Di abad teknologi-informasi yang mestinya membuat orang bisa lebih terbuka, lepas dari kejumudan dan kesempitan berpikir, ironisnya kita justru disuguhi oleh tontonan kedegilan dan kecupetan sebagaian orang dalam beragama. Kasus-kasus kekerasan, hate speech, dan fitnah-fitnah keji atas nama agama adalah bukti tak terbantahkan akan fenomena ini.
Hal inilah yang menjadi kekhawatiran Direktur Mizan, Dr. Haidar Bagir dalam Launching dan Bedah Buku Menyoal Status Agama Pra-Islam karya Dr. H. Sa’adullah Affandi M, Ag di Jakarta, Kamis (28/5).
“Kita merasakan adanya fenomena penyempitan pola pemikiran dalam beragama. Yang celakanya berakibat pada tindakan yang juga sempit bahkan radikal. Ini sangat penting kita perhatikan,” ujar Haidar.
“Karena inilah penerbit Mizan konsisten menerbitkan buku-buku ke-Islam-an yang serius seperti ini,” lanjut Haidar yang mengatakan akan menjalin kerjasama dengan cendekiawan-cendekiawan dari NU, Muhammadiyah, juga UIN-UIN di seluruh Indonesia.
“Dalam melawan penyempitan pemikiran ke-Islam-an ini kita perlu menyinergikan benteng moderasi dan menyiapkan langkah-langkah sistematisnya dengan semua pihak,” ujar Haidar.
Membangun Keberagamaan Inklusif
Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace, Ulil Abshar Abdalla juga mengingatkan bahwa fenomena keberagamaan yang sempit dan jumud ini harus dilawan.
“Sekarang ini yang bertarung memang diskursus pembedaan vs diskursus penyamaan, antara diskursus yang intoleran dan eksklusif dengan diskursus yang menyampaikan harmoni dan moderat,” ujar Ulil.
Hal senada diungkapkan oleh Fakhrurozi dari Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Pola keberagamaan yang sempit ini berbahaya. Kita harus membangun keberagamaan yang inklusif dan moderat,” tekan Fakhrurozi. (Muhammad/Yudhi)