Berita
Matikanlah Syahwatmu dengan Kezuhudan
Untuk dapat bertahan hidup, manusia dilengkapi dengan sarana tertentu seperti keinginan-keinginan (syahwat) terhadap harta, makanan, pakaian, tempat berlindung, kendaraan, posisi-posisi sosial dan dorongan-dorongan seksual. Jika manusia tidak memiliki dorongan-dorongan fitri ini, maka manusia tidak akan mencapai kesempurnaannya.
Namun jika syahwat-syahwat atau keinginan-keinginan ini melebihi status sarana dan keadilan dan menjadi tujuan-tujuannya sendiri, maka tidak diragukan, semuanya itu akan mengakibatkan kerugian-kerugian yang tidak dapat diganti dan akan membawa kita menuju yang terendah dari yang rendah. Walaupun Islam menganggap hal-hal yang dicintai seorang manusia seperti hasanah (kebaikan) dan perhiasan dari Allah, Islam mencela orang-orang yang terlalu tertarik terhadap dunia.
Untuk alasan ini, Islam mengemukakan prinsip etika ketakwaan untuk mengontrol ketertarikan yang berlebihan terhadap beragam nikmat dari dunia ini. Melalui kebijakan ini, Islam mengekang tuntutan-tuntutan dan hawa nafsu berlebihan manusia dari satu sisi. dan menjinakkan atau melemahkan semangat agresifnya, di sisi lain hingga ke tingkatan di mana seorang manusia akan berkata, sebagaimana yang Imam Ali katakan, “Apa yang Aku harus lakukan dengan kekayaan dan kesenangan yang bersifat sementara dan tidak abadi? ” dan akan setuju dengan apa yang Hafiz katakan, “Akulah budak bagi orang yang berjiwa besar itu, yang merdeka dari apapun yang dimiliki.”
Kata zuhud bermakna tidak memiliki hasrat dan meninggalkan sesuatu. Masalah yang harus dikaji di sini adalah apakah esensi zuhud itu sama seperti kehidupan kerahiban yang ada di kalangan kaum Kristen, Budha dan beberapa umat lain? Namun, apa filosofinya kezuhudan dalam Islam?
Secara pasti, zuhud dalam Islam tidak mengandung makna sama dengan kehidupan kerahiban. Dari sudut pandang logika Islami, segala aspek kehidupan, yang meliputi kekayaan, perempuan, pakaian, makanan dan posisi-posisi sosial dan sebagainya, hanya merupakan sarana bagi kesempumaan manusia. Jika semua ini digunakan secara normal, tidak hanya dunia orang-orang lain yang akan terbangun, tetapi akhirat juga yang akan terbangun, ini karena (sebagaimana Allah Swt berfirman), “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qasas: 77)
Sesungguhnya, dari sudut pandang Islam, segala sesuatu di dunia ini adalah baik dan Allah tidak menciptakan sesuatu apapun yang buruk. Demikianlah, dunia dan segala kenikmatannya tidaklah buruk. Suka kepada dunia ini tentu saja diberikan kepada manusia.
Atas dasar fakta-fakta ini, kita dapat melihat bahwa Al-Quran mengecam cara hidup kerahiban dan mengakuinya sebagai salah satu inovasi atau bid’ah para yang secara salah mengemukakan eksistensi tentang keburukan dalam penciptaan, serta konflik di antara dunia ini dan akhirat, dan Rasulullah saw menolak konsep kerahiban secara eksplisit.
Syeikh Qurbani Lahiji, “Risalah Sang Imam, Ajaran Etika Ali bin Abi Thalib”