Berita
Melawan Kebijakan dan Perda Diskriminatif
Tanggal 28 Oktober telah dikenal sebagai Hari Sumpah Pemuda. Namun bagi Komnas Perempuan, Oktober kali ini bukan hanya sebagai Hari Sumpah Pemuda tapi juga merupakan penanda satu tahun pelaksanaan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Hal ini menjadi sangat penting khususnya untuk menegaskan kepatuhan para penyelenggara negara terhadap konstitusi sebagai landasan hidup berbangsa. Untuk itu, pada Rabu (28/10) Komnas Perempuan menggelar Siaran Pers dengan tema “Pemerintah Harus Tegas Merawat Kebhinekaan Negara Bangsa,” di kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat.
Nina Nurmila, Pejabat Sementara Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi Hukum Nasional memaparkan sejumlah temuan Komnas Perempuan terkait kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh pemerintah dari tahun 2010 hingga tahun 2015, yakni sebanyak 389 kebijakan.
“Dari 389 kebijakan diskriminatif, 54 di antaranya adalah pembatasan jaminan kebebasan hidup beragama warganegara,” terang Nina.
Hal ini mengakibatkan aksi anarkisme kelompok intoleran terhadap kelompok minoritas agama yang menjadikan kebijakan tersebut sebagai landasan hukum untuk melakukan tindak intoleransi. Akibatnya, terjadilah konflik horizontal dan ketidakpastian hukum.
Tiga wilayah dengan kebijakan diskriminatif terbanyak adalah Aceh, Jawa Barat, dan Jawa Timur, yang masing-masing mengeluarkan 8 kebijakan diskriminatif.
Alasan Lahirnya Kebijakan Diskriminatif
Dibuatnya kebijakan diskriminatif tersebut tentu bukan tanpa sebab. Komnas Perempuan mencatat ada tiga alasan mengapa perda-perda diskriminatif tersebut lahir.
Alasan pertama adalah karena persoalan konseptual, yaitu masih kurangnya pemahaman masyarakat terhadap Hak Asasi Manusia dan kesetaraan subtantif.
Alsan kedua adalah persoalan struktural pemerintahan, yang seharusnya pemerintah pusat bisa melakukan kontrol yang baik bagi pemerintah daerah atas peraturan perundang-undangan.
“Namun pada kenyataannya, bahkan pemerintah pusat atau Nasional masih mengeluarkan kebijakan diskriminatif,” jelas Nina.
Alasan ketiga adalah persoalan politik, masih ada politik pencitraan yang menggunakan politisasi berbasis agama untuk memenangkan pertarungan kekuasaan.
“Jadi pencitraan untuk mendulang suara ataupun dukungan dari kelompok tertentu ataupun yang mayoritas,” terang Nina.
Untuk itu, Komnas Perempuan memberikan beberapa rekomendasi di antaranya adalah meminta pemerintah membatalkan kebijakan yang diskriminatif, meminta Mahkama Agung membuka mekanisme uji materil secara terbuka dan disosialisasikannya buku Pedoman Pengujian Kebijakan Konstitusional bagi semua pembuat kebijakan, baik di tingkat Nasional maupun daerah.
Siaran Pers yang berlangsung kurang lebih satu jam dan ditutup pukul 12 siang itu dihadiri oleh Azriana, Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni, Wakil Ketua, Tuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua dan Nina Nurmila, Pejabat Sementara Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi Hukum Nasional. (Lutfi/Yudhi)