Connect with us

Artikel

Memperingati Arbain Imam Husain as dengan Berjalan Kaki Najaf ke Karbala

Dalam sejarah, Jabir bin Abdullah al Anshari dikenal sebagai peziarah pertama yang berjalan kaki dari Madinah menuju Karbala khusus untuk memperingati hari Arbain di Haram Imam Husain as di Karbala Irak yang kemudian selama 1373 tahun tradisi tersebut dijaga dan diikuti oleh jutaan pecinta al Husain setiap tahunnya.

Selama bertahun-tahun ulama-ulama dan para wali-wali Allah SWT menekankan pentingnya dan besarnya keutamaan berziarah kemakam Imam Husain as pada hari Arbain yang dilakukan dengan berjalan kaki dari arah Najaf ke Karbala. Jabir bin Abdullah memulai tradisi ini dengan berziarah ke makam Imam Husain as pada tahun 61 H, tahun kesyahidan Imam Husain as. Tahun-tahun sebelumnya para Aimmah Maksumin as menegaskan keutamaannya dan tradisi tersebut terus berlangsung sepanjang pemerintahan rezim Bani Umayyah dan Abbasiyah.

Baca Keagungan Pawai Arbain Menurut Ayatullah Sayyid Ali Khamenei

Dari sebagian catatan sejarah disebutkan bahwa di masa Syaikh Anshari (wafat tahun 1281 H) berjalan kaki menuju Karbala adalah tradisi masyarakat yang sangat masyhur. Namun sepeninggal beliau, tradisi tersebut pelan-pelan ditinggalkan masyarakat muslim sampai pada masa Syaikh Mirza Husain Nuri yang lewat upaya dan dakwahnya menghidupkan kembali tradisi tersebut. Ulama besar tersebut tercatat sebagai yang pertama kali berjalan kaki dari Najaf ke Karbala pada hari raya Idul Adha. Beliau bersama 30 orang murid dan sahabatnya menempuh perjalanan selama 3 hari untuk kemudian tiba di Karbala. Setelah melakukan perjalanan tersebut, beliau bertekad akan mengulanginya pada hari Arbain dan selanjutnya mentradisikannya setiap tahun sepanjang umurnya. Tahun 1319 H tercatat dalam rekaman sejarah sebagai perjalanan beliau yang terakhir dari Najaf ke Karbala dengan hanya berjalan kaki.

Baca Longmarch Arbain, Perjalanan Cinta Terbesar di Dunia

Sepeninggal beliau, tradisi berjalan kaki ke Karbala terus dijaga dan dihidupkan oleh para pecinta Ahlul Bait dan Imam Husain as. Bahkan tradisi berjalan kaki juga dilakukan oleh ulama-ulama Marja Taklid. Diantara ulama marja taklid besar dikalangan Syiah yang pernah melakukannya adalah Mirza Jawad Agha Malaki Tabrizi bahkan beliau telah berkali-kali melakukannya. Beliau mengenai besarnya keutamaan safar menuju Haram Imam Husain as di Karbala mengatakan, “Seorang muslim yang mengakui mencintai Ahlul Bait dan Imam Husain as utama baginya untuk berziarah ke makam Imam Husain pada hari Arbain (20 Safar) dengan berjalan kaki, hatta melakukannya hanya sekali seumur hidup. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Maksum as bahwa lima tanda-tanda orang beriman adalah, 15 raka’at shalat sehari semalam, ziarah Arbain, memakai cincin di jari kanan, meletakkan keningnya langsung diatas tanah ketika sujud dan melafazkan ucapan Bismillahirrahmanirahim dalam shalat-shalatnya.”

Baca Hari Arbain dan Perjuangan Sayidah Zainab

Ayatullah Makarim Syirazi juga semasa masih menjadi santri agama sepanjang tahun 1369 sampai 1370 H di Najaf telah dua kali dari Najaf berjalan kaki ke Karbala. Beliau berjalan kaki menyusuri sungai dengan kaki telanjang. Jarak yang ditempuhnya 20 kilometer lebih jauh dari jarak normal Najaf ke Karbala dan waktu yang dipergunakannya sekitar 3 hari untuk kemudian sampai di Haram Imam Husain as di Karbala.

“Kami dalam perjalanan menuju Karbala, senantiasa diminta mampir oleh setiap ahli kampung yang kami lewati. Mereka hendak menjadikan kami tamunya ketika tahu bahwa niat kami berjalan kaki ke Karbala untuk menziarahi makam Imam Husain as. Setiap kami memberi penolakan karena ingin segera tiba ditempat tujuan, ahli kampung itu seketika menunjukkan ekspresi kecewa dan sedih. Ini menunjukkan betapa mereka amat senang memberikan pengkhidmatan dan pelayanan terhadap mereka yang berjalan kaki menuju Karbala.” Kenang beliau.

Imam Ja’far Shadiq as mengenai pahala yang didapat mereka yang melakukan ziarah pada hari Arbain menyatakan, “Barangsiapa yang dengan berjalan kaki berziarah ke makam Imam Husain as, Allah SWT akan memberikan satu kebaikan pada setiap langkah kaki yang diayunkan, satu dosa darinya terhapus dan baginya satu derajat lebih tinggi. Selama dalam perjalanan tersebut, hak Allah SWT mengutus baginya dua malaikat yang hanya akan mencatat setiap kebaikan yang keluar dari mulutnya dan tidak mencatat apapun jika yang diucapkannya adalah hal yang buruk. Dan sewaktu kembali maka malaikat tersebut berkata kepadanya, “Wahai wali Allah, dosa-dosa kamu telah terampuni dan kamu telah termasuk dalam golongannya Allah, golongan Rasul-Nya dan golongan Ahlulbait Nabi-Nya. Demi Allah, kamu tidak akan pernah melihat api neraka, dan api nerakapun tidak akan pernah melihatmu dan kamu tidak akan terperangkap di dalamnya.” (Kamil az Ziyarat hal. 134).

Baca Ziarah Arbain dengan Berjalan Kaki Najaf-Karbala

Di masa rezim Saddam Husain yang menerapkan aturan tegas pelarangan berjalan kaki dari Najaf ke Karbala, tradisi Ziarah Arbain tersebut sempat terhenti. Meskipun tetap dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Dan bagi yang ketahuan oleh tentara rezim Saddam maka baginya adalah hukuman mati. Namun setelah kejatuhan Saddam, tradisi ziarah Arbain dengan berjalan kaki kembali dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah peziarah membludak menjadi jutaan orang. Hari-hari menjelang Arbain adalah hari yang penuh sesak oleh lautan manusia di jalan-jalan sepanjang Najaf ke Karbala. Assalamu ‘alaika ya Aba Abdillah. [hajij]

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel

Shalat dan Munajat di Hari Raya Idul Fitri

Salat dan Munajat di Hari Raya Idul Fitri

Shalat dan Munajat di Hari Raya Idul Fitri

Salah satu manifestasi istimewa dan agung zikir kepada Allah adalah shalat Idul Fitri. Shalat yang membuka mata-mata manusia untuk menyaksikan nilai-nilai sejati dan lurus serta membantu manusia mendapatkan hakikat (kebenaran) dan keindahan abadi. Di shalat Idul Fitri, hamba mukmin tenggelam dalam keindahan Ilahi melalui munajat penuh keikhlasan mereka. Daya tarik ini sedemikian besar di dalam diri mereka, sampai-sampai saat melakukan kontak dengan Allah, ia merasa tenang dan gembira.

Shalat Ied dua rakaat dan di khutbahnya membahas nasib umat Islam dan berbagai peristiwa penting dunia islam. Shalat ini memiliki pesan spiritual, ketauhidan dan mengikuti Nabi Muhammad Saw beserta Ahlulbaitnya dalam kehidupan. Di shalat Idul Fitri kita memohon kepada Allah untuk dimasukkan ke dalam kebaikan seperti yang dimiliki Nabi Saw beserta keluarganya dan dijauhkan dari segala keburukan.

Baca juga : Info 1 Syawal 1444 H

Doa shalat Ied menunjukkan ideologi kasih sayang dan bimbingan oleh Islam di dunia. Pesan ini yang diulang beberapa kali di setiap qunut dengan indah termanifestasi di shalat Idul Fitri. Di shalat ini, spiritual, inspirasi, jamaah shalat yang besar bersama-sama memanjatkan doa; “Ya Allah, wahai Pemilik kebesaran dan keagungan, wahai Pemilik kedermawanan dan jabarut, wahai Pemilik pengampunan dan kasih sayang, wahai Pemilik takwa dan maghfirah. Aku memohon kepada-Mu dengan hak hari ini, yang Kau jadikan hari besar bagi kaum muslimin, dan dengan keagungan dan kemuliaan Muhammad dan keluarganya, sampaikan selawat kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad, masukkan aku pada setiap kebaikan yang Kau masukkan ke dalamnya Muhammad dan keluarganya, keluarkan aku dari setiap keburukan yang Kau keluarkan dariya Muhammad dan keluarganya. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu yang terbaik dari apa yang dimohon oleh hamba-hamba-Mu yang shaleh. Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari segala apa yang perlindungannya dimohon oleh hamba-hamba-Mu yang shaleh.”

Di sebuah riwayat disebutkan, ketika hamba Tuhan memuji-Nya dengan penuh keagungan dan penghormatan, Allah berbangga di depan para malaikatnya dan berkata, “Inilah hamba-Ku yang sejati…Bukankah sebelumnya telah Aku katakan bahwa Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui?

Sementara itu, di budaya Islam, Ied semakin meriah dan agung, di mana kegembiraan di hari ini melampaui sekat-sekat individu dan berbaur dengan kegembiraan bersama serta berpengaruh pada nasib orang lain. Keagungan Idul Fitri termanifestasikan dengan pembayaran zakat dan shalat Ied. Zakat fitrah adalah hadiah yang diberikan seorang mukmin sebagai bukti ketaatan kepada Allah dan ungkapan syukur atas nikmat-Nya kepada orang-orang yang tidak mampu. Zakat memiliki arti tumbuh dan berkembang, kebaikan dan kesucian. Oleh karena itu, zakat seperti shalat, faktor yang memperkokoh jiwa, membersihkan ruh serta memperkokoh hubungan persaudaraan dengan sesama manusia.

Baca juga : Hari al-Quds, Masyarakat Kalbar: Satu Solusi untuk Palestina, One State Solution

Sejatinya, termasuk ajaran penting Idul Fitri adalah memperhatikan kerabat dan memperkokoh Muslim di komunitas Islam serta menjadikan Islam sebagai parameter. Shalat Idul Fitri yang digelar secara serentak di seluruh negara Islam merupakan simbol solidaritas dan persatuan Islam. Khususnya di kondisi saat ini, ketika negara-negara kuat dunia memerangi umat Islam dan menjadikan mereka sebagai target.

Kekuatan hegemoni dunia melalui media propagandanya setiap hari gencar berusaha merusak citra Islam dan menguasai berbagai bangsa. Di saat seperti ini, dunia Islam membutuhkan peluang tepat untuk menunjukkan keagungan dan kekuatan mereka. Saat shalat Idul Fitri, lautan manusia, baik pria maupun wanita dengan tekad bulat dan penuh keimanan, menunjukkan kekuatan sejati umat Muslim.

Kekuatan ini terbentuk dari bulan Ramadhan. Jamaah shalat dengan wajah serius dan tekad kokoh serta hati bersih menunjukkan penghambaan yang tulus di hadapan Tuhan Yang Esa dan menolak segala bentuk thagut serta hegemoni. Takbir jamaah shalat Idul Fitri juga menunjukkan semangat anti imperialis umat Muslim. Sejarah menyebutkan, ketika Imam Ridha as akan memimpin shalat Idul Fitri, keagungan dan kebesaran umat Islam inilah yang membuat Khalifah Makmun Abbasi ketakutan.

Shahid Muthahari menjelaskan makna indah dari shalat Idul Fitri yang dipimpin Imam Ridha as. Beliau menulis, Makmun yang memaksa Imam Ridha menerima jabatan putra mahkota juga memaksa beliau untuk memimpin shalat Idul Fitri. Imam Ridha menolak permintaan tersebut, namun Makmun memaksanya. Imam berkata, Aku bersedia memimpin shalat Idul Fitri, namun sesuai dengan tuntunan ayah serta kakek-kakekku, bukan seperti tuntunan kalian. Makmun dengan gembira menerima kesediaan Imam, karena ia kembali berhasil memaksa Imam Ridha untuk melakukan suatu pekerjaan di pemerintahannya.

Baca juga : Mudik Ke Kampung Akhirat

Di hari Idul Fitri, Imam Ridha as kepada orang-orang disekitarnya berkata, pakailah pakaian biasa, lepaskan sepatu dan sandal kalian, singsingkan lengan baju kalian serta ulangilah zikir yang aku ucapkan. Imam kemudian memakai imamah dan pakaian seperti yang dipakai Rasulullah. Tongkatnya pun dibawa seperti saat Rasulullah membawanya. Dengan kaki telanjang, Imam keluar dari rumah dan dengan suara yang menggelegar mulai mengucapkan takbir Idul Fitri.

«اللَّهُ اکبَرُ، اللَّهُ اکبَرُ، لا اله الاالله و اللَّهُ اکبَرُ، الله اکبرو لله الحمد، الحمدلله عَلى‌ ما هَدانا، وَ لَهُ الشُّکرُ عَلى‌ ما اوْلانا».

Telah bertahun-tahun masyarakat tidak mendengar zikir seperti ini. Masyarakat ketika menyaksikan kondisi Imam berubah dan air mata mengalir dari mata beliau, dengan spirit penuh mereka mengulangi zikir yang dilantunkan Imam Ridha. Makmun juga mengirim pada komandan militer dan pemimpin kabilah untuk menunaikan shalat Idul Fitri bersama Imam. Mereka sesuai dengan kebiasaan para khalifah, memakai pakaian yang indah dan mahal, menaiki kuda yang mahal serta menggantungkan pedang keemasan di pinggang.

Para pembesar ini menunggu kedatangan Imam dan akan mengiringi beliau dengan penuh kebesaran. Namun ketika mereka menyaksikan kesederhanaan dan kekhusyuaan Imam Ridha, tanpa disadari mereka turun dari kuda-kuda mereka. Di sejarah disebutkan, karena Imam dengan kaki telanjang berjalan menuju lokasi shalat Ied, maka para pembesar kerajaan ini sibuk mencari pisau untuk memotong sepatu mereka sehingga mengejar Imam dengan kaki telanjang pula. Sedikit demi sedikit suara takbir menggema di kota Marv.

Belum lagi iring-iringan jamaah shalat Ied keluar dari pintu kota, mata-mata kerajaan memberitahu Makmun bahwa jika kondisi ini dilanjutkan, maka Makmun tidak akan dapat melanjutkan kekuasaannya. Saat itulah Makmun memerintahkan prajuritnya menemui Imam Ridha as dan memulangkannya ke rumah.

Setelah menceritakan kisah tersebut, Shahid Muthahari menyebutkan poin bahwa ketika shalat dikerjakan sesuai dengan sirah dan tuntutan Nabi dan Ahlul Baitnya, maka ibadah tersebut keluar dari kondisi sia-sia serta akan memberikan pengaruhnya yang hakiki. Sejatinya shalat seperti itu adalah penghancur musuh dan dampaknya terlihat nyata dalam mencerabut kefasadan dan dosa di tengah masyarakat.

Di sebagian riwayat, awal Syawal mengingatkan peristiwa dihancurkannya kaum Aad. Kaum ini memilih jalan kesesatan ketimbang taat kepada Allah serta bersikeras menyekutukan Allah. Oleh karena itu, kemudian Allah memusnahkan kaum ini. Di zaman kita hidup saat ini, otoriterisme sejumlah kelompok kecil telah melukai dunia dan di sebagian dunia Islam, rakyat Palestina, Yaman, Bahrain, Irak dan…menjadi korban ketamakan mereka.

Hari ini menunjukkan terealisasinya janji Allah dan mereka yang mengacaukan dunia akan nasibnya akan berakhir buruk. Yang penting di sini adalah umat Muslim menjauhi syaitan dengan solidaritas dan persatuan maknawi serta mereka benar-benar bersatu. (irib)

Baca juga : Kisah Keluarga Nabi di Hari Raya Idul Fitri

Continue Reading

Artikel

Tata Cara Shalat Ayat dalam Mazhab Syiah

Tata Cara Shalat Ayat dalam Mazhab Syiah

Tata Cara Shalat Ayat dalam Mazhab Syiah

Setelah tahun 1983 silam, fenomena Gerhana Matahari Total (GMT) terjadi di Indonesia, kini fenomena GMT akan kembali terjadi. Setelah 33 tahun berlalu, tahun ini, Indonesia menjadi daratan satu-satunya yang akan mengalami fenomena GMT dan diperkirakan terjadi pada tanggal 9 Maret, besok.

Fenomena GMT ini  menimbulkan sejumlah konsekuensi yang harus dihadapi, baik bagi para ilmuwan, bagi masyarakat biasa dan juga terutama bagi masyarakat Muslim, untuk melaksanakan Shalat Ayat.

Pengertian dari Shalat ayat (الآيات/tanda) adalah shalat yang dilaksanakan bila terjadi gerhana matahari, gerhana bulan, gempa bumi (lindu) dan hal-hal yang menakutkan seperti, gunung meletus, angin tornado, angin merah, dan sebagainya.

Baca juga : Syahadat Syiah Berbeda dengan Ahlusunah?

Hukum :

1. Dalam mazhab Ahlulbait Shalat Ayat hukumnya wajib.

2. Sunnah dilaksanakan berjamaah dan mengeraskan suara bacaan.

3. Shalat ayat hanya diwajibkan bagi warga di kota yang terjadi peristiwa dan sekitarnya.

4. Bagi yang mengetahui adanya peristiwa (ayat) setelah selesai, maka ada dua hukum:

a. Jika peristiwa itu adalah gempa dan persitiwa lainnya, maka yang mengetahuinya saat baru saja terjadi maka ia wajib melaksanakannya dengan niat Qadha an. Namun bagi yang mengetahui setelah peristiwa maka tidak wajib melaksanakannya. Namun disunnahkan melaksanakannya.

b. Jika peristiwa itu adalah gerhana sebagian, maka ia tidak wajib melaksakannya, namun jika gerhana total, wajib mengqadha’nya.

5. Disunahkan memperpanjang rukuk dan sujud sepanjang terjadinya gerhana.

6. Disunahkan membbaca qunut pada sebelum rukuk ke 2, 4, 6, 8 dan 10, atau pada sebelum rukuk ke 5 dan 10 saja.

Tata Cara

Cara Pertama:

1. Niat.

2. Takbiratul Ihram.

3. Membaca Surah Al-Fatihah dan tidak boleh sendirian, harus digabung dengan Surat lain.

4. Rukuk.

5. Nomor 3 dan 4 dilakukan sebanyak 5 kali.

6. Sujud 2x.

7. Rakaat kedua dilakukan berurutan pada nomor 3-6.

8. Tasyahud.

9. Salam.

Cara Kedua:

Perbedaan yang ada pada cara kedua, yaitu Surah Al-Fatihah dibaca satu kali pada tiap rakaat. Kemudian membaca satu atau dua ayat surah lainnya sebelum rukuk. Sehingga jumlah ayat dalam surah tersebut bisa dicicil dalam lima rukuk.

Contoh, setelah membaca Surah Al-Fatihah, kita membaca Bismillahirahmanirrahim, Qul a’uudzu birabbinnaas rukuk 1, kembali berdiri, membaca Malikinnaas rukuk 2, kmbali berdiri, membaca ilaahin naas rukuk 3, kembali berdiri, lalu membaca min syarril was wasail khannas lalu rukuk 4, kembali berdiri, lalu membaca alladziy yuwaswisu fiy shudurinnaas minal jinnati wan naas lalu rukuk 5, berdiri kembali dan sujud.

Demikian halnya pada rakaat kedua dilakukan sama dengan di atas.

Waktu Pelaksanaan.

1. Shalat gerhana matahari dan bulan dilaksanakan saat mulai terjadi gerhana hingga selesai. Jika ia terlambat maka dilaksanakan dengan niat qadha an.

2. Shalat gempa dan lainnya wajib dilaksanakan segera setelah peristiwa. Jika ia terlambat maka dilaksanakan dengan niat adaa’an. (Abu Ali ridho)

Baca juga : Ali bin Abi Thalib Diagungkan Syiah, Sunni, dan Non-Muslim

Continue Reading

Artikel

Gus Dur: ‘Syiah adalah NU Plus Imamah’

Gus Dur: 'Syiah adalah NU Plus Imamah'

Gus Dur: ‘Syiah adalah NU Plus Imamah’

Menurut budayawan Koentjoroningrat, terdapat tiga lapisan kebudayaan, yaitu ideofak, sosiofak, dan artefak. Tradisi dan budaya keagamaan memiliki tiga level/lapisan.

Level terluar disebut artefak berupa simbol-simbol; level tengah disebut sosiofak berupa amalan ritus; dan level terdalam disebut ideofak berupa ide dan nilai dasar yang melandasi kedua lapisan lainnya. Ideofak adalah makna dan pesan inti dari tradisi dan budaya keagamaan.

“Gus Dur pernah menyatakan bahwa NU adalah Syiah kultural. Gus Dur melihat ini dari kacamata kultural, bahwa tradisi-tradisi yang dijalankan orang NU sebagian mengindikasikan adanya pengaruh Syiah.” (Agus Sunyoto, M.A)

Baca juga : Syahadat Syiah Berbeda dengan Ahlusunah?

Gus Dur: 'Syiah adalah NU Plus Imamah'

Apa yang dinyatakan Gus Dur merupakan refleksi beliau untuk mengungkap lapisan ideofak yaitu sistem makna yang tersembunyi di balik berbagai tradisi yag dijalankan oleh NU.

Gus Dur memahami betul bahwa di balik simbol dan ritus terdapat lapisan ideofak, sistem signifikansi, dan itu adalah nilai dan spiritualitas Syiah.

“Titik temu antara kita umat Islam Indonesia, terutama warga NU dengan Syiah yaitu seperti mahabbah Ahlulbait, sangat mencintai Habaib, Ahlulbait, cium tangan guru, cium tangan orang yang kita muliakan sama antara kita dan tradisi Syiah, baca Barzanji, baca Diba’, baca shalawat, haul, ziarah kubur, tawassul sama antara kita dan Syiah.” (Prof. Dr. KH. Said Agil Sirajd)

Baca juga : Menjawab Tudingan Mazhab Syiah adalah Sebuah Gerakan Politik

Selain Sumatera dan Jawa, jejak spiritualitas Syiah juga ditemukan di berbagai daerah di Nusantara seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Sulu, Thailand, dan Malaysia.

Di Sulawesi, peringatan Asyura masih dilangsungkan di beberapa wilayah meski tidak dilakukan secara kolosal seperti di Aceh, Bengkulu dan Pariaman.

Masyarakat Muslim memperingatinya dengan memasak bubur khusus yang dikenal dengan ‘bubur asyuro’. Sebagian besar orang Mandar menganggap bulan Muharam sebagai bulan bencana dan kedukaan yang tidak baik untuk menyelenggaraan perayaan kegembiraan seperti pernikahan, sunatan atau pendirian rumah.

Dalam sebuah penelitian disertasi tentang identitas keagamaan di sebuah komunitas Muslim di Hatuhaha di Negeri Pelauw, Kecamatan Pulau Huraku, Maluku Tengah, seorang promovendus Universitas Gadjah Mada berhasil mempertahankan hasil penelitiannya.

Namanya WW Salah satu temuan penting dari penelitian Yance Rumahuru adalah bahwa Syiah merupakan paham Islam yang pertama hadir di Hatuhaha, Pulau Haruku, Maluku Tengah.

Sebagai seorang Nasrani, Dr. Yance tidak memiliki dilema antropologis yang mungkin dialami oleh seorang Muslim Sunni atau Syiah dalam penelitian ini.

Sarjana lulusan Program Lintas Agama dan Budaya Pascasarjana UGM ini, menemukan sejumlah tradisi Syiah yang telah menjadi adat dan tradisi komunitas Muslim Hatuhaha.

Baca juga : Ali bin Abi Thalib Diagungkan Syiah, Sunni, dan Non-Muslim

“Belakangan orang baru bilang bahwa Islam di Maluku im Sunni. Namun sebenarnya setelah saya melakukan penelitian tahun 2009-2011, saya menemukan bahwa di Maluku Tengah justru yang ada di sana adalah Islam Syiah.

Kehadiran Islam di Maluku sendiri sebenarnya bisa ditarik ke belakang jauh sebelum kedatangan Portugis dan Belanda.

Saya menemukan bahwa di abad ke-7, 8 dan 9 sudah ada orang-orang Cina dan orang Arab yang sebenarnya itu bukan orang Arab murni, tapi ada orang Persia yang datang juga ke Maluku dan mereka itu yang memperkenalkan Islam.

Islam baru melembaga di Maluku baru pada abad ke-13, tapi di abad ke-7, 8 dan 9 itu saat perdagangan yang ramai. Islam sudah ada dengan kehadiran orang-orang Arab, Persia dan Cina tersebut.

Pedagang Cina tidak diketahui agama mereka apa, tapi orang Persia dan Arab adalah Islam dan itu Syiah.

Mengapa Syiah diterima di Maluku, karena tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran Syiah itu cocok dengan budaya orang Maluku dan sebenarnya ritual-ritual Syiah memiliki kesamaan dengan ritual-ritual yang ada di Maluku.

Karena itu lalu saya berkesimpulan bahwa sebenarnya Islam yang tertua di Maluku adalah Islam Syiah.

Jadi, sebenarnya untuk menyebutkan bahwa Islam Maluku adalah Syiah terutama di Maluku Tengah. Ritual-ritual keagamaan dan ritual adat yang sudah disatukan dan itu adalah ritual-ritual Syiah.

Baca juga : Syiah Hakiki dalam Pandangan Sayyidah Fathimah

Di Maluku Tengah, terutama di pulau Haruku ada komunitas Muslim Hatuhaha yang mempunyai ritual tiga tahunan, namanya Maatenu.

Pemimpin ritual itu disebutkan sebagai garis lurus keturunan dari Ali. Di dalam “maatenu” tersebut sebenarnya seruan-seruan yang dinaikkan adalah seruan-seruan untuk memuji Ali.

Pedang yang digunakan, pakaian yang digunakan semuanya mengindikasikan simbol-simbol Syiah.

Saya punya penelitian menunjukkan hal itu. Seluruh ritual-ritual yang lain termasuk tradisi maulid yang di kalangan Islam di Nusantara cukup hidup.

Di sana mereka tidak hanya merayakan kelahiran Nabi saja, tapi kelahiran-kematian dan penghormatan kepada sahabat-sahabat Nabi dan terutama sebenarnya mereka merujuk kepada Ali.

Dalam tradisi  Perkawinan, selain ijab kabul mereka itu selalu mengatakan “Ali suka Fatimah, Fatimah suka Ali dan itu sah.” (Dr. Yance Rumahuru)

Ternyata, seperti karakteristik umumnya di berbagai daerah Nusantara, paham Syiah mengalami proses pribumisasi sedemikian rupa sehingga Syiah di Pulau Haruku disebut dengan istilah Islam Adat.

Baca juga : Toleransi Muslim Syiah

“Dalam konteks komunitas Muslim di Pulau Hatuhaha Maluku Tengah itu, masyarakat sendiri sejak tahun 1939 mereka membagi diri menjadi Kelompok Syariah dan Kelompok Adat. Mengapa demikian?

Itu terjadi setelah di akhir abad ke-18 dan 19 ada banyak orang dari Maluku Tengah yang belajar Islam ke Arab dan kemudian mereka kembali.

Generasi itulah yang kemudian mensponsori untuk memurnikan Islam dan menjalankan syariat secara baik dan itu menjadi alasan utama untuk memisahkan diri dari kelompok mayoritas Syiah yang sebetulnya menyatu dengan kultur lokal masyarakat setempat sehingga mereka menyebutkan diri sebagai Kelompok Syariah dan kelompok Syiah yang mayoritas di posisikan sebagai Kelompok Adat.

Dalam tradisi keagamaan setiap saat sebenarnya tidak ada pertentangan antara Kelompok Syariat dan Kelompok Adat. itu tampak dalam pelaksanaan setiap ritual. Setiap ritual yang dilaksanakan di Kelompok Adat, Kelompok Syariah juga berpartisipasi dan sebaliknya.” (Dr. Yance Rumahuru)

Syiah juga telah hadir di Thailand, terutama di kota Ayutthaya (Ayodya), ibukota Kerajaan Siam abad 14-18 M.

”Lebih dari seribu tahun yang lalu muslim dari Timur Tengah, Persia, India datang ke Thailand. Kami menemukan bukti-bukti adanya komunitas muslim di berbagai daerah Thailand seperti Ayutthaya.

Ayutthaya merupakan ibu kota Thailand pada abad 14 hingga 18. Kami mengenal banyak tentang komunitas Muslim di kerajaan Ayutthaya, khususnya di kota Ayutthaya ibu kota Thailand.

Saat ini ada beberapa reruntuhan dari desa Syiah di Ayutthaya dan reruntuhan masjid muslim Syiah. Tapi sekitar abad 18 dihancurkan oleh musuh. Karena Ayutthaya merupakan pusat muslim Syiah dari Iran dan daerah selatan India.

Kami menemukan bukti-bukti kebudayaan muslim Syiah di Thailand khususnya bangunan, kultur dan kami menemukan lukisan dinding di Tatum yang menggambarkan tentang penyelanggaraan acara Asyura.

Di Thailand kami menyebut acara ini Muharam yang merupakan acara atau perayaan yang sangat terkenal di Thailand.” (Dr. Julisprong Chularatana)

Baca juga : Sunni CIA dan Syiah MI6 Bekerja Memecah-belah Umat Islam

Di Malaysia, Syiah tentu saja juga sudah hadir sejak sejarah awal Islam melalui berbagai literatur hikayat yang mengisahkan perjuangan Ahlulbait Nabi Muhammad SAW menegakkan kebenaran dan keadilan.

“Pedagang-pedagang Persia telah datang untuk berdagang di alam Melayu seperti di Malaka, Aceh dan pusat-pusat perdagangan yang masyhur ketika itu.

Sehingga dapat dilihat bahwa unsur-unsur Persia telah menular dalam aspek-aspek tertentu masyarakat Melayu di Asia Tenggara. Sebagai contohnya dari sudut bahasa.

Banyak sekali bahasa-bahasa yang dipengaruhi oleh persia, contohnya terdapat hikayat Hasan dan Husein, hikayat Nur Muhammad, hikayat Hanafiyah.” (Dr. Rabithah Mohammad Ghazali)

Seorang pengkaji literatur dan hikayat Melayu, Dr. Mohammad Faisal bin Musa, berkesimpulan bahwa sejumlah hikayat Melayu Yang muncul sejak awal mula kedatangan Islam ke Semenanjung Malaka adalah karya klasik Melayu yang mengandung ajaran Syiah dan bukan hikayat Sunni dengan pengaruh Syiah.

Sarjana Universitas Kebangsaan Malaysia ini melakukan analisis teks terhadap sejumlah hikayat seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah, Hikayat Hasan Husen Tatkana Kanak-kanak, Hikayat Hasan Husen Tatkala Akan Mati, dan Hikayat Tabut.

Baca juga : Syiah-Sunni di Bawah Panji Imam Husain

Mohammad Faisal menyebutkan pula bahwa sejak kedatangan Wahabi abad ke-19, hikayat-hikayat Melayu yang memuat ajaran Syiah itu mengalami apa yang disebutnya sebagai de-Syiahisasi.

Sejumlah ajaran khas Syiah dinetralisasi dengan mengubah isi kisah, “Ada kecenderungan ahli-ahli yang datang dari tanah Arab yang kurang apresiatif terhadap Ahlulbait sehingga misalnya hikayat Muhammad Ali Hanafiyah diganti menjadi hikayat Hasan Husain, tapi hikayat Hasan Husain ini juga akhirnya diganti lagi, supaya tidak dimekarkan.” (Prof. Dr. Abdul Hadi)

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah

  1. Apakah semua tradisi, budaya dan literatur yang begitu kental memuat ajaran dan spiritualitas Syiah yang hadir di berbagai wilayah Nusantara sejak awal kedatangan Islam muncul begitu saja hadir semuanya serba kebetulan?
  2. Jika memang tradisi sanjungan dan pembelaan kepada keluarga Nabi dianggap sebagai ajaran Islam pada umumnya, mengapa banyak umat Islam di Nusantara saat ini tidak mengenal siapakah Sayyidah Fatimah, siapakah Al-Hasan, siapakah Al-Husain? Mengapa tragedi Karbala yang membantai keluarga Nabi hampir pupus dalam kurikulum pengajaran Islam?

Akal sehat dan nurani yang bening diundang untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut.

Dikutip dari buku Menguak Akar Spiritual Islam Indonesia, Peran Ahlulbait dalam Penyebaran Islam di Nusantara.
Penulis TIM ICRO dan Tim ACRoSS 

Baca juga : “SYIAH” ABI

Continue Reading

Trending