Ikuti Kami Di Medsos

Berita

#MaknaHaji: Antara Tawaf dan Sa’i

Usai menunaikan salat tawaf di maqam Ibrahim engkau harus pergi ke Mas’a, yakni jalan antara bukit Shafa dan Marwah. ‘Larilarilah’ di antara dua bukit ini tujuh kali yang dimulai dari puncak bukit Shafa. Pada saat berada di bagian jalan (tempat) yang tingginya sama dengan Ka’bah maka engkau harus melakukan harwalah (bergegas dengan gerakan yang lebih cepat). Selanjutnya berjalanlah seperti biasa ke kaki bukit Marwah.

Sa’i adalah sebuah pencarian. Ia merupakan sebuah gerakan yang mempunyai tujuan dan diilustrasikan dengan berlari-lari dan bergegas-gegas. Pada saat tawaf engkau berperan sebagai Hajar. Di maqam Ibrahin engkau berperan sebagai Ibrahim dan Ismail. Begitu engkau memulai Sa’i maka engkau pun berperan lagi sebagai Hajar.

Di sinilah ditunjukkannya persatuan yang sejati. Bentuk, pola, warna kulit, derajat, kepribadian, batas-batas, perbedaan dan jarak dihancurkan. Yang ada dalam adegan adalah manusia polos tanpa busana dan yang menonjol tak lain hanyalah keimanan, keyakinan dan tindakan. Di sini tidak ada seorang pun yang disebut-sebut; bahkan Ibrahim, Ismail, dan Hajar hanyalah sekadar nama, kata, dan simbol. Segala sesuatu yang ada bergerak secara konstan, kemanusiaan dan spritualitas dan yang ada diantaranya hanyalah disiplin semata. Selanjutnya, inilah ibadah haji, suatu keputusan untuk melakukan gerakan abadi pada arah tertentu ibadah haji Juga menunjukkan bagaimana dunia secara keseluruhan bergerak.

Dalam Sa’i engkau memainkan peran Hajar, seorang wanita miskin, hamba sahaya bangsa Ethiopia yang direndahkan dan pelayan Sarah. Semua itu adalah kualifikasinya dalam sistem sosial manusia -dalam sistem politeisme, bukan dalam sistem monoteisme-. Hamba sahaya ini adalah juru bicara Allah, ibu dari para nabi-Nya yang agung (para rasul Allah) dan representasi dari makhluk-makhluk Allah yang tercantik dan tersayang. Dalam pergelaran haji ini dialah tokoh utamanya yang terkemuka, dan di rumah Allah dialah satu-satunya wanita sekaligus seorang ibu.

Allah menyuruh Hajar untuk menaati-Nya dan Dia akan menyediakan segala keperluan dia dan anaknya. Allah akan mengurus kehidupan, kebutuhan, dan masa depan mereka. Wahai Hajar, sang teladan kepasrahan dan ketaatan, sang jawara besar dalam keyakinan dan ketergantungan pada cinta, engkau akan dilindungi di bawah payung-Ku.

Hajar secara total pasrah terhadap kehendak Allah; ia meninggalkan anaknya di lembah ini. Ini adalah perintah Allah sang kekasih. Namun, sang model kespasrahan (Hajar) tidak ‘duduk termangu’. Dia segera bangkit dan seorang diri berlari dari satu bukit tandus ke bukit tandus lainnya mencari air. Ia memutuskan untuk menggantungkan pada dirinya, kakinya, kehendak dan pikirannya dengan terus mencari, bergerak, dan berjuang tanpa henti.

Hajar adalah seorang wanita yang bertanggung jawab, seorang ibu, penuh cinta, seorang diri, mengembara, mencari, menahan sakit, gelisah, kehilangan pelindung, tidak punya tempat bernaung, tiada rumah, terasing dari kaumnya, tak berkelas, tak punya ras, dan tak berdaya; namun meskipun diliputi segala kekurangan ini, ia penuh harapan. Seorang hamba sahaya yang kesepian, seorang korban, seorang yang terasing, terbuang dan menjijikkan, tersingkir dari sistem aristokrat-kapitalistik, dibenci oleh bangsa-bangsa, dibenci oleh berbagai golongan dan ras, dibenci oleh keluarga, sang hamba berkulit hitam ini hidup sebatang kara ditemani seorang anak dalam pelukannya. Ia berada jauh dari kampung halamannya dan negeri dari ras golongan atas. Mengembara di gurun pasir yang asing, ia laksana seorang tahanan di kedua bukit ini. Seorang diri dan gelisah namun penuh harapan dan tekad untuk mencari air dari satu tempat ke tempat lain. Seorang diri berlari ke puncak bukit-bukit ihi (bukan duduk dan menangis tanpa daya) mencari air.

Dialah promotor tradisi lbrahim, seorang budak (Hajar), bukan mencari karunia ‘api’ melainkan ‘air’. Betulkah air? Ya, air! Bukan yang gaib, bukan cinta, bukan kepasrahan, bukan ketaatan, bukan roh, bukan pandangan hidup yang filosofis, bukan di surga, bukan di akhirat. Tidak, tidak, tidak. Benar-benar di dunia ini dan minum air dan di bumi ini dan murni bersifat material. Cairan ini yang mengalir di atas bumi (air) adalah cairanyang sangat diinginkan dalam kehidupan ini. Tubuh membutuhkannya karena ia menjadi darah dalam pembuluh-pembuluhmu. Air adalah susu dalam dada sang lbu yang memuaskan rasa haus sang anak. Pencarian air melambangkan pencarian kehidupan materi di atas bumi ini. la merupakan kebutuhan tulen yan menunjukkan hubungan manusia dengan alam, dan juga merupakan jalan untuk menemukan surga dunia dan menikmati buahnya di atas bumi ini.

Sa’i adalah kerja fisik, artinya mengerahkan segala upayamu mencari air dan roti untuk memuaskan rasa dahagamu dan memberi makan anak-anakmu yang kelaparan. Sa’i adalah jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Anakmu kehausan dan menantimu di gurun pasir tandus ini; kewajibanmulah untuk menemukan mata air agar dapat memberinya minum. Sa’i adalah Perjuangan dan pencarian untuk mengeluarkan air dari batu.

Sa’i murni bersifat material, kebutuhan material, tujuan material dari tindakan material.
Ekonomi: alam dan kerja.
Kebutuhan: material dan manusia

Sangat mengherankan, dari segi jarak maka hanya ada beberapa langkah atau momen dari tawaf ke Sa’i. Namun demikian ada perbedaan besar di antara keduanya.

Tawaf: Cinta yang mutlak
Sa’i: Kebijakan yang mutlak
Tawaf:Semua Dia
Sa’i: Semua engkau
Tawaf: Hanya kehendak Yang Mahakuasa.
Sa’i: Hanya kehendakmu.
Tawaf: Bagaikan seekor laron yang mengitari lilin hingga terbakar, dan abunya terbawa angin, lenyap dalam cinta dan sekarat dalam cahaya.
Sa’i: Bagaikan seekor elang yang terbang di atas bukit-bukit hitam ini dengan dukungan sayap-sayapnya yang kuat untuk mencari makanan dan menyambar mangsanya yang berada di tengah bebatuan. Ia menaklukkan langit dan bumi. Angin meniup langit dan bumi. Angin menerpa sayap-sayap sang elang dengan begitu lembut. Terbang bebas di angkasa menjelajah langit adalah ambisinya. Di bawah bentang sayapnya bumi tampak begitu hina. Bumi juga takluk oleh tatapan sang elang yang begitu tajam dan cermat.
Tawaf: Manusia mencinta! ‘kebenaran’.
Sa’i: Manusia didukung sendiri oleh ‘fakta-fakta’.
Tawaf: Manusia yang agung.
Sa’i: Manusia yang kuat.
Tawaf: Cinta, penyembahan, spirit, moralitas, keindahan, kebaikan, kesucian, nilai-nilai, kebenaran, keyakinan, kesalehan, penderitaan, pengorbanan, ketaatan, kerendahan hati, penghambaan, persepsi, pencerahan. kepasrahan, kekuatan dan kehendak Allah, metafisika, yang gaib, demi orang lain, demi akhirat. dan demi Allah SWT. Dan apapun yang digerakkan dan dicintai oleh spirit bangsa timur.
Sa’i: Hikmah, logika, kebutuhan, hidup, fakta, 0bjektif, bumi, material, alam, hak istimewa, pikiran, sains, industri, kebijakan, keuntungan, kesenangan, ekonomi, peradaban, tubuh, kemerdekaan, kekuasaan, kehendak di dunia ini untuk diri sendiri dan segala sesuatu yang diperjuangkan oleh bangsabarat.

Tawaf: Hanya Allah
Sa’i: Hanya manusia
Tawaf: Hanya jiwa.
Sa’i: Hanya tubuh.
Tawaf: Duka dalam ‘kehidupan’ dan kecemasan menghadapi hari ‘akhirat’.
Sa’i: Kesenangan hidup dan kenikmatan dunia ini
Tawaf:Mencari dahaga
Sa’i: Mencari ‘air’.
Tawaf: Laron.
Sa’i: Elang.

Ibadah haji merupakan kombinasi antara Tawaf dan Sa’i. Ia memecahkan berbagai kontradiksi yang telah membingungkan umat manusia sepanjang sejarah:

Mana yang akan engkau pilih? Materialisme atau idealisme? Rasionalisme atau pencerahan? Dunia ini atau akhirat? Epikureanisme [1] atau asketisisme [2]?, Kehendak Allah atau kehendak manusia? Menyandarkan pada-Nya atau pada kehendak manusia?, Menyandarkan pada-Nya atau menyandarkan pada dirinya sendiri?

Allah memberikan jawaban: Pilih dua-duanya! Pelajaran yang disampaikan tidak melalui kata-kata, persepsi, sains ataupun filsafat tapi dengan cara menunjukkan kepadamu contoh berwujud seorang manusia. Contoh yang harus diambil pelajarannya oleh semua filsuf duniawi, para saintis, dan para pemikir besar yang sedang mencari keyakinan dan fakta-fakta, adalah seonng perempuan budak Ethiopia berkulit hitam dan seorang ibu. Dia adalah Hajar!

Karena perintah ‘cinta’, ia memasrahkan dirinya untuk mengikuti kehendak-Nya yang mutlak. Ia pergi dari kampung halamannya sambil membawa anaknya ke tempat yang sangat jauh sekali dan meninggalkan sang anak di lembah (Makkah) yang tandus ini sendirian. Ia mutlak mempercayakan kepada Allah dan kasih sayang-Nya. Dengan kekuatan iman ia menolak semua logika dan jalan pikiran. Inilah tawaf!.

Tapi, tidak seperti banyak orang yang saleh dan para ahli ibadah, ia tidak duduk termangu di samping anaknya. Ia tidak menunggu terjadinya keajaiban atau tangan gaib membawakan buah-buahan dari langit atau mengalirkan sungai untuk memuaskan dahaganya. Tidak! Ia meninggalkan anaknya dalam pelukan ‘cinta’ dan segera bangkit berlari setelah memutuskan untuk mencari air dan berusaha sekuat tenaga. Dan kini, di bukit-bukit Makkah yang tak beradab dan tandus, seorang perempuan yang hidup sendiri, kehausan, bertanggung jawab, asing, berkelana mencari ‘air’ yang tanpa hasil! Ya Allah, apakah kita sedang membicarakan Hajar atau ‘manusia’?

Segala upaya Hajar sia-sia; ia kembali dengan sangat sedih kepada anaknya. Betapa terkejutnya sang anak yang ditinggalkan di bawah payung ‘cinta’ dalam keadaan haus dan gelisah, tengah menggali p asir dengan tumitnya. Pada saat dalam keputusasaan yang memuncak dan dari tempat yang tak diduga, tiba-tiba muncullah:

Karena mukjizat, karena kuatnya kebutuhan dan belas kasih Allah
maka terdengarlah suara gemuruh air

Itu dia Zamzam,
mata air yang nikmat dan memberikan kehidupan memancar dari batu.

Pelajaran yang dapa dipetik: menemukan air buka dengan ‘cinta’ ataupun usaha,
melainkan setelah melakukan usaha.

Meskipun engkau tak dapat mendekati-Nya melalui kerja keras,
duhai hatiku hendaklah engkau berusaha semampumu. ‘

Duhai Kekasih, cobalah-cobalah semampu-Mu
Engkau adalah Keyakinan Yang Mutlak dan tempat bersandar Yang Mutlak.

Cobalah bergerak sebanyak tujuh kali sebagaimna ketika engkau bertawaf. Tapi kali ini jangan mengikuti jalan melingkar yang akhirnya tidak membawa engkau ke tempat manapun selain tempat engkau memulai. Jangan berjalan dalam lingkaran yang hampa karena engkau tidak akan sampai kemanapun, tidak akan mendapat apa pun dan bergerak tanpa tujuan. Bekerja untuk mengisi perut dan mengisi perut untuk bersiap-siap kerja Akhirnya, teruskan hingga ajal tiba!

Tawaf: Hidup bukan demi hidup tapi hidup karena Allah.
Sa’i: Berusahalah sebisamu bukan hanya untuk dirimu sendiri tapi untuk umat manusia.

Di sini jalanmu lurus dan tidak melingkar. Engkau tidak bergerak dalam lingkaran tapi berjalan lurus. Gerakan ini merupakan suatu hijrah yang dimulai dari satu lempat ke tempat di mana engkau mencapai takdirmu berjalan dari Shafa ke Marwah.

Selama prosesi sa’i engkau berjalan bolak-balik sebanyak tujuh kali. 7 adalah angka ganjil bukan ‘genap’ sehingga sa ’i-mu berakhir di Shafa dan bukan di tempat engkau memulainya (Marwah).

Tujuh kali, Tujuh adalah angka simbolis yang melambangkan bahwa seluruh kehidupanmu senantiasa menuju Marwah! Mulailah dari Shafa yang berarti cinta sejati kepada orang lain. Tujuanmu adalah Marwah yang berarti ideal manusia, rasa hormat, kedermawanan, dan sikap memaafkan orang lain. Siapakah orang lain itu? Mereka adalah yang berusaha bersamamu.

Apa yang aku ketahui tentang sa’i? Ini hanyalah pemahamanku tentang sa’i tapi tidak menjelaskan semuanya. Sa’i berarti meniadakan dan menenggelamkan dirimu ke dalam samudra cinta, yang kemudian engkau timbul dalam keadaan bersih dan tanpa dosa. lalu melangkah ke maqam Ibrahim. Dari sana duhai manusia yang terasing dan terlunta dan terbuang dari negerinya, rasa tanggung jawab telah mendesakmu untuk mencari air yang ada dalam ‘khayalan belaka’.

Pergilah ke puncak bukit Shafa sebagaimana dilakukan Hajar. Lihatlah banjir manusia serba putih yang sedang berusaha menemukan air. Berlari menuruni Shafa dengan perasaan gelisah dan dalam keadaan dahaga,  mereka mencari air di gurun pasir yang panas dan tandus ini. Mereka terus menuju Marwah namun di sana mereka tidak menemukan air. Dengan bibir kering, tangan hampa dan wajah sedih, mereka kembali ke Shafa lalu memulai lagi pencarian. Prosedur ini diulang tujuh kali, namun air tak kunjung ketemu dan dahaga pun tak terpuaskan. Tapi mereka sampai lagi ke Marwah.

Dan engkau, wahai setetes air, dari puncak Shafa masukilah sungai berarna putih yang mengelana, berjuang dan merasakan dahaga. larutkanlah dirimu ke dalam banjir manusia ini. Berusahalah semampumu (melakukan sa’i) bersama yang lain. Pada pertengahan sa’i-mu di tempat yang ketinggiannya sama dengan Ka’bah, ‘bergegaslah’ bersama dengan orang lain.

[1] Aliran filsafat Epicurus yang menekankan hedonisme, kesenangan dipandang sebagai kebaikan tertinggi.
[2] Paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban.

Ali Syariati

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *