Ikuti Kami Di Medsos

Berita

#MaknaHaji: Arafah [bag 2]

Sebelumnya #MaknaHaji: Arafah [bag 1]

Peralihan dari ‘Adam di surga’ ke ‘Adam di bumi’ menunjukkan karakter dan perilaku manusia masa kini. Ia merupakan gambaran dari manusia yang suka membangkang, agresif dan suka berbuat dosa yang dipengaruhi oleh setan dan Hawa. Meskipun ia dikeluarkan dari surga, diasingkan ke bumi dan ditaklukkan oleh alam, namun Adam memakan buah dari ‘pohon terlarang’ Apa akibatnya? Adam memperoleh kearifan, kesadaran dan pengetahuan tentang pendurhaka. Dengan membuka mata dan mendapati dirinya dalam keadaan telanjang, maka Adam memasuki keadaan mengenal dirinya sendiri.

Sebagaimana dikatakan sebelumnya, turunnya manusia dari ‘Ka’bah’ ke ‘Arafah’ melambangkan awal penciptaan manusia. Saat penciptaan manusia berbarengan dengan penciptaan ‘pengetahuan’. Percikan pertama dari cinta yang memancar dalam perjumpaan antara Adam dan Hawa mendorong mereka untuk saling memahami. Itulah isyarat pengetahuan yang pertama. Adam mengetahui bahwa istrinya memiliki jenis kelamin berbeda dan berasal dari sumber serta alam yang sama.

Konsekuensinya, dari sudut pandang filosofis, eksistensi manusia sama tuanya dengan eksistensi pengetahuan, dan dari sudut pandang ilmiah, sejarah manusia dimulai dengan pengetahuan.

Sungguh mengherankan! Pada saat menunaikan ibadah haji, gerakan pertama dimulai dari ‘Arafah’. Wukuf di Arafah berlangsung pada siang hari yang dimulai pada tengah hari tanggal 9 Zulhijah ketika matahari memancarkan sinarnya yang paling terik. Kali ini dimaksudkan agar engkau dapat memperoleh kesadaran, wawasan, kemerdekaan, pengetahuan dan cinta pada siang hari. Pada saat matahari terbenam maka wukuf di Arafah pun berakhir. Tak ada yang dapat dilihat dalam kegelapan. Sebagai akibatnya maka dalam kegelapan tidak ada perkenalan maupun pengetahuan. Berlatarkan mentari yang sedang terbenam di padang Arafah, manusia berhijrah ke arah Barat. Mereka terus berjalan hingga tiba di Masy’ar atau ‘negeri kesadaran’ dan mereka pun berhenti di sana.

Fase setelah mendapat pengetahuan adalah fase ‘kesadaran’. Sungguh aneh, dimulai dengan ‘pengetahuan’ dulu baru kemudian ‘kesadaran’. Manusia sudah menganggap sebagai kebenaran bahwa datangnya pengetahuan itu didahului oleh kesadaran; tapi Sang Pencipta dua pola pikir ini menunjukkan urutan yang berlawanan. Adam berjumpa Hawa (yang jenis kelaminnya berbeda), Mereka saling berbagi pendapat, mengomunikasikan pemikiran-pemikirannya dan mencapai saling pengertian. Kehidupan ‘individual’ mereka diakhiri dengan terbangunnya sebuah keluarga (yang memperkenalkan kehidupan sosial) dan terciptanya ‘cinta yang sadar’. Selanjutnya, persatuan dua manusia dimulai dengan pengetahuan, dan melalui evolusi pengetahuan maka semakin besarlah kesadaran manusia. Hal ini melahirkan sains yang menambah pemahaman dan pada gilirannya mempertinggi kesadaran manusia. Ke arah mana kesadaran ini? Ke perkembangan ilmiah yang lebih maju.

Bila ‘obyektititas’ dan hubungan ‘ide’ dengan dunia luar berdasarkan pada ‘realitas’, maka kearifan akan tumbuh, pemahaman akan bertambah, dan kekuatan spiritual manusia akan menghiasi Mina (cinta).

  • Jika Arafah (pengetahuan) didahului oleh Masy’ar (kesadaran) maka itulah pandangan idealisme teologis dan metafisis.
  • Jika Arafah (pengetahuan) menjadi satu-satunya fase maka itulah kehidupan yang bersifat materialistis dan ilmiah namun berjalan dengan peradaban yang tidak punya spirit dari kemajuan tanpa arah.
  • Dan jika hanya Masy’ar (kesadaran) dan Mina (cinta) tanpa Arafah (pengetahuan) maka kita tidak akan memiliki pemahaman agama seperti sekarang ini.

Tetapi menurut agama Islam, manusia sebagai makhluk yang terbuat dari material bumi yang paling kotor dan kemudian memperoleh kekuasaan dengan menjadi khalifah Allah, memulai aksi-aksinya dengan pengetahuan. Ia memahami berbagai fakta dunia ini melalui metode yang objektif. Setelah itu ia memperoleh kesadarannya. Dalam fase pertama, ia menciptakan cinta: Fase-fase ini dilakoni dengan berjalan dari Arafah ke Masy’ar lalu naik ke puncak kualitas dan kesempurnaan manusia (yakni ke Mina) atau kepada Allah.

Apakah ini realisme? Benar, tapi hanya sebagai prinsip bukan sebagai tujuan. Inilah fondasimu untuk mencapai hal-hal yang ideal dan metafisika. Karena menurut konsep Islam manusia tercipta dari lumpur dan ‘roh Allah’, kehendak dan keputusanmu membantumu berubah dari ‘lumpur’ ke ‘roh Allah’. Inilah yang akan engkau alami ketika melalui tiga fase: Arafah, Masy’ar, dan Mina.

Menurut konsep yang baru saja kita diskusikan, makna dan keindahan kata-kata berikut bisa diungkapkan: Keyakinan: jalan
Pengetahuan: Kesadaran
Kenabian: Petunjuk
Ummah: Kelompok manusia tertentu.
Imam: Pemimpin dan Pemberi petunjuk
Syahid: Rambu-rambu lalu lintas.
Ibadah: Aksi kebaktian atau meratakan atau melancarkan jalan.
Kesalehan: Melatih diri menjadi seorang pembangkang yang bertanggung jawab, menghindari hal-hal yang mengingatkan engkau akan dirimu sendiri dan yang menyebabkan engkau stagnan.
Jalan Allah: Jalan untuk mengorbankan diri dan duniamu demi umat manusia.
Salat: Menghadapkan diri kepada Allah, menyeru Dia, meminta kepada-Nya, mengungkapkan kepada-Nya segala kebutuhan, keinginan, perasaan cinta dan benci, menasihati diri sendiri dan orang lain.
Zikir: Mengingat, memikirkan.
Haji: Mengambil keputusan.

Kini engkau telah tiba di padang Arafah, yakni tempat terjauh dari kota Makkah, dan merupakan daratan tandus yang seluruhnya ditutupi pasir halus. Di tengahnya terdapat bukit-batu kecil bernama Jabal Rahmah tempat Nabi Muhammad saw menyampaikan pesan terakhirnya (pidato perpisahan) kepada para pengikutnya selama perjalanan terakhirnya ke kota Makkah. Arafah adalah sebuah kota menakjubkan yang engkau kunjungi selama satu hari dan akan lenyap setelah matahari terbenam. Di sana engkau akan menjumpai masyarakat dari segala ras yang menyatu sebagai satu bangsa tanpa ada batas-batas. Seakan-akan seluruh dunia berkumpul di daratan ini di bawah tenda-tenda berwarna putih yang membentang dari ujung cakrawala ke ujung cakrawala lainnya, di mana perbedaan ditekan sedemikian rupa, aristokrasi terasa begitu hina dan kecantikan buatan manusia tampak bodoh.

Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apa yang ingin aku lihat di sini? Apa yang harus aku kerjakan? Jawabnya adalah: Tidak ada apa-apa. Engkau bebas menger jakan apa pun yang engkau mau. Engkau boleh menghabiskan harimu dengan berenang di lautan manusia yang luas ini atau bahkan engkau boleh tidur sepanjang hari. Tapi ingat bahwa engkau berada di Arafah. Tidak ada apa-apa yang bisa dilihat di sini. Sebagaimana Andre Gide pernah berkata, “Keagungan haruslah ada dalam pandanganmu, bukan dalam apa yang engkau pandang”.

Biarkanlah naluri dan sifatmu mekar di bawah mentari Arafah yang terang. Terakhir; kebalikan dari apa yang telah dilakukan manusia sepanjang sejarah, jangan melarikan diri dari sinar mentari, cahaya, kemerdekaan dan gerombolan manusia. Tampillah selalu bersama umat manusia.

Di masa lalu, engkau hidup teraniaya dan senantiasa dalam kebodohan bagaikan lumut dalam air yang diam. Kini, hai ‘manusia’, keluarlah dari tendamu, terjunlah ke dalam lautan manusia yang dalam dan biarkanlah ‘ego’-mu terbakar sinar mentari Arafah. Wahai manusia, hanya sehari saja jadilah engkau lentera yang membakar dan menerangi hati ummah ini. Jangan seperti lilin yang meleleh di tangan kaum aniaya, dan jangan pula seperti boneka.

Bagaimanapun engkau diperbolehkan untuk menghabiskan hari ini sesiukamu. Yang diharapkan darimu hanyalah apabila tiba saat matahari tenggelam maka berhentilah wukuf lalu tinggalkanlah padang Arafah.

Ali Syari’ati

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *