Berita
Membincang Kehalalan Produk Farmasi
Indonesia adalah negara dengan jumlah penganut agama Islam terbesar. Sebagai penganut agama Islam, jaminan syar’i kehalalan produk yang dikonsumsi menjadi tuntutan yang tak terhindarkan. Termasuk kehalalan obat-obatan.
Hal ini dibicarakan dalam seminar “Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH), Apa Dampaknya Bagi Industri Farmasi” di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (10/6). Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG), Parulian Simanjuntak dalam seminar ini mempermasalahkan UU JPH yang menurutnya tidak akomodatif.
“Bahan obat itu 95% berasal dari luar negeri. Yang itu tak dijamin kehalalannya,” ujar Parulian. “Sementara biaya penemuan obat baru itu bisa sampai USD 2.6 Miliar. Jadi sangat musykil kita bisa mendapatkan bahan obat yang benar-benar halal.”
“Jadi UU JPH bisa membahayakan kesehatan masyarakat,” ujar Parulian.
Menjawab keluhan ini, Ir. Muti Arintawati, Wakil BPOM Bidang Sertifikasi Halal MUI menjawab bahwa bagi umat Islam, kehalalan obat tak bisa ditawar. Tetapi ada pengecualian.
“Jika bahannya dari babi, itu tak bisa ditawar. Kecuali jika dalam keadaan darurat itu diperbolehkan. Misalnya tak ada bahan atau obat lain selain obat itu,” ujar Muti.
Menurut Muti, kendala sertifikasi kehalalan bahan obat-obatan itu karena pihak perusahaan kurang tahu persyaratan sertifikasi, dan ketidakpahaman pihak perusahaan akan bahan obat mana yang halal dan haram.
Menurut Muti, kesadaran pihak perusahaan untuk memberikan sertifikasi halal pada obat-obatan ini masih rendah.
“Dari jumlah total produk yang mendaftar pada sertifikasi halal ke MUI itu hanya 0.095% nya itu yang dari farmasi,” ujar Muti yang mengharapkan pihak perusahaan farmasi bisa lebih aktif karena ini menyangkut hak konsumen beragama Islam yang berhak mendapatkan obat yang dijamin kehalalannya. (Muhammad/Yudhi)