Berita
Melawan Moralitas Korup
Politik itu katanya adalah seni kemungkinan. The art of possibility. Apa saja mungkin. Setya Novanto mungkin orang benar, mungkin juga salah. Mungkin dia korban, mungkin juga dia pelaku. Mungkin saja dia korup, tapi ada yang lebih korup di atasnya. Mungkin dia hanya wayang, dan ada dalangnya. Mungkin juga SN ingin agar korupsinya terbongkar demi terbongkarnya korupsi lain yang lebih sistematis dan terstruktur. Mungkin, mungkin dan mungkin.
Begitulah cara politisi korup berpikir. Ia menjadikan kejahatan sebatas perspektif, dan nilainya sebagai relatif. Dulu Socrates dan murid-muridnya menghadapi pola pikir yang sama. Namanya sofisme. Alur pikir ini bersumber dari kepala orang-orang bejat yang ingin kebejatannya dimaafkan, atau setidaknya dimaklumi. Mereka ingin sekali kebanyakan orang memandang kebejatan dan kemungkaran itu sebagai hal yang biasa-biasa saja. Jangan sampai ada yang terlalu heran. Apalagi kemudian sampai marah dan tak bisa memaafkan. Malah yang tak bisa memaafkan ini tergolong orang yang patut dikecam, karena dalil paling utama mereka adalah: semua manusia pasti bersalah.
Sialnya, sofisme dan relativisme etis ini mudah sekali menular. Ia seperti obat penenang yang membius dan membunuh kesadaran. Dan perlahan tapi pasti cara berpikir ini bakal mengganas dan menggerogoti kemanusiaan itu sendiri, yakni ruh revolusioner yang ada dalam diri tiap insan, yang menuntut untuk terus memperbaiki diri dan menyempurna. Orang-orang revolusioner itu akan dianggap sok suci, munafik, dan jika memang sudah terlalu kritis layak dianggap sebagai ekstremis, bodoh dan jumud.
Ya, propaganda kaum sofis dari dulu sampai sekarang menyasar wilayah yang abu-abu dan memperbesarnya hingga menjajah seluruh sanubari dan nurani manusia. Semuanya harus tunduk pada logika kebimbangan, ambiguitas dan perdebatan. Ini merupakan taktik kotor lama yang terus diperbarui oleh kaum korup dari masa dulu hingga sekarang. Perbedaannya, dulu ia hanya menyasar lapisan elit dari masyarakat. Di zaman Yunani, kata Socrates, ia hanya menimpa para senator, pengacara dan dukun. Tapi sekarang, dengan menggunakan jaringan media yang masif, ia dapat menjalar sampai ke akar rumput.
Di dalam masyarakat seperti ini, apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana kita mesti mulai?
Dan menggunakan sarana apa?
Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu penjelasan panjang. Namun, ringkasnya, sejarah merekam bahwa Socrates dan para nabi sebelum dan sesudahnya punya beberapa tahap efektif untuk melawannya. Pertama, mereka mengajukan kebenaran yang tak bisa ditolak. Inilah kebenaran paling dasar yang semua orang sudah paham: bahwa yang buruk itu tetap buruk meski dihias seperti apapun. Kedua, mereka memberi teladan dengan diri mereka sendiri. Ketiga, mereka membangun kelompok yang bebas mandiri dan bebas dari belitan ambiguitas dan sofisme moral seperti di atas. Keempat, mereka memulai gerakan dengan menyadarkan kelompok yang paling tertindas akibat kebimbangan dan ambiguitas moral tersebut. Itulah masyarakat yang disebut dengan mustadh’afin (yang dilemahkan oleh struktur sosial, politik dan ekonomi). Carilah mereka dan bergandenglah tangan dengan mereka untuk memulai perubahan yang lebih radikal, serius dan konsisten. Mereka adalah yang paling siap, paling tidak merasa kehilangan apa-apa dengan perubahan, bahkan paling militan dalam mengharapkannya.
Tentu saja, seperti sebelum-sebelumnya, kelompok ini belum tentu berhasil melakukan perubahan yang radikal. Mereka seringkali dapat dikalahkan. Mesin kejahatan kerap bekerja dengan militansi dan menghalalkan segala cara hingga menerabas apa saja. Tapi, setidaknya, kelompok yang melawan dengan dukungan kaum tertindas selalu berhasil menjaga kemanusiaan dari kepunahan. Mereka mampu menjaga yang tersisa dari harapan akan perubahan dan perbaikan. Dan yang terpenting, mereka berhasil menabur benih para penjaga kemanusiaan di masa depan, yang akan terus berjuang hingga bumi ini kembali menjadi ladang kebaikan, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh manusia.(Abu Jawad/Yudhi)