Ikuti Kami Di Medsos

Berita

#MaknaHaji: Memasuki Miqat dan Menjadi Satu

Pembahasan sebelumnya #MaknaHaji: Menghampiri Allah

Pertunjukan berawal di Miqat (tempat mengenakan pakaian ihram). Di sini sang aktor (manusia) harus berganti pakaian. Mengapa? Karena pakaian menutupi diri dan wataknya. Dengan kata lain, seorang individu tidak mengenakan pakaian, tapi pakaianlah yang menutupi dirinya.

Pakaian melambangkan pola. Preferensi, status, dan perbedaan. Semua itu menciptakan ‘batas-batas’ palsu yang menyebabkan “pemisahan” di antara manusia. Sebagian besar “pemisahan” yang terjadi di tengah manusia melahirkan “diskriminasi.” Maka selanjutnya munculah konsep ‘aku’, bukan ‘kita’. ‘Aku’ digunakan dalam konteks rasku, kelasku, klanku, golonganku, jabatanku, keluargaku, nilai-nilaiku, dan bukan ‘aku‘ sebagai manusia.

Begitu banyak ‘batas’ tercipta dalam kehidupan kita. Anak-cucu Kabil (anak Adam as. yang durhaka) algojo-algojo dan manusia-manusia lalim telah memporakporandakan keluarga Adam dan kesatuan umat manusia ke dalam berbagai kelompok dan akibatnya terciptalah hubungan-hubungan seperti ini di tengah umat manusa.

Tuan dengan hamba, penindas dengan yang tertindas, penjajah dengan yang terjajah, pemeras dengan yang diperas, yang kuat dengan yang lemah, yang kaya dengan yang miskin, yang kekenyangan dengan yang kelaparan, yang terhormat dengan yang terhina, yang suka dengan yang duka, kaum ningrat dengan rakyat jelata, yang beradab dengan yang tidak beradab, bangsa Barat dengan bangsa Timur, orang Arab dengan orang non-Arab, dan seterusnya.

Umat manusia dibagi ke dalam berbagai ras, bangsa, kelas, subkelas, golongan, dan keluarga. Masing-masing memiliki status dan nilai, nama dan kehormatannya sendiri-sendiri. Untuk apa semua itu? Hanya untuk menunjukkan ‘perbedaan diri’ di balik tebalnya “make up”.

Sekarang, tanggalkan pakaianmu dan tinggalkanlah di Miqat, kenakan kain kafan yang terdiri dari kain putih polos. Pakaian yang engkau kenakan itu sama seperti pakaian yang dikenakan orang lain. Lihatlah, betapa keseragaman terjadi. Jadilah sebuah partikel lalu ikutilah massa, dan jadilah laksana setetes air yang larut ke dalam samudra.

Jangan bersikap angkuh karena engkau di sini bukan untuk mengunjungi seorang manusia, tapi bersikaplah rendah hati karena engkau akan menjumpai Allah. Jadilah orang yang menyadari kematiannya atau makhluk hidup yang merasakan eksistensi dirinya.

Di Miqat, tidak peduli dari ras atau suku apa pun, engkau harus mengangkat semua penutup yang engkau kenakan dalam kehidupanmu sehari-hari di mana engkau bagaikan:

Serigala (lambang kekejaman dan penindasan)

Tikus (lambang kelicikan)

Rubah (lambang tipu daya)

Atau domba (lambang penghambaan)

Tinggalkan semua tutup ini di Miqat dan tampakkanlah bentuk aslimu sebagai “manusia”, sebagai seorang “Adam’ karena akan begitulah saat engkau mati kelak.

Bungkus dirimu dengan dua helai kain. Satu helai menutup pundakmu dan satu lagi melilit pinggangmu. Jangan menggunakan model atau bahan khusus, cukup dari kain yang benar-benar polos dan sederhana. Setiap orang mengenakan pakaian yang sama, yakni pakaian ihram. Tidak tampak sedikit pun perbedaan penampilan.

Kafilah-kafilah dari seluruh penjuru dunia yang berjalan menuju prosesi haji akan berkumpul di Miqat, dan semuanya bertemu pada saat dan tempat yang sama.

Dalam perjalanannya menuju Allah, manusia tidak hanya sebagai manusia tapi ia harus menjadi manusia.

Dan kepada Allah-lah engkau mengadakan perjalanan. (QS. an-Nur: 42)

Sungguh menakjubkan! Segala sesuatu bergerak masing-masing berevolusi, mengalami mati dan hidup, hidup dan mati, mengalami berbagai kontradiksi, perubahan, dan pengarahan.

Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya. (QS. al-Qashash: 88)

Dan Allah adalah yang “mutlak”, hidup, sempurna dan abadi.

Setiap waktu Dia menjalankan kekuasaan ( yang universal). (QS. ar-Rahman: 29)

Ibadah haji juga merupakan sebuah gerakan manusia memutuskan untuk kembali kepada Allah. Semua ego dan kecenderungan yang mementingkan diri sendiri dikubur di Miqat (Zuhalifah). Ia menyaksikan mayatnya sendiri dan menziarahi kuburannya sendiri. Dengan peristiwa ini ia diingatkan kepada tujuan akhir kehidupannya yang sejati. Ia mengalami kematian dan kebangkitan kembali di Miqat yang kemudian harus melanjutkan misinya menembus teriknya gurun pasir antara Miqat dan Mi’ad.

Pemandangan yang terjadi laksana hari pengadilan. Dari satu cakrawala ke cakrawala lainnya yang tampak hanyalah ‘banjir manusia yang berpakaian warna putih’. Semua orang mengenakan kain kafan sehingga tak seorang pun dapat dikenali. Jasad-jasad ditinggal di Miqat dan kini yang bergerak hanyalah roh-roh. Gabungan besar umat manusia ini tidak dibeda-bedakan oleh nama, ras, ataupun status sosial, dan yang berlangsung adalah suasana kesatuan yang sejati. Ini adalah peristiwa pergelaran umat manusia tentang keesaan Allah.

Perasaan takut dan senang, panik dan terpesona. Bingung dan gembira semuanya muncul laksana partikel-partikel kecil dalam sebuah medan magnet dan Allah berada di pusatnya (kiblat). Hanya manusia yang menampakkan dirinya dan ia berada dalam posisi menghadap kepada Allah. Di gurun pasir ini semua bangsa dan golongan bergabung menjadi satu kaum. Mereka menghadap Ka’bah yang satu.

Begitu engkau menanggalkan pakaian dan segala atribut yang membedakan engkau dari orang lain sebagai individu, maka engkau pun boleh memasuki jantung kumpulan manusia. Dalam keadaan ihram, berusahalah melupakan segala sesuatu yang mengingatkan engkau akan kehidupan.

Setiap orang meleburkan diri dan mendapat wujud baru sebagai seorang “manusia”. Semua ego dan sifat individual dikubur. Kumpulan manusia ini menjadi satu bangsa atau ummah. Segala keakuan telah mati di Miqat dan yang ada kini hanyalah “kita”.

Menjelang keluar dari Mina engkau harus sudah menyatu ke dalam ummah. Inilah yang dilakukan Ibrahim dan engkau juga hendaklah berbuat seperti Ibrahim.

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang taat kepada Allah dan ia seorang hanif yang tidak menyembah berhala. (QS. an-Nahl: 120)

Akhirnya, satu adalah semua dan semua adalah satu. Semua orang sama. Masyarakat politeis (musyrik) berganti menjadi masyarakat monoteis (tauhid) atau umat tauhid. Inilah ummah atau masyarakat yang berada di atas jalan yang benar. Inilah ummah yang harus sempurna, aktif dan dipimpin oleh pemimpin Islam (Imam).

Setiap orang yang menunaikan ibadah haji telah pergi dari dirinya sendiri untuk menghadap Allah. Ia telah dibekali dengan roh Allah. Engkau telah pergi dari pengasingan menuju akhirat. Kepadamu telah ditampakkan berbagai fakta yang mutlak. Engkau telah mengatasi kebodohan dan penindasan dan kini telah diterangi oleh kesadaran dan keadilan. Engkau telah menolak politeisme dan mengambil monoteisme.

Sebelum pelaksanaan ibadah haji, masyarakat mengabaikan kualitas kemanusiaan mereka. Mereka menjadi terasing karena kekuasaan, harta, keluarga, negeri, dan ras. Mereka hidup hanya dalam konteks eksistensi semata. Akhirnya, pengalaman ibadah haji menyebabkan mereka sampai pada penemuan diri. Kini secara kolektif mereka saling merasa sebagai “satu”, dan secara individual merasa sebagai seorang “manusia”. Tidak ada perasaan lain lagi!.

Dr Ali Syariati

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *