Berita
#MaknaHaji: Sumpah Setia dan Hajar Aswad
Pembahasan Sebelumnya #MaknaHaji: Tawaf
Prosesi tawaf harus dimulai dari lokasi Hajar Aswad. Di sini engkau memasuki sistem alam semesta. Engkau menyatu dengan orang lain dan berbaur di tengah mereka laksana setetes air yang memasuki samudra. Inilah cara untuk bertahan hidup, cara untuk menemukan ‘orbit’-mu. Jika engkau tidak menyatu dengan ummah, engkau tidak akan mampu menjalani orbit ataupun mendekati Allah Yang Mahakuasa.
Pertama, dengan menggunakan tangan kanan engkau harus menyentuh atau menunjuk ke Hajar Aswad. Kemudian engkau harus bersegera membaur di tengah ummah. Melambangkan apakah batu ini? Ia melambangkan tangan (tangan kanan). Tangan siapa? Tangan kanan Allah! masa lalu, individu-individu dan suku-suku bangsa mengadakan perjanjian dengan kepala-kepala suku lainnya. Hal ini dilakukan untuk menjamin pemeliharaan dan kelangsungan hidup mereka di gurun pasir. Perjanjian tersebut dikenal sebagai sumpah setia. Bagaimana sumpah setia itu dilakukan?
Individu yang terlibat harus mengulurkan tangan kanannya untuk berjabatan dan menggenggam tangan kanan individu lainnya yang menandakan bahwa kini ia menjadi sekutunya. Secara otomatis berarti bahwa janji setia sebelumnya batal.
Di Hajar Aswad, pada saat pemilihan, engkau harus memilih jalan, tujuan, dan masa depanmu. Ketika bersatu dengan ummah, engkau harus berjabatan tangan dengan Allah yang mengulurkan tangan kanan-Nya, dengan cara demikian engkau bersumpah untuk menjadi sekutu Allah. Engkau akan bebas dari seluruh perjanjian sebelumnya; engkau tidak akan lagi menjadi sekutu dari kaum penguasa, hipokrit (munafik), kepala suku, raja-raja di bumi ini, kaum aristokrat Quraisy, para tuan tanah, ataupun uang. Engkau bebas!
Tangan Allah di atas tangan mereka. (QS. al-Fath: 10)
Sentuhlah tangan Allah. Dia lebih kuat dari siapa pun yang telah menjabat tanganmu dalam janji setia sebelumnya!. Karena kini statusmu bebas (setelah menjabat tangan Allah dan mempertegas kembali “janji awal”mu kepada-Nya), maka engkau wajib menyatu dengan ummah. jangan berhenti, teruslah bergerak. Engkau harus menemukan dan memilih ‘orbit’-mu. Masukilah sistem dan bergeraklah bersama orang-orang lain. Ketika engkau tawaf dan bergerak mendekati Ka’bah, engkau merasa bagaikan sebuah selokan kecil yang menggabungkan diri ke dalam sebuah sungai besar. Engkau tidak dibawa oleh kakimu tapi oleh gelombang sehingga tercerabut dari tanah. Tiba-tiba engkau mendapati dirimu mengapung dan terbawa arus ini.
Begitu engkau mendekat ke tengah, desakan lautan manusia “menghimpitmu begitu kuat sehingga engkau diberkati dengan kehidupan baru. Kini engkau menjadi bagian dari ummah, kini engkau seorang manusia yang hidup dan abadil. Engkau tidak bergerak “sendirian” tetapi ‘bersama orang lain’. Engkau menyatu dengan mereka bukan ‘secara diplomatis’ tapi ‘dengan Cinta’.
Saksikanlah Allah yang disembah Ibrahim. Dengan menghubungkan dirimu dengan Diri-Nya berarti Allah menghubungkan dirimu dengan yang lain-lainnya. Dengan cara yang begitu dalam, lembut dan cantik Dia menghubungkan dirimu kepada ummah melalui daya tarik kekuatan cinta-Nya. Walaupun engkau berada di sini untuk menyaksikan Allah, namun ternyata dirimu disibukkan dengan ummah. Allah telah mengundangmu dari tempat yang jauh untuk datang ke rumah-Nya sebagai tamu pribadi, tapi kini Dia menyuruhmu untuk menyatu dengan ummah. Engkau tidak usah memasuki rumah-Nya, tidak usah juga berhenti dan menatapnya. Engkau harus terus tawaf, tetap bahu-membahu dengan ummah. Ka’bah hanyalah pusat orlit; oleh karena itu, jika engkau berhenti, berganti posisi, atau memutar kepala, maka engkau ‘keluar’ orbit. Sekali lagi, jangan berhenti dan jangan berjalan ke kanan atau ke kiri. Kiblat berada di hadapanmu, pandanglah ke depan dan terus maju.
Daya tarik Matahari Dunia (Ka’bah) menyebabkan engkau berada di dalam orbitmu. Engkau telah menjadi lagian dari sistem yang universal ini. Ketika tawaf mengelilingi Allah maka engkau akan segera melupakan dirimu sendiri. Yang ada adalah cinta dan daya tarik; engkau hanyalah salah seorang dari umat manusia yang ‘tertarik’.
Beberapa kali berputar maka yang kau saksikan hanyalah ‘Dia’. Engkau adalah manusia tak berarti yang merasakan eksistensi-Nya dan sekaligus juga eksistensi yang tidak merasakan sesuatu apa pun juga. Ketika mengelilingi Ka’bah engkau bagaikan sebuah partikel dalam gerakan sirkular yang merupakan orbit, gerakan, tawaf dan haji. Namun demikian, semua ini merupakan simbol-simbol Allah. Engkau berada dalam posisi ‘pasrah diri’.
Setelah terbebas dari dirimu maka engkau pun mendapat bentuk baru sebagai sebuah ‘partikel’ yang lambat laun lebur dan lenyap. Pada puncaknya adalah cinta yang mutlak dan engkau adalah penghamba cinta. Andaikan cinta harus digambarkan dengan gerakan maka seperti apa gerakannya? Simpel sekali, yang paling tepat mengekspresikan gerakan cinta adalah gerakan seekor kupu-kupu. Singkatnya, bisa dikatakan bahwa Ka’bah adalah pusat cinta sedangkan engkau adalah jarum kompas yang berputar di sekelilingnya.
Hajar adalah seorang teladan kemanusiaan. Allah, Sang Kekasih Yang Agung dan Sekutu Terbesar manusia, memerintahkan Hajar untuk meninggalkan rumahnya bersama anaknya yang masih menyusu. Ia harus pergi ke lembah Makkah yang menakutkan dan di sana tidak dapat tumbuh pepohonan, sekalipun pohon widuri. Karena cinta kepada Allah, maka ia mengerti dan mengikuti perintah ini. Kelihatannya memang aneh karena seorang wanita yang kesepian ditemani anak satu-satunya dibuang ke tengah lembah pegunungan berapi yang meski sudah tidak aktif namun menyeramkan. Tanpa air! tanpa tempat bernaung! tanpa siapa pun! tapi mengapa harus demikian?
Semua ini karena Allah menghendaki adanya kepasrahan mutlak kepada-Nya. Alasan ini tidak dapat dipahami oleh nalar kita dan juga tidak logis. Air sangat diperlukan agar bertahan hidup, sang bayi membutuhkan susu, seorang laki-laki membutuhkan teman, seorang wanita membutuhkan pelindung, dan seorang ibu membutuhkan pertolongan. Ini memang benar, namun cinta dapat menggantikan semua kebutuhan tersebut. Seorang manusia dapat hidup dengan cinta jika rohnya mengenal cinta. Duhai sahaya yang kesepian, ibu tak berdaya yang sedang menyusui, engkau dan anakmu , harus bergantung pada Allah, merasa aman bersama Kekasih, bergantunglah kepada-Nya!.
Ali Syariati