Berita
Memahami Wahabisme dan Abduhisme
Mengakhiri seri Tadarus Ramadhan, Jaringan Islam Liberal menggelar seri ke-tiga diskusi Kritik pada Wahabi, Rabu (8/7). Menghadirkan dua pembicara, Abdul Moqsith Ghazali dan Ulil Abshar Abdalla, diskusi membahas kritik pada pemikiran Wahhabi serta posisi dan masa depan Wahabi.
Abdul Moqsith Ghazali dalam paparannya menjelaskan, sebelum mengkritik Wahhabi perlu dipahami bahwa ada persamaan mendasar antara Wahabisme dan Abduhisme. Di samping ada juga perbedaan-perbedaannya.
“Ada persamaan antara Wahabisme dan Abduhisme. Sama-sama slogannya ‘Kembali pada Qur’an dan Sunnah’, tapi beda di metodenya. Wahabi pondasinya tekstual, sementara Abduhisme ujungnya rasional. Sama-sama menolak mazhab, Abduhisme ujungnya adalah kebebasan berpikir, bahkan kebebasan beragama, tapi Wahabi menolak mazhab (yang utama) tapi justru menciptakan mazhab baru, hanya ikut Bin Baz atau Albani,” terang Moqsith.
“Slogannya juga sama-sama ingin tegakkan ajaran tauhid. Tapi ujung Wahabi itu takfirisme, mengkafirkan orang Islam sendiri. Sedang Abduhis tidak mengkafirkan orang lain. Semua yang selain Allah direlatifkan dalam pandangan Abduhisme. Makanya ia menolak semua tindakan politik Nabi di Madinah.”
“Baik Wahabis dan Abduhis juga dalam banyak bagian pro-Barat. Tapi jika Abduhis mengambil ilmu Barat, Wahabi menyerang umat Islam bersama Barat. Yang sama adalah keduanya sama-sama anti tasawuf dan ketus pada budaya dan kearifan lokal. Karena itulah kalau bertemu kelompok tradisionalis ada ketegangan. Karena itu mereka menyerang Islam Nusantara.”
“Islam Berkemajuan itu, jelas adalah hasil dari pemikiran para Abduhis yang pola pikirnya maju dan modernis, berbeda dengan kaum Wahabis yang terpaku pada ‘kejayaan masa lampau’, terang Moqsith. “Nah, orang sering mencampur-adukkan antara Wahabis dan Abduhis. Makanya harus dijelaskan agar tidak salah sasaran kritik.”
“Kelebihan” Wahabi
Meski banyak mengkritik pemikiran Wahabi, Moqsith menyebutkan ada satu kelebihan Wahabi, yaitu penyederhanaan tauhid yang mudah dipahami oleh masyarakat awam.
“Konsep teologi dalam Islam itu sangat abstrak dan filosofis. Orang awam tidak paham. Nah, teori abstrak itu dalam doktrin Asyari dan Maturidi diringkas secara sederhana oleh Wahabi,” terang Moqsith.
“Lepas dari keshahihannya, mereka melakukan penyederhanaan-penyederhanaan yang mudah dipahami masyarakat awam. Syirik itu kalau kamu ziarah, kalau tahlilan, kalau upacara bendera. Ini kan mudah dipahami awam. Wahabi mengkonkretkan teori-teori itu langsung.”
Mengenai kondisi Wahabi di Indonesia, menurut Moqsith sebagai negara demokrasi, Wahabi tetap berhak ada di Indonesia. Hanya saja yang harus ditekankan, yang tak bisa ditoleransi adalah jika mengarah pada paham radikal, ekstrem dan takfiri. (Muhammad/Yudhi)