Berita
Maulid Nabi Bersama: Ajang Konsolidasi dan Ukhuwah Islamiyyah
Minggu (1/3) pagi kemarin menjadi hari istimewa bagi para pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) sejumlah masjid di Bogor dan oganisasi Perduli Masjid Ahlul Bait Indonesia (PERMABI). Untuk pertama kalinya, mereka menggelar peringatan bersama Maulid Nabi besar Muhammad saw yang berlangsung khidmat sesuai rencana.
Acara yang diadakan di Masjid Raya Bogor sejak pukul 9 pagi dan dihadiri sekitar 250-an perwakilan sejumlah DKM dan relawan PERMABI itu, diawali sambutan Ketua Pelaksana, Ustaz Abdullah. Selain meraih berkah Maulid Nabi saw, acara tersebut juga diharapkan menjadi ajang silaturahmi antar-pengurus DKM se-Bogor sekaligus penguatan ukhuwah Islamiyah.
Dalam sambutan kedua, Ketua Umum PERMABI, Ustaz Dede Azwar, mengingatkan para hadirin tentang fungsi masjid sebagai “benteng umat Islam” (sebagaimana Tauhid benteng mukminin dan ulama benteng Islam), sekaligus mengimbau agar mengembalikan mimbar masjid sebagai mimbar Rasulullah saw yang penuh wibawa. “Mimbar Rasulullah saw bukan hanya berfungsi sebagai mimbar nasihat, tapi juga sarana kontrol sosial,” katanya.
Selepas selingan berupa pentas seni marawis yang dibawakan sekelompok remaja masjid, peringatan Maulid dilanjutkan dengan acara pokok berupa ceramah yang disampaikan pengasuh al-Ghazali Islamic Center Bogor, KH Mustofa.Tokoh yang akrab disapa Ustaz Toto ini, dengan gayanya yang kalem, mengulas seputar fenomena Maulid di Tanah Air serta perkembangan dunia Islam secara umum.
“Sekitar 95 persen Muslim di Indonesia, yang 80 persennya menganut mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah dan 15 persennya saudara kita Syiah (Ahlul Bait), memperingati Maulid Nabi besar Muhammad saw. Sementara sisanya yang 5 persen tidak memperingatinya,” ujar putra bungsu dari ulama pejuang besar alm. KH [Mama] Abdullah bin Nuh yang berkali-kali didera fitnah namun tetap tegar dan istiqomah melangkah di garis depan perjuangan Islam.
Sisanya yang 5 persen itu, lanjut beliau, adalah the splitting groups atau kelompok-kelompok sempalan yang terbagi dalam dua orientasi, dua haluan. “Ada yang liberal dan ada yang radikal (baca: ekstrem), yang jumlah pastinya tidak diketahui, apakah lebih banyak yang liberal atau yang radikal,” katanya.
Kelompok liberal cenderung kebarat-baratan, sekular, serba permisif, serba bebas. “Kayaknya mereka tidak dapat diharapkan untuk menekuni Maulid Baginda besar Sayyidina wa Maulana Nabi Muhammad saw,” tutur ulama Nahdhatul Ulama (NU) Bogor ini.
Sementara itu, lanjut beliau, sebagian kelompok radikal tidak memperingati Maulid Nabi saw lantaran berpandangan bahwa itu adalah area bid’ah.“Tentu bisa digelar di sini untuk memilah dan menganalisis klaim mereka yang mengatakan Maulid itu bid’ah; klaim itu bisa diterima syariat atau tidak?”
“Sayang, kelompok sempalan yang 5 persen ini cukup mewarnai keadaan dunia sekarang ini. Keadaan dunia (sekarang) sedang dikuasai oleh orang-orang yang tidak Islami,” kata beliau, seraya menambahkan bahwa yang menguasai keadaan itu bukan para penganut agama lain, tapi orang-orang yang tidak beragama, tidak menyembah Tuhan, alias hanya menyembah diri sendiri dan setan.
“Ini sebagaimana disinyalir Rasulullah saw bahwa inilah saat-saat mendekati akhir zaman, ketikaDajjal dan para pengikutnya mencengkeramkan kukunya menguasai dunia,” tegas beliau. Mereka inilah, lanjutnya, yang hobi mengadu domba antar umat beragama.“Mereka senang kalau melihat Muslimin dan Nasrani berkelahi,” ujarnya.Mereka juga, lanjut beliau, yang mengatur bagaimana agar Muslimin dan Hindu juga berkelahi seperti yang sering terjadi di India, Pakistan, dan Bangladesh.
Bahkan mereka juga yang mengadu-domba sesama penganut Nasrani, antara Katolik dan Protestan, seperti di Irlandia.“Begitu pula terhadap Islam.Mereka mengobok-obok kita!” tandasnya.
“Nah, kenapa kelompok sempalan yang cuma 5 persen mewarnai dan mengobok-obok dunia Islam?Ya, tadi itu, karena yang sekarang berkuasa adalah orang-orang yang tidak menyembah Tuhan, tidak beragama,” ujar beliau. Bisa disaksikan, lanjutnya, bagaimana sepak terjang mereka, termasuk mengekspos kelompok (sempalan) yang 5 persen itu, baik yang radikal maupun liberal, diangkat dan dimasukkan ke tubuh kita (kaum Muslimin).
Dan Ahlussunah wal Jamaah menjadi kelompok yang paling banyak digojlok, kenapa?“Karena mayoritas.Masuk ke situ kelompok-kelompok radikal dengan berbagai variannya, seperti ISIS.Kalau di Afrika Tengah adalah Boko Haram (Nigeria) dan Ansharuddin (Mali) yang pada November 2012 lalu menghancurleburkan makam para auliya di Timbuktu, Mali; makam indah yang didirikan abad ke-13,” jelas KH Toto.
Selanjutnya, beliau menegaskan bahwa perbedaan mazhab di Indonesia sedari dulu bukan masalah. “Laksamana Cheng Ho, misalnya, yang bermazhab Hanafi, begitu masuk ke Nusantara, rela meninggalkan mazhabnya dan berpindah ke [mazhab] Syafi’i.”
Begitu pula dengan para pendakwah Syiah yang leluasa mempraktikkan budayanya di sini.“Tabuik, misalnya; Itu budaya Syiah dan no problem karena Sunni dan Syiah itu bersaudara,” tegasnya lagi.
Tapi, lain dulu, lain sekarang.“Anak-anak sekarang, baru belajar di Arab Saudi beberapa tahun, datang ke sini ingin me-Wahhabi-kan Bogor.Atau belajar beberapa tahun di Qum, datang ke Indonesia ingin membuat Indonesia menjadi Syiah,” tuturnya.
“Hukum apa yang berlaku di sini?Hukum kesopanan, adab,” ujarnya mengingatkan.Bukan masalah Syiah salah atau Wahhabi salah, Ja’fari salah atau yang lain salah, kata beliau, karena dalam dunia ijtihad, tidak ada yang salah.“Semuanya benar, meskipun nisbi; ini masalah adab yang jika dilanggar akhirnya terjadi konflik horizontal.”
“Maka, marilah kita mengusung ukhuwwah Islamiyyah; marilah kita mengusung persaudaraan Islam; marilah kita menganggap selamaahlul qiblah, selama masih menganggap Rasulullah sebagai bagindanya, selama masih memegang al-Quran sebagai kitab sucinya, maka itu adalah saudara kita!” pungkasnya.
Beliau selanjutnya menyerukan untuk tidak seenaknya menyalah-salahkan, menuding sesat, kafir, dan sebagainya kepada pihak lain. “Sampai detik ini saya tidak pernah mengikuti seminar atau apapun yang berupaya menyatakan bahwa golongan anu sesat, kelompok itu kafir. Alhamdulillah… Mudah-mudahan Allah merahmati umat Muhammad ini,” ujarnya.
Sebagai penutup ceramahnya, beliau sempat menceritakan kunjungannya beberapa waktu lalu ke makam Sayyidah Fathimah Ma’shumah di Qum, Iran.“Makam yang luar biasa!Begitu saya masuk ke makam itu, saya merasakan sedotan magnit spiritual yang luar biasa.Belum pernah saya menangis saat ziarah sehebat itu kecuali sebelumnya di makam Rasulullah saw,” tuturnya.
Senada dengan beliau, Ust. Nashruddin Latif selaku penceramah berikutnya, menyoroti tentang kekayaan kultur keislaman di Tanah Air. “Mungkin di antara sekian kekayaan dan pesona peradaban umat Islam yang tidak akan selesai untuk kita pelajari itu hanya di Repubik Indonesia,” ujarnya.
Beliau menegaskan, ada pelbagai macam pemikiran, budaya, dan ekspresi keislaman di sini.“Sampai-sampai para peneliti Eropa atau Barat paling suka kalau meneliti tentang Islam di Indonesia.Gak ada habisnya.”
Namun, pelbagai dinamika itu menjadikan pula [kelompok-kelompok Muslim] satu sama lain begitu bersemangat untuk mengklaim “kami paling benar.” “Padahal, Allah dan Rasul-nyalah yang paling benar,” tegas cucu dari ulama besar yang juga pejuang asal Bogor, KH Elon Suja’iy ini.
Menegaskan kembali ucapan KH Toto, beliau menyatakan, “Selama Allah-nya sama, masih menyebut Allah dengan pelbagai varian asma-Nya, selama Rasulnya sama, yaitu Muhammad Rasulullah saw, selama Qur’annya sama, selama shalatnya masih menghadap kiblat ke Ka’bah, kita semua adalah Muslim.”
Adapun bagaimana mengekspresikan mahabbah (kecintaan) kepada Allah dan Rasul, lanjutnya, tergantung masing-masing, karena di situlah pancaran rahmat Allah dan Rasul-Nya. “Ketika Anda melihat Allah dan Rasul-Nya dari sebelah utara, jangan pusingkan orang lain yang melihatnya dari sebelah selatan; fastabiqul khayrat [saja],” tegas beliau.
Selanjutnya, kyai muda yang sehari-haru mengasuh pondok pesantren kenamaan di wilayah Bogor, Darul Ulum, ini menegaskan, “Jangan sibukkan hati kita dengan aib orang lain, tapi sibukkanlah dengan melihat [kekurangan] diri kita sendiri, juga dengan Allah dan Rasul-Nya. Mahabenar Allah ketika mengingatkan kita: wa’tashimu bihablillahi jami’an wala tafarraqu.”
Maksudnya, lanjut beliau, “Berpegang teguhlah dengan tali Allah yang menyambungkan kita semua dengan Allah.Tapi jangan berebut tali ke atas karena tali itu sudah dijulurkan Allah ke bumi ini, dari pintu mana saja.Jangan berebut pintu menuju Allah karena Allah sudah persiapkan ribuan pintu menuju kepada-Nya.”
“Yang penting adalah wihdatul ummah, persatuan umat; hari ini kita ditakdirkan Allah hidup di negeri Indonesia; kemudian kita ditakdirkan Allah menjadi Muslim; ditakdirkan Allah masih bisa baca Qur’an dan shalat; mengapa kita tidak mensyukuri saja semua itu?” imbau ustaz yang pernah mengenyam kuliah di IAIN Jakarta ini. Kita kembali kepada Allah secara bersama-sama dan tidak saling berebut pintu (saling klaim paling benar), lanjut beliau, lewat shirat-Nya yang telah diberikan Allah kepada kita, dengan baginda Rasulullah saw sebagai nakhodanya.
Juru dakwah yang aktif sejak era 90-an ini kemudian mengajak umat Islam untuk bersatu dalam rahmat Allah, dalam persaudaraan Islam, menuju Allah, bersama nakhodanya, baginda Rasulullah saw. “Selesai?Ternyata tidak karena ada orang yang punya intrik tidak baik dengan sengaja memprovokasi umat Islam dengan dalih apapun,” katanya mengingatkan.
Orang seperti inilah, lanjut beliau, yang harus diwaspadai, yang membuat umat Islam saling pukul, saling tendang, saling sikut.“Apalagi dengan mengatasnamakan sesuatu; ini yang berbahaya,” tegasnya.Karena itu, “Tanggalkan jubah dan sorban kalian, dan marilah kita bersama-sama menuju Allah,” serunya.
Beliau juga menyatakan bahwa siapapun yang ber-mujahadah menuju jalan Allah, maka Allah akan berikan dari pintu mana ia bisa mendatangi Allah Swt. “Kalau jemaah cinta pada Ahlul Bait, ikut akhlak mereka. Jangan mengaku mahabbah kepada Ahlul Bait tapi akhlak kalian seperti penguasa Yazid la’natullah ‘alayh,” tegasnya lagi.
“Yang harus dijaga baik-baik adalah adab dan tatakrama.Termasuk kaum salafi (Wahhabi) yang mengklaim punya kapling sendiri di surga. [Kayaknya mereka] belajar dari Abu Lahab atau Abu Jahal, karena orang Arab ada yang keturunan Nabi saw, ada juga yang keturunan Abu Jahal,” tuturnya.
Akhlak yang rusak dan hancur [semacam itulah], lanjut beliau, yang merusak wihdatul ummah.“Ingat, anak-anak muda jangan mudah dipanas-panasi, dan para orang tua jangan sok memanas-manasi yang muda.Orang Islam di Bogor dari dulu tenang dan tentram, walaupun berbagai macam pemikiran dan ekspresi keagamaan ada di sini,” katanya mengimbau.
“Yang patut dicontoh adalah Rasulullah saw dan para auliya; merekalah yang menghantarkan kita kepada Allah Swt,” ujar beliau, yang kemudian menutup ceramahnya dengan mengutip ungkapan Mama Abdullah bin Nuh, “Ana laysa syi’i wa la sunni, wa nahnu Muslimun(saya bukan Syiah dan bukan Sunni, tapi kami adalah Muslimin).” (YR/Yudhi)