Berita
Mbah Maridjan: Pijar di Tengah Kabut Merapi
Siang itu saya tak terlalu antusias ketika seorang kawan mempersilahkan naik mobil menuju Gunung Merapi. Kejenuhan segera merambati hati. Setelah menderu-deru mendaki gunung, mobil yang saya tumpangi akhirnya berhenti di pelataran luas yang menampung beberapa rumah, pendopo dan masjid.
Saya menguntit rombongan dari belakang menuju rumah yang terbuat dari kayu itu. Usai mengucapkan salam dan menyalami Mbah Maridjan, hati saya mendadak berbunga-bunga. Senyumnya yang ramah mendarat tepat di jantung saya. Hati saya spontan berubah suasana.
Tangannya terasa kasar, agak tak wajar untuk orang yang telah mencapai usia 80 tahun. Ada kesan kuat bahwa dia telah hidup dalam kerja keras dan keprihatinan panjang. Tapi badannya tetap kekar dan tegap ditunjang dua kaki yang mantap.
Inilah sosok yang telah lama saya rindukan. Inilah pemimpin yang tanpa hingar-bingar memanifestasikan apa yang disebut dengan “kearifan lokal”. Tak berlebihan bila saya katakan bahwa Mbah Maridjan yang tinggal di lereng gunung itu telah menyadarkan saya tentang fakta yang selama ini kurang saya hayati. Bahwa budaya dan lingkungan tak menghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin besar.
Lama saya menduga bahwa pemimpin itu harus berasal dari latar belakang tertentu. Tapi, semua dugaan itu spontan hilang ditelan oleh kehadiran Mbah Maridjan. Kini, saya sepenuhnya yakin bahwa pemimpin itu bisa berasal dari golongan dan latar belakang mana saja. Dan bahwa kemuliaan seorang pemimpin itu berasal dari akhlak dan kepribadiannya, bukan dari keturunan dan penampilan luarnya.
Sejauh yang dapat saya pahami, dengan segala kesederhanaannya, Mbah Maridjan telah menjelmakan sejumlah sifat pemimpin ideal: keberanian yang tidak mengandung kebencian; ketegasan yang tidak bercampur amarah; kerendahan hati yang bukan dari kepengecutan; keramahan yang tidak menjilat; kehati-hatian yang sejalan dengan akal sehat dan sebagainya.
Menurut saya, Mbah Maridjan telah melalui proses panjang menundukkan nafsu dengan membersihkan batinnya. Kenikmatan duniawi dan kekuasaan tak lagi mengganggunya, apalagi mencemarinya. Dan seperti layaknya manusia-manusia yang dekat dengan Allah, mudah saja baginya untuk menundukkan gunung sebesar Merapi dan meyakinkan warga yang dipimpinnya bahwa bencana tak bakal menimpa mereka.
Mbah Maridjan agaknya telah berupaya keras mengikuti jejak tokoh panutannya, Semar Badranaya, yang gambarnya terpampang di ruang tamunya. Seperti halnya Semar, Mbah Maridjan mencoba menjadi sarana manusia untuk kembali mendekatkan diri pada Allah. Dan seperti halnya semar, Mbah Maridjan tak pernah melampaui batas dirinya.
Salah satu sikap Mbah Maridjan yang paling mengesankan saya ialah keinginan kuatnya untuk selalu tawaduk dan sadar akan batas-batas dirinya. Sifat ini terasa sekali dalam semua tutur kata dan tingkah lakunya. Jelas bahwa dia telah lama berupaya menjauhkan dirinya dari sifat sombong, tak tahu diri, dan melampaui batas yang dewasa ini sudah menjangkiti sebagian besar pemimpin kita.
Saat beberapa wartawan mencoba mengambil fotonya, dia berseloroh bahwa orang jelek sepertinya tak pantas difoto. Sambil menunjuk ke arah karikatur yang terpajang di atas lemari ruang tamunya, Mbah Maridjan menyatakan bahwa foto itu sering kali membuatnya semakin jelek, “mirip dengan gambar yang di sana itu.” Kemudian, dia senantiasa berbicara dalam bahasa Jawa. Karena, menurutnya, dia adalah orang kecil yang tak layak berbicara dalam bahasa Negara (baca: bahasa Indonesia).
Ada pengendalian yang kuat dalam dirinya untuk tidak terjebak oleh kenikmatan duniawi. Semua pendapatannya sebagai bintang iklan produk jamu langsung dia salurkan untuk perbaikan sarana dan prasarana umum. Sikap yang sama dia ulang kembali saat seorang perwakilan rombongan menyerahkan bantuan uang. Setelah berterima kasih, Mbah Maridjan sama sekali tidak memedulikan uang tersebut. Begitu azan Magrib berkumandang, bungkusan berisi uang itu lupa dia pungut dari meja yang penuh orang.
Ada banyak cerita dan sisi menarik lain dari Mbah Maridjan. Tapi, satu hal yang pasti, dialah manusia yang menjadi saksi hidup bahwa Allah niscaya meninggikan derajat siapa saja yang merendah di hadapan-Nya. Bagaimana tidak. Hampir semua tokoh nasional, mulai presiden sampai artis terkenal, sudi berzigzag mendaki gunung guna mengunjunginya dan meminta nasihat darinya. Bahkan, partai politik sebesar Golkar tak sungkan-sungkan menjadikannya sebagai pembicara dalam rapat pimpinannya setahun silam di Jogjakarta. Di buku tamu yang lusuh miliknya, saya menemukan daftar pengunjung dari hampir seluruh dunia. Mereka datang untuk mencari satu barang yang akhir-akhir ini semakin langka: perikemanusiaan. Dan sepertinya, seperti juga saya, mereka bisa menemukannya pada Mbah Maridjan.