Berita
#MaknaHaji: Masy’ar [bag 1]
Matahari terbenam di padang Arafah dan engkau pun harus pergi. Arafah lenyap dan ditelan gelapnya malam. Engkau jangan bermalam di sini tapi pergilah di saat matahari tenggelam karena semua orang telah memutuskan untuk bergerak. Bila malam tiba maka tak seorang Muslim pun terlihat. Dalam waktu singkat ‘Kota Mentari’ ini pun menghilang ke arah Barat. Lalu ke mana akan pergi? ke Masy’ar.
Engkau tidak bisa istirahat karena di setiap fase hanya berhenti sejenak lalui cepat-cepat pergi lagi. Berhenti? Jangan! Tinggal? jangan di mana pun juga! Berwukuflah selama setengah hari, semalam, atau beberapa hari. Usailah sudah! Tenda-tenda yang engkau pancang kemarin semuanya harus dicabut hari ini juga.
Dengan peristiwa ini engkau sedang diingatkan, Ya engkau, hai manusia! Engkau hidup dalam waktu singkat di bumi ini, tidak lebih. Wahai manusia, engkau hanya sesaat dalam waktu yang abadi ini. Wahai manusia, engkau bukan apa-apa. Wahai ‘gelombang’, eksistensi-mu tergantung pada gerakanmu dan engkau akan mati jika bersikap pasif.
Baca #MaknaHaji: Taqshir (Akhir Proses Sa’i)
Wahai ‘bukan apa-apa’! Engkau akan ‘sempurna bila sudah benar-benar mengambil keputusan! Wahai ‘tetes air’! Masuklah ke dalam sungai ‘manusia’ yang bergemuruh dan mengalir.
Bila engkau mengikuti orang banyak bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di monumen suci (Masy’aril Haram ). Berzikzirlah dengan menyebut nama-Nya sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu, meskipun sebelumnya engkau termasuk orang-orang yang sesat. (QS. al-Baqarah: 198)
Engkau harus sudah berada di Masy’ar menjelang senja. Manusia berjejalan saat menuruni lembah dari Arafah menuju Mina dan kemudian ke Makkah. Arafah! Ya di kota ini engkau berwukuf selama satu hari, hilang terbawa angin senja dan banjir manusia yang bergemuruh. Dalam warna pakaian dan arah yang sama, umat manusia mengelilingi Jabal Rahmah seakan takut menghadapi malam tiba. Mereka hergegas menuruni lembah dan melarikan diri dari kegelapan. Kini malam telah menyelimuti padang, Arafah.
Dan engkau yang bagaikan sebuah titik di garis ini; setetes air dan banyak tetes-tetes air lainnya, mengalir laksana banjir. Berjuanglah sebagaimana mereka yang secara mengejutkan menyerbu di kala menjelang malam dengan berbekal harapan dan keyakinan. Betapa mengejutkan! Seolah ‘Kota Mentari’ telah meleleh dibakar api Arafah. Kini, ‘kegelapan’ telah menyelimuti negeri ini bagaikan sebuah gunung berapi. Setiap orang lenyap dalam jejalan manusia. Kegelapan terasa di mana-mana, tapi apa yang harus ditakuti? jalanan padat dan aman.
Tragedi muncul bila engkau telah menemukan diri namun tersesat jalan. Mengorbankan diri di jalan yang benar merupakan upaya penyelamatan. Dan, mengorbankan diri di jalan yang benar (jalan Allah) adalah ibadah dan persembahan yang sejati. Wahai manusia, Allah sedang menunggumu di penghujung jalan ini. Ingatlah bahwa engkau sedang berada di Masy’ar (negeri kesadaran).
Alangkah sulitnya! Arafah atau simbol ‘pengetahuan’ digunakan dalam bentuk jamak sementara Masy’ar adalah bentuk tunggal. Maksudnya: Realitas bisa dijelaskan dalam berbagai cara, tapi kebenaran tetap hanya satu. Satu-satunya jalan adalah jalan orang-orang yang berjuang karena Allah.
Suatu ketika Nabi saw duduk bersama para sahabatnya. Beliau saw menggambar beberapa garis di atas tanah dengan sebatang kayu yang memetakan jalan-jalan berbeda untuk menemukan hubungan-hubungan yang ada di antara berbagai fenomena atau jalan-jalan pengetahuan dan pembelajaran.
Sains adalah penemuan berbagai fenomena yang sudah ada sebelumnya. Arafah bagaikan sebuah cermin yang memantulkan seluruh warna, desain dan pola dalam ukuran besar. Alam semesta ini bagaikan sebuah cermin yang ketika menghadapi dunia (benda-benda duniawi) ia merefleksikan ‘ilmu fisika’ dan ketika menghadapi agama ia merefleksikan ‘jurisprudensi’ (hukum). Begitulah!.
Sesungguhnya tidak ada yang namanya pengetahuan yang baik atau buruk. Yang mungkin adalah, apakah pengetahuan tersebut berguna atau berbahaya;
sedangkan menyatakan kesucian atau ketidaksucian dari pengetahuan tidaklah ada artinya. Kapan pun dan di mana pun pengetahuan tetap pengetahuan, baik bagi Muslim maupun non-Muslim, bagi manusia maupun musuh-musuhnya, bagi pengabdi maupun pengkhianat. Batas-batas hanya ada dalam kesadaran, kekuasaanlah yang akan menggunakan pengetahuan, mengarahkannya dan apakah akan berakhir secara bermoral atau tidak bermoral, damai atau perang dan adil atau tidak adil. Dalam sebuah sistem kapitalis, pengetahuan dan sains memiliki makna yang sama sebagaimana dalam sistem komunis. Para ahli fisika Nazi (fasis) sangat mengetahui tentang alam yang menjadi korban akibat ulah mereka; dan para khatib terkemuka yang pro kepada khalifah ternyata sama mengetahuinya tentang agama dengan para khatib yang dipenjarakan oleh khalifah.
Dengan demikian, yang menjadikan seseorang sebagai ‘algojo’ dan lainnya sebagai ‘syahid’, yang satu penindas dan lainnya pecinta kemerdekaan, dan yang satu korup lainnya saleh bukanlah pengetahuan tetapi kesadaran.
Pertanyaan mengenai jenis-jenis sains dan pengetahuan tidaklah relevan; tapi yang penting adalah pertanyaan mengenai jenis ‘kesadaran’. Ibadah haji merepresentasikan hal ini dengan sangat tepat sebagai ‘kesadaran suci’, yakni segala sesuatu terjaga dalam tempat perlindungan yang suci, sederhana, dan bersih
Fase pertama (Arafah) adalah kata tunggal, tapi fase kedua tidak hanya Masy’ar, melainkan disebut juga jalan ‘Masy’aril Haram’. Dan, sungguh mengejutkan, berhenti di Masy’aril Haram dilakukan pada waktu malam sementara istirahat di Arafah pada waktu siang! Mengapa berbeda? Karena Arafah melambangkan fase pengetahuan dan sains, yakni hubungan objektif antara berbagai pemikiran dan fakta-fakta dunia yang ada. Visi yang jelas sangatlah diperlukan, oleh karena itu yang diperlukan adalah cahaya (siang hari). Masy’ar melambangkan fase kesadaran, yakni hubungan subjektif di antara berbagai pemikiran. Oleh karena itu, kekuatan pemahaman dapat diperoleh dengan cara lebih berkonsentrasi dalam kegelapan dan keheningan ‘malam hari’.
Arafah adalah fase pengalaman dan objektivitas. Masy’ar adalah fase wawasan dan subjektivitas. Arafah adalah keadaan pikiran yang jauh dari penyimpangan dan penyakit. Masy’ar adalah fase kesadaran dengan tanggung jawab penuh, murni dan lurus di negeri Masy’aril Haram yang suci dan aman sebagaimana di Masjid Suci dan di bulan suci. Di tempat ini haram berbuat dosa, penyelewengaan, menghasut dan berkelahi; tak seorang pun boleh melukai binatang atau bahkan mencabut tanaman. Bumi dan langit aman dan sentosa karena manusia berada dalam kemerdekaan dan berperilaku sopan. Lingkungan seperti inilah yang dibutuhkan untuk terciptanya kedamaian. Inilah lingkungan yang bersih dan suci seperti roh, dan agung seperti alam semesta. Betapa mengejutkan, ada sebuah ‘kesadaran’yang lahir dari ‘pengetahuan’ dan sarat dengan cinta, Kesadaran ini berdekatan dengan ‘sains’ dan ‘iman’. Inilah fase antara Arafah dan Mina. Intuisi tidak membutuhkan cahaya karena ia diterangi oleh pemikiran dan mampu memecahkan setiap persoalan ‘cinta’ .
Hikmah adalah jenis pengetahuan atau wawasan tajam yang disampaikan kepada manusia oleh Para nabi dan bukan oleh para saintis ataupun filsuf. Inilah jenis pengetahuan dan kesadaran diri yang dibicarakan Islam. Hikmah tidak hanya melatih para saintis, tapi juga para intelektual yang sadar dan bertanggung jawab.
Hikmah bukanlah subjektivitas dari berbagai fenomena dan peraturan, tapi ia merupakan cahaya yang terang. Hikmah adalah jenis pengetahuan yang disampaikan kepada Nabi saw.
Allah akan memasukkan cahaya (nur) ini ke dalam hati orang yang dikehendaki-Nya.
Hikmah adalah pengetahuan mengenai petunjuk yang sempurna. Siapa pun dapat mempelajari pengetahuan tentang Arafah, tapi intuisi tentang Masy’ar adalah cahaya yang Allah mnasukkan ke dalam hati orang-orang yang dikehendaki-Nya. Siapakah mereka itu? Mereka bukan orang-orang yang bekerja demi kepentingan diri, tapi orang-orang yang berjuang demi orang lain.
Adapun bagi mereka yang berjihad untuk Kami, Kami pasti akan menunjukkan kepada mereka jalan kami. (QS.al-Ankabut: 69)
Hikmah adalah pengetahuan tentang petunjuk, kesadaran diri, pembebasan dan keselamatan. Dengan pengetahuan ini, seorang badui yang buta huruf menjadi pemimpin suku dan pemegang obor kafilah. pengetahuan (hikmah) tidak dipelajari dari buku-buku atau dipelajari di sekolah atau universitas, melainkan dipelajari di medan perjuangan dan dengan berjihad. Para pelajar yang mendapat pengetahuan ini berjuang demi kemerdekaan umat manusia dan demi Allah.
Untuk mempelajari pengetahuan ini engkau tidak perlu cahaya, karena pengetahuan itu sendiri adalah cahaya yang terang benderang. Bahkan, dengan pengetahuan ini engkau dapat melihat di malam yang gelap, seperti malam hari di Masy’aril Haram. Mengapa engkau harus takut terhadap malam dan kegelapan? Apakah engkau tidak berada di jalan yang benar? Apakah umat tidak bersama engkau? Apakah engkau tidak bersama kafilah? Tidakkah setetes air larut ke dalam sungai manusia yang serba putih? Apakah semuanya berada di jalan yang benar?
Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak. (QS. al-Baqarah 199)
Sungguh sensasional mencari senjata dalam gelapnya negeri ‘intuisi’ dan ‘perasaan’. Mengapa tidak menunggu sampai pagi? Untuk apa berjihad (perang suci)? Berhenti di Masy’ar ini maksudnya agar engkau dapat berpikir, menyusun rencana, memperkuat semangat, mengumpulkan senjata dan mempersiapkan diri untuk terjun ke medan tempur. Pada malam menjelang jihad, segala sesuatu harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi dalam kegelapan malam, dalam suatu penyergapan rahasia dan setelah itu baru menuju Mina (fase penindasan)
Engkau harus mengumpulkan senjata dalam gelap malam, namun diterangi oleh intuisi dan perasaan (intuisi yang suci) dan dengan pengetahuan yang engkau peroleh di Arafah. Tunggulah sepanjang malam; tunggulah sang matahari terbit dan saksikanlah sang pagi yang bertabur cahaya, kemenangan dan cinta di Mina.
bersambung……….
Ali Syariati