Berita
#MaknaHaji: Pengorbanan Ismail [bag 1]
Pembahasan sebelumnya #MaknaHaji: Dialog antara Bapak dan Anak
Anakmu yang sangat disayang, buah kehidupanmu, kesenanganmu, yang menjadi alasan keberadaanmu, makna dari eksistensimu. Aduhai Ismailmu, rebahkan Ismail seperti seekor kambing dan berikan dia sebagai korban, pegang tungkainya di bawah kakimu agar ia tidak melarikan diri. Tahan kepalanya dengan cara memegang rambutnya, potong urat arterinya sambil tetap menahan di bawah kakimu sampai engkau merasa ia tidak dapat bergerak lagi. Kemudian, berdirilah dan tinggalkan dia sendirian. Wahai manusia yang patuh dan hamba Allah! Ini adalah yang Tuhan inginkan darimu. Inilah panggilan keyakinanmu, spirit pesanmu. Inilah pertanggungjawabanmu, wahai manusia yang bertanggungjawab! Wahai bapak Ismail!.
lbrahim mempunyai dua alternatif: mengikuti jeritan hatinya dan menyelamatkan Ismail, atau mengikuti perintah Tuhan dan mengorbankan Ismail. Ia harus memilih salah satu! ‘cinta’ dan ‘kebenaran’ sedang berkecamuk dalam batinnya (cinta yang merupakan kehidupannya dan kebenaran yang yang merupakan keyakinannya. Seandainya Allah meminta agar ia mengorbankan dirinya sendiri, bukan Ismail, maka akan jauh lebih mudah untuk menentukan Pilihan. Ibrahim telah menyerahkan hidupnya karena Allah dan inilah sebabnya ia merasa sudah ‘mematuhi’ Allah. Namun ketahuilah bahwa ini adalah sikap ‘suka mementingkan diri sendiri dan merupakan ‘kelemahan’ dirinya. Apa yang baik dan indah menurut kalangan tertentu dianggap buruk dan jahat menurut seorang manusia terhormat seperti Ibrahim. Ia adalah manusia yang paling dekat kepada Tuhan.
Wahai Ibrahim, ‘Serahkanlah Ismailmu’! Kalau engkau ‘ragu-ragu’ maka sesungguhnya sikap tersebut dapat mencelakakan dan berbahaya bagimu! Akibat sikap ragumu itu maka engkau mencari perlindungan dengan melakukan ‘penjelasan dan pembenaran’. Demikianlah yang terjadi manakala hatimu membenci tapi agamamu mencinta. Rasa ‘tanggung jawabnya’ menghendaki dia memasrahkan anaknya, namun sangatah sulit untuk melakukannya. Ia berusaha mencari cara untuk menghindar. Hal yang lebih buruk dari penafsiran, yang salah adalah ‘penjelasan’ yang benar (yakni menyandarkan pada satu ‘fakta’ dan menolak fakta lainnya). Dan yang lebih mencelakakan lagi adalah apabila ‘kepalsuan’ memiliki pedang kearifan di tangan yang satu dan perisai agama di satunya lagi.
“Korbankan Anakmu Ismail, bagaimana caranya aku dapat mengetahui makna dari perintah ini? Bagaimana aku bisa yakin bahwa kata ‘korbankan’ tidak mempunyai makna kiasan seperti “korbankan jiwamu” yang berarti jangan menjadi budak nafsumu dan hindari godaannya! Bagaimana aku mengetahui bahwa kata ganti ‘mu’ dalam ‘Ismailmu’ itu menunjuk kepada diriku dan akulah penerima seruan tersebut? Mengapa ini bukan seruan kolektif yang memiliki arti kiasan sebagai seruan individual? Bagaimana aku tahu bahwa yang dimaksud ‘Ismail’ adalah ‘Ismail anakku’ dan kata ini bukan lagi kata kiasan? Bagaimana aku tahu bahwa dari segi tata bahasa, dalam ungkapan ‘mengorbankan Ismail’, maka Ismail bukan kata benda dalam kasus genitif yang menggantikan kata benda yang menentukan genitif dan kata yang terakhir ini dihilangkan? Hal ini sangat sering terjadi dalam bahasa Arab dan juga dalam Alquran. Misalnya, ‘tanyakan kampung itu’ artinya ‘tanyakan penduduk kampung itu dan di sini ‘korbankan Ismail’ berarti ‘berkorban’ demi kecintaan terhadap Ismail.
Baiklah kita anggap saja semua kemungkinan ini mustahil; tidak satu pun makna tadi benar dan perintah tersebut dipahami oleh setiap orang sesederhana seperti adanya. ‘Korbankan anakmu Ismail’, bagaimana aku tahu perintah ini harus segera dilaksanakan? Tidak ada batas waktu untuk perintah ini seperti halnya suatu hukum tertulis. Tugas kearifanlah untuk memilih waktu dengan memperhitungkan berbagai kondisi, politik, kemungkinan dan potensi. Alquran menganjurkan untuk turut serta dalam perang suci (jihad) tapi waktu pelaksanaan dan bentuknya tergantung pada kondisi yang dipertimbangkan oleh kearifan. Contoh lainnya adalah hadis yang menyuruh kita untuk menuntut ilmu pengetahuan.
“Menuntut ilmu pengetahuan adalah kewajiban setiap Muslim laki-laki dan perempuan.”
Tidak ada yang dipaksa untuk menuntut ilmu pada suatu waktu tertentu; meskipun kita menuntutnya pada saat-saat menjelang ajal, kita telah menaati perintah menuntut ilmu pengetahuan dan melaksanakan kewajiban kita. Contoh lain adalah ibadah haji yang merupakan kewajiban setiap Muslim. Banyak orang yang menunggu untuk menunaikan ibadah haji sampai mereka sudah merasa cukup leluasa secara materi; sesudah itu barulah mereka mengambil keputusan untuk menunaikan ibadah haji. Ibadah haji adalah kewajiban yang dapat ditunaikan pada musim haji kapan pun. Kaum beriman menganggap ibadah haji adalah pertanggungjawaban untuk kehidupan akhirat mereka, bukan untuk kehidupan di dunia ini. Mereka berpendapat bahwa sebagian besar hukum keagamaan itu adalah untuk mendapatkan karunia dan ampunan di akhirat nanti, bukan untuk memperoleh kemajuan, pendidikan, dan kesempurnaan dalam kehidupan di dunia ini.
Dari sudut metodologis, bagaimana aku dapat mengetahui bahwa kalimat bernada perintah ‘korban kanlah Ismailmu’ ini bermakna keharusan dan bukan anjuran? Mungkin sekali itu adalah sebuah anjuran. Kalimat ini tidak sama dengan seruan ‘dan berikanlah zakat kepada kaum miskin’ yang mengharuskan setiap orang untuk memberikan kepada orang yang membutuhkan bagian dari haknya. Seruan ini menyerupai bunyi ayat Alquran:
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah: 188)
Memakan hak orang lain secara tidak sah adalah perbuatan yang tercela di mata Tuhan. Allah melarang perbuatan tersebut dan menurunkan ayat ini agar menjadi petunjuk bagi kita. Bentuk perintah ini yang merupakan wahyu adalah untuk mengingatkan kita agar hendaklah kita menilai berdasarkan kearifan kita.
Jika kita mengabaikan semua penjelasan dan penafsiran tersebut di atas, maka sudah jelas dari perintah-Nya bahwa Tuhan Yang Mahakuasa bermaksud mengingatkan kita bahwa kecintaan terhadap seorang anak tidaklah ada artinya. Demi kebenaran maka engkau harus melepaskan segala kepentingan yang menguasai pikiranmu dan menghalangimu dari berkomunikasi dengan Tuhan. Karena kecintaan Ibrahim terhadap Ismail telah menyibukkannya sehingga menyebabkan ditiup lupa terhadap tanggung jawab, maka Allah memerintahkan Ibrahim untuk ‘mengorbankan Ismail’ agar ia berserah total terhadap kehendak Allah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ‘mengorbankan Ismailmu berarti mengorbankan kesenangan dan kecintaan terhadap Ismail. Makna hakiki yang sama dapat diperoleh dari ayat Alquran berikut:
Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah cobaan. (QS. al-Anfal: 28)
Menurut berbagai penjelasan, ayat, kisah, penilaian sains metodologis, dan rasionalisasi untuk semua tujuan yang baik, maka membunuh manusia adalah suatu perbuatan dosa. Kita tidak bisa mengaitkan perintah sekejam itu kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Agung.
Ya, penjelasan untuk menemukan jalan keluar digunakan apabila merasa sulit untuk menerima kenyataan, dan apabila harus menerima tanggung jawab yang bertentangan dengan keinginan dan harapan. Apabila ‘fakta’ dan ‘keadilan’ hanya sekadar menjadi ‘penonton kehidupan’ maka akan banyak manusia yang berbicara tentang keadilan dan hak-hak manusia. Mereka akan melakukan pembenaran dengan melakukan beberapa perbuatan baik dalam rutinitas kehidupan sehari-hari, melanjutkan bisnis mereka dan menjalani kehidupan yang bahagia tanpa gangguan. Apabila fakta dan keadilan sesuai dengan kehidupan, maka keduanya digunakan sebagai modal, alat, popularitas, pangkat, pekerjaan, dan lisensi hidup. Orang-orang tidak hanya berbicara tentang keadilan, tapi juga menganggap dirinya saleh dan ingin melayani orang lain.
Tapi apabila kebenaran bertentangan dengan kehidupan sehari-hari mereka, maka pendukung kebenaran dan keadilan akan berada dalam kesulitan dan bahaya. Ia harus memikul tanggung jawab yang sangat berat, mencari jalan di kegelapan malam disertai serangan badai dan menghadapi segala rintangan dan perangkap. Semakin jauh ia berjalan di jalan ini, semakin sedikit sahabat yang menyertai sampai akhirnya ia ditinggalkan bersama segelintir sahabat atau bahkan sama sekali tanpa sahabat. Ia harus meninggalkan apa pun dan siapa pun yang akan menghambat jalannya, terutama mereka yang hidup dalam gelapnya penindasan dan terbiasa dengan keadaan itu.
Allah Yang Mahakuasa menyuruhmu untuk mengorbankan hidupmu dan kecintaanmu dan berjalan terus, namun godaan setan memaksamu untuk tidak melaksanakannya dan mengikuti bujukannya. Bagaimana caranya? Melalui penjelasan-penjelasan! yakni dengan cara mengubah keyakinanmu untuk memenuhi berbagai tuntutan duniawi. Melalui penjelasan tersebut engkau tidak akan dituduh sebagai orang yang tidak beriman atau menentang Tuhan dan tidak loyal kepada manusia. Di sini ‘penjelasan’ berarti menyatakan kepalsuan sebagai kebenaran. Engkau boleh menyebut penjelasan itu sesukamu, baik itu penjelasan sosial, moral, ilmiah, psikol0gis, dialektika ataupun intelektual. Apa bedanya? Tetapi dalam ibadah haji dan dalam biografi Ibrahim yang agung dan senantiasa menang dalam segala cobaan, jujur, saleh, tulus hati, dan berjihad untuk mempertahankan “kebenaran mutlak”, Allah menyebut penjelasan itu sebagai “penjelasan setan”. Kearifan Ibrahim yang terang dan kuat diperlemah oleh pertanyaan-pertanyaan ini: Bagaimana aku mengetahui? Bagaimana bisa terjadi? Aku hanya mendengarkan pesan ini dalam ‘mimpi’-ku, kata Ibrahim.
Setan memperkuat “kecintaan terhadap anaknya” dalam hatinya dan membuatnya mencari-cari dalih untuk ‘melarikan diri’. Inilah jamarah yang pertama dan ia menolak untuk mengorbankan anaknya.
Bersambung…….
Ali Syariati