Itu yang jadi persoalan. Lagi-lagi mereka mereduksi agenda Islam, dan liberation pada akhirnya tidak membebaskan.”
“Kalau mau meneladani Islam progresif yang kita perjuangkan, temen-temen Islam Bergerak, jihad itu melawan ketidakadilan, melawan penghisapan, melawan represi struktural. Kita tak pernah memusuhi kelompok-kelompok minoritas atau siapapun yang berbeda dengan kita. Sejauh mereka tidak menjadi bagian instrumen kejahatan struktural.”
“Umpama, Anda Syiah, Anda saudara saya, sejauh Anda tidak menjadi bagian dari instrumen atau berkolaborasi dengan kapitalisme global untuk melakukan penghisapan dan penghancuran. Ya tidak ada masalah. Mau agama apapun diterima. Hizbullah mungkin juga belajar dari gerakan Kiri, gerakan Marxis. Bahkan pidato-pidato Sayid Hasan Nasrallah, itu menandakan bahwa dia adalah seorang revolusioner sejati, Islam sejati, dalam arti yang sesungguhnya bagi kami. Dia orang yang sangat terbuka, tercerahkan, dan dia sekaligus mengakomodir banyak kekuatan. Yang menyanyikan lagu perjuangan Hizbullah itu penyanyi beragama Kristen. Dan di dalam faksi Hizbullah ada tentara Kristen di sana. Mereka dekat dengan kelompok Kiri juga gak ada masalah. Di Palestina, partai terbesar kedua adalah partai Komunis, dia bisa bergerak bareng dengan kelompok-kelompok lain.”
“Jadi tidak relevan kalau kita ini hanya berjuang di ranah identitas belaka. Merayakan identitas yang semu, saya khawatir justru menutupi persoalan ketidakadilan yang sesungguhnya jauh lebih besar.” (Muhammad/Yudhi)