Berita
Memaknai Haji dari Berbagai Aspek
Ibadah haji merupakan salah satu kewajiban yang diperintahkan Allah SWT kepada hamba-Nya yang mampu melakukannya. Nilai ibadah ini dapat dipahami melalui berbagai aspek, di antaranya; aspek sejarah, hukum syariat dan makna haji itu sendiri. Agar ibadah haji seseorang tidak sia-sia, tentu pelaku ibadah dituntut untuk memahami berbagai aspek tersebut.
Untuk lebih memahami aspek-aspek tersebut secara mendalam, ABI Press mewawancarai Cendekiawan Muslim Dr. Muhsin Labib, MA.
Ibadah haji jika dilihat dari aspek sejarahnya itu seperti apa?
Haji sebagaimana disebutkan dalam Alquran juga bermula dari ibadah Nabi Ibrahim as. Nabi yang membangun, yang menegakkan bangunan Kakbah itu adalah Nabi Ibrahim bersama anaknya. Ritual-ritual yang ada dalam ibadah itu, kalau kita tidak memahaminya dengan kesadaran, maka hanya akan terlihat seperti seremoni yang tidak ada artinya. Padahal itu semuanya memaknai simbol-simbol yang penting dalam hidup.
Seperti Sa’i dari Safa ke Marwa. Kenapa orang lari kesana-kesini? Jangan lihat larinya, tapi lihat filosofinya. Itu bukti bahwa orang tidak boleh putus asa. Bahwa orang selalu disuruh lari kepada Allah SWT. Kita disuruh lari kepada Allah SWT. Berarti mencari ridha-Nya. Mencari rahmat-Nya. Mencari pahala-Nya. Mencari cinta-Nya. Itu yang dimaksud.
Kemudian ketika orang berkumpul. Mengapa orang haji itu harus menggunakan pakaian dengan warna yang sama, itu tujuannya supaya orang tidak lagi dibedakan sukunya, warna kulitnya, status sosialnya, kaya-miskinnya, mazhabnya dan lain sebagainya.
Secara umum haji itu berhubungan dengan peristiwa yang dialami dalam Nabi Ibrahim as. Siti Hajar ketika mencari air. Itu ditafsirkan seperti yang saya katakana, dia tidak berputus asa. Dia tetap punya harapan dan itu diabadikan dalam bentuk sebuah seremoni, supaya kita meneladani itu. Makanya kalau kita lari tidak tahu filosofinya, ya lari-lari saja tidak punya makna.
Mengapa orang harus Tawaf sampai tujuh kali? Nah itu mengelilingi Kakbah menunjukkan bahwa kita mengikatkan diri dengan poros Allah SWT. Makanya harus dengan satu bentuk tertentu, membentuk sebuah spiral itu menunjukkan ikatan yang kuat sekali. Bukan semata-mata lari mengelilingi Kakbah sebetulnya. Kakbah hanya simbol. Tapi itu bermakna mengelilingi Allah, karena Kakbah itu simbol Allah SWT, dengan kepatuhan, dengan ikrar. Makanya orang pulang haji itu diharapkan berubah perilakunya. Bukan hanya untuk menambah gelar “Haji”.
Mengapa orang melempar jumrah? Itu ikrar untuk membuang keburukan. Untuk menunjukkan penolakan kita terhadap setan atau hal-hal yang buruk. Kalau cuma lempar-lempar saja, tidak ada maknanya.
Semuanya terkait dengan peristiwa Nabi Ibrahim. Memang awalnya ibadah itu bermula dari Nabi Ibrahim. Tawaf itu ibadah, artinya bila kita tidak tawaf saat haji, maka tidak terhitung berhaji.
Jika dilihat dari hukum syariatnya?
Ibadah haji kan sudah disepakati oleh semua umat Islam, sebagai ibadah utama selain puasa, salat, zakat.
Tapi karena tempat pelaksanaan ibadah haji itu berjarak, tempatnya jauh, maka hanya orang yang punya kemampuan yang akan bisa sampai ke sana. Kemampuan itu meliputi apa saja? Ya bekal, kesehatan, dan lain sebagainya.
Makanya, orang yang sudah memenuhi semua syaratnya kemudian tidak beribadah haji, itu berdosa. Misalnya saya sudah punya uang, saya sehat, punya waktu, tidak ada hambatan, tapi saya tidak haji, itu dosa. Kecuali kalau antriannya belum dapat, itu berarti dia belum waktunya haji. Tapi kalau semuanya sudah siap tapi tidak mau haji, orang itu berdosa. Tahun depan ketika dia mau haji tapi uangnya sudah tidak ada, maka dia harus bertaubat, beristighfar kepada Allah SWT.
Ibadah haji memang tidak seperti salat. Kalau salat kan semua orang harus melakukannya. Tidak bisa saya tidak salat. Ya mungkin ada orang-orang tertentu yang sakit, tapi dia tetap dianjurkan untuk salat dengan caranya. Tapi kalau haji, gugur kewajibannya apabila dia tidak punya kemampuan untuk itu.
Haji sebetulnya yang wajib itu sekali. Karena itu kalau kita sudah berhaji sekali, tidak perlu memaksa untuk haji dua kali sampai tiga kali, kecuali memang dia punya waktu, punya kemampuan Tapi kalau sampai dia mengabaikan kewajiban yang lain, itu yang tidak boleh.
Kewajiban itu tidak boleh menggugurkan kewajiban yang lain. Apalagi (haji) yang kedua sudah bukan wajib. Ini banyak orang hajinya berkali-kali tapi aspek-spek lainnya yang wajib justru diabaikan. Ini yang keliru. Hajinya sampai 10 kali lebih tapi perhatian kepada sesama kurang, memberikan hal-hal yang semestinya lebih penting kepada keluarga tidak diberikan, dia hanya memperhatikan aspek hajinya.
Seringkali haji ini bergeser menjadi sebuah status. Lomba status, lomba pamer. Ini yang tidak boleh.
Dari segi fikih, haji adalah salah satu ibadah wajib yang utama. Selain salat, puasa, zakat.
Apa sebenarnya makna Haji?
Seperti yang saya sebutkan dalam awal wawancara tadi, haji itu punya makna pembersihan diri, punya makna ikrar menolak semua keburukan, punya makna mengikat diri dengan poros Allah SWT. Makanya orang didoakan ketika haji itu supaya menjadi haji yang mabrur. Artinya haji mabrur itu ya haji itu menjadi kelahiran baru dia. Dia pulang dari situ sudah menanggalkan keburukannya di tempat lempar jumrah itu. Perilakunya menjadi baik, akhlaknya menjadi baik, ibadahnya makin baik, makin sempurna. Nah itu makna yang paling penting dari haji.
Tentu ada beberapa ritual-ritual dalam haji itu yang harus dipenuhi. Mengapa orang harus potong rambut, itu menandai bahwa dia lahir baru. Malah dianjurkan untuk plontos. Kan jarang orang mau melepas rambutnya ini. Dengan dia mau melepas rambutnya ini pertanda bahwa dia sudah seperti bayi baru lahir. Bayi baru lahir itu kan tidak ada rambutnya.
Ada larangan-larangan kalau dalam beberapa mazhab Islam, itu menandai hal-hal yang sebetulnya lebih dari sekadar haji. Misalnya kita tidak boleh merias diri. Itu karena kebanyakan manusia itu narsis. Kita, bahkan untuk melihat kaca saja tidak dianjurkan. Dianjurkan untuk tidak melihat kaca. Dianjurkan untuk cinta lingkungan. Tidak boleh mencabut tanaman sembarangan. Tidak boleh membunuh hewan yang tidak mengganggu. Tidak boleh bersenang-senang, artinya bersenang-senang melakukan aktivitas seksual dengan istri dan sebagainya. Jadi benar-benar kita harus melakukan pengekangan ekstra.
Padahal dalam kehidupan kita kan memang ada yang dilarang, ada yang tidak. Tapi kalau dalam haji, hal-hal yang boleh pun dilarang. Orang mencabut tanaman kan boleh saja, artinya tidak dilarang, tapi dalam haji dilarang. Tujuannya apa? Bisa atau tidak selama tiga hari dia mengekang dirinya? Selama beberapa hari menggunakan ihram bisa tidak dia di sana? Mengekang dirinya tidak menggunakan pakaian yang berbeda dengan orang lain. Kita kan punya kecenderungan menampilkan diri kita. Saat haji kita harus berperilaku biasa. Kita tidak boleh teriak. Kita tidak boleh mencemooh. Kita tidak boleh bertengkar. Ini semuanya yang biasa kita lakukan, dan itu tidak diharamkan tapi di sana bisa membatalkan.
Jadi, haji itu semacam penggodokan. Orang itu digodok, dimatangkan lagi sehingga dengan itu dia punya kesadaran baru, dia terlahir baru ketika dia pulang. Itu yang diinginkan dari ibadah haji.
Tapi sayang, seringkali haji menjadi semacam wisata. Jalan-jalan dengan kesenangan. Padahal ada dalam beberapa mazhab Islam, yang orang tidak boleh berteduh selama melakukan haji. Berteduh itu tidak boleh. Jadi harus terbakar matahari. Dia harus menghindari penutup kepala. Kalau Anda melihat orang-orang haji itu ada sebagian yang naik bus, bus itu kap atau penutup atasnya dibuka. Saking perlunya bahwa orang harus merasakan derita. Bila perlu tidak naik kendaraan, dia jalan dengan semua kesulitannya. Kalau melempar jumrah, batunya itu harus mencari sendiri. Ini kan punya makna, orang harus berupaya mandiri, berusaha keras, tidak memanjakan dirinya. Itu semuanya ada di dalam ibadah haji.
Sebisa mungkin kita menjaga hati kita meskipun sedang berada di dalam lingkungan yang kelihatan mewah dan glamor. Orang yang melakukan haji harus mampu menjaga dirinya supaya dia tetap fokus mengenang haji sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as dan haji yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sehingga apapun yang terjadi, di tengah adanya perubahan-perubahan, dia tetap konsisten memaknai itu sebagai ibadah peleburan diri dalam cinta kepada Allah SWT, sebagai prosesi pembersihan diri, sebagai ikrar untuk mengubah perilakuknya secara total. Artinya, dengan berhaji, dia telah siap memasuki fase baru dalam hidupnya. (Malik/Yudhi)