Berita
Membaca dengan Akal dan Nurani
Dalam peristiwa Perang Inggris (Battle of England) yang merupakan salah satu episode penting pada Perang Dunia II, ketika Inggris dan Jerman saling menghancurkan kota-kota lawannya dengan serangan udara, kedua negara secara diam-diam mengadakan kesepakatan. Kesepakatan tersebut adalah: Inggris tidak akan mengebom kawasan Lembah Ruhr yang merupakan jantung industri Jerman, sedang Jerman tidak mengebom Oxford dan Cambridge yang merupakan jantung kebudayaan Inggris.
Demikian juga dalam peristiwa Perang Dingin ketika Amerika dan Uni Sovyet terlibat persaingan sengit hingga terlibat dalam beberapa perang proxi (perang tidak langsung) seperti di medan Perang Perang Korea, Perang Yom Kippur, Perang Vietnam dan Perang Anggola, Perang San Salvador dll, kedua pihak sepakat membentuk satu saluran telephon khusus dimana pemimpin tertinggi kedua negara bisa saling berkomunikasi langsung.
Maka menjadi sangat na’if, misalnya, jika kita mengambil kesimpulan bahwa Syria dan Israel sebagai sekutu yang melakukan sandiwara belaka dengan berpura-pura saling bermusuhan, hanya karena ada berita bahwa Syria dan Israel melakukan komunikasi tidak langsung dengan melalui pasukan penjaga perdamaian PBB di Golan. Kesimpulan seperti itu hanya diambil oleh orang-orang yang na’if, yang sangat jauh dari memahami politik apalagi sejarah. Dan sayangnya masih sangat banyak orang-orang seperti itu sehingga menjadi sasaran empuk media-media propaganda.
Kalau hanya melakukan komunikasi tidak langsung saja langsung dianggap sebagai “sekutu Israel”, lalu bagaimana dengan Turki, Mesir dan Yordania yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, atau Saudi dan Qatar yang para pejabatnya sering bertemu langsung dengan pejabat-pejabat Israel? Bagaimana juga dengan Indonesia, yang para pejabatnya pun sering bertemu langsung meski secara diam-diam dengan pejabat Israel? Bukankah mereka lebih dari sekedar sekutu Israel?
Selama bertahun-tahun upaya zionis Israel dan sekutu dekatnya Amerika dan Inggris memasukkan Hizbollah ke dalam daftar organisasi teroris kandas oleh penolakan Perancis, karena Perancis menganggap hal itu akan mengganggu kepentingannya di Lebanon yang merupakan sekutu dekat dan bekas jajahan Perancis. Kekhawatiran Perancis sangat beralasan karena Hizbollah merupakan kelompok yang sangat berpengaruh di Lebanon, bahkan merupakan bagian dari pemerintahan Lebanon. Apakah karena hal ini kita akan mengambil kesimpulan bahwa Perancis merupakan sekutu Hizbollah, dan karenanya secara otomatis menjadi musuh Amerika?
Saya baru saja membaca berita di situs Detik Islam yang sepertinya adalah corong komunikasi kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), berjudul “Diam-diam, Amerika Berkerjasama Dengan Hizbullah untuk Melindungi Rezim Suriah”. Dalam berita tersebut disebutkan bahwa inteligen Amerika memberikan informasi kepada pemerintah Lebanon tentang rencana serangan teroris kelompok Al Qaida di Lebanon yang salah satu sasarannya berada di wilayah yang dikontrol oleh Hizbollah. Karena Hizbollah merupakan bagian dari pemerintah, informasi tersebut tentu saja sampai ke Hizbollah, dan karenanya, demikian kesimpulan yang ditulis dalam berita itu, Amerika adalah sekutu Hizbollah.
“Masyarakat telah menyadari sesungguhnya Amerika bekerja untuk melindungi rezim Suriah, para kroninya dan para pendukung bahwa rezim Suriah, Iran dan Hizbullah semuanya bergerak di garis Amerika. Dengan demikian jelaslah bahwa serangan Iran dan Hizbullah pada Amerika hanya di mulut saja untuk menutupi fakta sebenarnya. Sebab, suatu persoalan menjadi jelas dengan perbuatan bukan sekedar perkataan yang bertentangan dengan perbuatan,” demikian tertulis dalam berita tersebut.
Tentu saja kesimpulan tersebut sama na’ifnya dengan kesimpulan tentang persekutuan Syria dengan Israel. Amerika memberikan informasi inteligen kepada pemerintah Lebanon tentang hal yang terkait dengan Lebanon adalah sudah semestinya, karena telah menjadi kesepakatan kerjasama bilateral kedua negara yang telah disepakati puluhan tahun sebelum pemerintahan Lebanon yang pro-Hizbollah berkuasa. Lebanon merupakan “markas” operasi inteligen Amerika di kawasan Lebanon dan sekitarnya yang membuatnya terlibat perang inteligen intensif dengan Hizbollah. Setelah Hizbollah berhasil menghancurkan jaringan inteligen Israel, inteligen Amerika mengambil alih peran mereka. Selain itu Amerika juga memiliki Universitas yang sangat berpengaruh di Beirut.
Keberadaan Hizbollah dalam pemerintahan bukan berarti pemerintah Lebanon harus bermusuhan dengan Amerika, atau sebaliknya karena pengaruh Amerika yang sangat kuat di Lebanon, pemerintah harus mengabaikan Hizbollah dan tunduk pada Amerika. Pemerintah membutuhkan Hizbollah karena Hizbollah, sebagai partai politik yang menjadi salah satu unsur politik yang membentuk pemerintahan koalisi. Tanpa Hizbollah pemerintahan akan direbut oleh kelompok lain yang pro-Amerika/Israel/Saudi. Sebaliknya memusuhi Amerika juga tidak mungkin karena pengaruh Amerika pun sangat kuat di Lebanon sehingga pemerintahan tidak akan bisa menjalankan pemerintahan karena rongrongan Amerika dan sekutu-sekutunya di Lebanon. Sebaliknya Amerika pun tidak ingin memutuskan hubungan dengan pemerintah karena tentu saja akan membuat mereka diusir dari Lebanon. Maka kompromi pun terjadi.
Masalah kompromi inilah yang menjadi persoalan paling rumit dalam tiap pemerintahan Lebanon. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun bagi seorang perdana menteri terpilih untuk membentuk kabinet. Sampai sekarang pun Lebanon belum memiliki pemerintahan definitif, meski perdana menteri pengganti PM Najib Miqati yang mengundurkan diri telah terpilih beberapa bulan yang lalu.
Pemerintahan Lebanon tidak seperti pemerintahan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang dipimpin Mohammad Moersi. Meski hanya menang tipis dalam pemilu atas lawan politiknya, Moersi menganggap seolah-olah seperti penguasa mutlak Mesir dan tidak mempedulikan aspirasi kelompok-kelompok lain. Karena sikapnya yang tidak realistis itu akhirnya ia terjungkal dari kekuasaan. Tidak hanya itu, Ikhwanul Muslimin Mesir pun terancam untuk dibekukan.
Jadi kalau Amerika memberikan informasi inteligen kepada pemerintah Lebanon, tentu saja hal itu tidak dimaksudkan untuk membantu Hizbollah. Hizbollah adalah kelompok yang paling dibenci Amerika. Mereka dianggap sebagai pelaku pemboman yang menewaskan 300 tentara marinir Amerika dan Perancis pada tahun 1983 yang membuat Amerika dan Perancis terpaksa menarik pasukannya dari Lebanon sekaligus menghancurkan rencana Israel menguasai Lebanon setelah berhasil mendudukinya melalui invasi tahun 1982. Israel, yang tidak lagi memiliki pasukan pendukung dari Amerika dan Perancis, akhirnya menarik diri dari Lebanon pada tahun 2000 setelah tidak tahan menghadapi serangan terus-menerus gerilyawan Hizbollah yang didukung Iran.
Permusuhan antara Amerika dan Israel dengan Hizbollah dan Iran bukan sekedar perkataan belaka sebagaimana perkataan HTI, Al Qaida, salafi-wahabi atau kelompok-kelompok yang mengaku Islam lainnya. Marilah kita melihat dengan nurani dan kemudian bertanya, mengapa Al Qaida dan para ekstremis Islam itu tidak pernah menyerang Israel atau Amerika, namun terus menerus menumpahkan darah sesama muslim di Irak, Iran, Libya, Pakistan, Yaman, Syria dan negara-negara Islam lainnya?
Sumber : Indonesian Free Press