Berita
Memahami Sunni Syiah
Sunni dan Syiah adalah dua persepsi relatif yang terstruktur tentang mekanisme mendekati wilayah kesucian. Keduanya bukan agama melainkan interpretasi terhadap agama. Keduanya hanyalah mazhab. Agar terjamin tidak adanya distorsi atas pemahamannya, maka muncul konsep ‘adâlah al-shahâbah (kredibilitas sahabat) pada mazhab Sunni. Bahwa para sahabat Nabi itu kredibel yang tanpa menyebut kesucian pun sudah memberikan konsekuensi adanya imunitas para sahabat. Posisi mereka sebagai penghubung antara umat dengan Nabi. Begitu pula dengan Syiah, untuk menjamin bahwa agama yang dipahaminya itu adalah benar seratus persen atau tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh Nabi, maka muncullah konsep kesucian. Karena itu pula, muncul ragam pemahaman dan penafsiran di tengah umat. Pemahaman dan penafsiran di tengah umat selamanya tidak suci dan tidak mutlak. Pemahaman dan penafsiran yang relatif inilah yang disebut mazhab.
Jadi keduanya (Sunni dan Syiah) sama-sama memahami adanya penghubung antara umat dengan Nabinya, karena Nabi adalah seorang yang mutlak benar. Persoalannya adalah ada orang-orang tertentu yang menolak hukum relativitas ini, baik implisit maupun eksplisit, dengan mengatakan bahwa apa yang dipahaminya tentang Alquran dan Al-Hadis itu persis sebagaimana yang diterima oleh Nabi. Hal ini terjadi baik di kalangan Sunni maupun Syiah, karena kesadaran adanya relativisme ini dihilangkan. Sehingga muncullah fanatisme dan ekstremitas. Seandainya sejak awal diyakini bahwa wahyu itu suci, suci itu mutlak, mutlak itu tidak akan bisa berhubungan dan tidak akan bisa bermutasi menjadi relatif, maka hal ini tidak akan terjadi.
Seandainya manusia biasa yang relatif bisa menjadi mutlak seperti Nabi, dan pemahaman manusia yang tidak mutlak ini bisa menjadi mutlak, maka konsep kenabian dengan manusia biasa tidak ada beda. Lalu, mengapa Tuhan tidak mengirimkan wahyu kepada manusia biasa secara langsung saja?
Relativitas meniscayakan bahwa apa yang kita pahami tidak akan sama dengan apa yang dipahami oleh Nabi. Sebab jika begitu, maka gugurlah konsep kenabiannya. Karena itu, Syiah tidak menjalankan hadis terkenal “Ikutilah sunnahku dan sunnah para khalifah sesudahku”, bukan karena tidak mempercayai para khalifah pengganti Nabi. Namun hadis ini berkonsekuensi logis turunnya pangkat kenabian atau naiknya pangkat kekhalifahan. Setelah pangkat keduanya sama, kemudian bisa diikuti. Artinya, tingkatan seorang Nabi tidak bisa digantikan oleh siapa saja dari umatnya yang tidak suci.
Baik Sunni maupun Syiah, yang sama-sama bukan sahabat dan bukan imam, tidak perlu saling bersikeras. Yang Sunni bukan sahabat Nabi, sehingga tidak memiliki konsekuensi ‘adil’, dan yang Syiah juga bukan imam, sehingga memiliki konsekuensi suci. Karena sama-sama tidak memiliki keadilan atau kesucian, maka sama-sama tetap relatif. Dari sini, ruang kreasi, spekulasi, relativitas itu begitu terbuka lebar di dalam Syiah. Sehingga Syiah dapat dilihat dalam dua dimensi;
- Dimensi pertama ialah dimensi kemazhaban, yang berarti terorganisir. Jika anda terikat dengan organisasi Syiah sebagai teologis, maka anda harus membelanya.
- Dimensi kedua adalah dimensi keagamaan. Jika anda melihat Syiah sebagai sebuah tren kesadaran bahwa itu adalah keagamaan secara total tanpa mesti mengidentifikasi diri sebagai mazhab, maka setiap orang memahami Syiah dengan relativitasnya. Karena ruang relativitas di dalam Syiah terawat tidak sebagaimana di dalam Sunni, maka jika ada seorang penganut Syiah berpendapat tentang suatu hal, maka tidak bisa digeneralisasikan terhadap penganut Syiah lainnya.
Para sahabat memahami Nabi dengan mazhabnya masing-masing. Para ulama Syiah ketika memahami para imam juga berbeda, karena mazhab adalah persepsi. Karena ia hanyalah persepsi, maka tidak perlu bersikeras dengan pemahamannya terhadap orang lain. Penganut Syiah juga tidak perlu bersikeras dengan pemahamannya. Kamu memahami Syiah dengan pemahamanmu dan saya memahami Syiah dengan pemahamanku.
Golongan Syiah telah hadir di tengah-tengah masyarakat Islam sejak pada masa hidup Rasulullah Saw yang beranggotakan orang-orang muslim yang secara praktis telah mematuhi konsep dan ketetapan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin setelah Rasulullah Saw secara mutlak. Dan haluan yang berpaham Syiah kemudian lebih menjelma dalam kerangka bentuk yang jelas pada saat pertama karena sikap protes dan menolak keputusan yang telah diambil pada rapat Saqifah Bani Saidah yang telah membekukan fungsi pimpinan Ali dan mengambil alih serta memberikannya kepada orang lain.
Al-Ya’qubi mencatat beberapa nama dari Muhajirin dan Anshar yang menolak baiat kepada Abu Bakar, yaitu: Abbas bin AbdulMutthalib, Fadhl bin Abbas, Zubair bin Awwam, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin ‘Amr, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghiffari, ‘Ammar bin Yasir, Barra’ bin ‘Azib, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib. (1)
Al-Thabarsi dalam buku Al-Ihtijâj membawakan sebuah riwayat dari Aban bin Taghlib. la bertanya kepada Imam Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq, ”Kujadikan diriku tebusan darimu. Apakah ada orang yang menolak kepemimpinan Abu Bakar di antara para sahabat Rasulullah?” Imam menjawab, ‘Ya. Dua belas orang dari kaum Muhajirin yang menolak; mereka itu adalah Khalid bin Said bin Abi Al-’Ash, Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqdad bin Al-Aswad, ‘Ammar bin Yasir, dan Buraidah Al-Aslami.Sedangkan dari pihak Anshar adalah Abu Al-Haitsam bin Al-Taihan, Utsman bin Hunaif, Khuzaimah bin Tsabit Dzu Al-Syahadatain, Ubay bin Ka’ab dan Abu Ayyub Al-Anshari.’” (2) (Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)
Catatan Kaki
- Ahmad bin Abi Ya’qub, Târîkh Al-Ya’qûbî, j. 2, h. 8, cet. 1, Syarikah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 2010 M (1431 H).
- Al-Thabarsi, Al-Ihtijâj, juz 1, h. 96, cet. 1, Intisyarat Al-Syarif Al-Radhi, Qom, Iran, 1380 H.