Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Makna Hari Kebangkitan Nasional Di Mata Pendidik

Hari Kebangkitan Nasional

Mengenang jasa pahlawan di Hari Kebangkitan Nasional telah dilakukan setiap tahun. Peringatan dan perayaan dilakukan di pelbagai daerah dengan beragam cara. Namun, apakah yang berbeda ketika Hari Kebangkitan Nasional ditinjau dari sudut pandang pendidikan?

Terkait hal tersebut, berikut petikan wawancara ABI Press dengan Eva Fitriati, M.Pd selaku Ketua Jurusan Tarbiyah STAI Madinatul Ilmi Depok.

Menurut Anda, apakah Hari Kebangkitan Nasional itu?

Saya tidak memahami Kebangkitan Nasional dalam perspektif sejarah. Meskipun memang cikal-bakal munculnya KebangkitanNasional tidak terlepas dari sejarah yang ada. Sebetulnya begini, meskipun tanpa dilegitimasi menjadi Hari Kebangkitan Nasional. Seharusnya, menurut saya, harus sudah integrated (menyatu) dalam aktivitas kita sehari-hari, apa pun profesinya, apapun kegiatannya. Artinya Kebangkitan Nasional tidak perlu dipahami secara sempit bahwa lingkup pembahasan harus selalu dengan kegiatan-kegiatan bersifat nasional.”

“Apakah dengan tidak melakukan upacara bendera itu tidak menumbuhkan nilai-nilai nasionalisme, kan tidak juga. Pemahamannya jauh lebih komprehensif daripada itu. Bagaimana kita bisa menginternalisasikan nilai-nilai kebangkitan itu ke dalam aktivitas kita sehari-hari, apa pun profesinya. Semangatnya kan hampir sama, semangat kemerdekaan.

Cikal bakal Kebangkitan Nasional itu dari judul besar bangkit. Bangkit dari keterpurukan, dari keburukan, kemiskinan. Kalo yang ada kaitannya dengan attitude itu, yang tadinya ketika kehidupannya tidak baik kemudian hidupnya jauh menjadi lebih baik itu kan juga kebangkitan.”

Jadi, tidak dipahami secara kasat mata bahwa harus selalu diaplikasikan dengan perlawanan publik. Tapi perlawanan atau perubahan dalam bentuk mindset, dalam bentuk attitude, dalam bentuk pengembangan skill, itu juga, menurut saya, masuk dalam kebangkitan.

Apakah dapat diberikan contoh khusus (spesifik) untuk kebangkitan yang mengintegrasi dan menginternalisasi dalam kehidupan sehari-hari?

Begini, sebetulnya pelaku dari Kebangkitan Nasional itu siapa? Kita kan? Kita sebagai warganegara Indonesia, kita sebagai dosen, sebagai ibu rumah tangga. Lalu apakah pelaku Kebangkitan Nasional itu harus orang yang punya profesi, harus selalu orang yang punya pekerjaan. Lagi-lagi timbul pertanyaan, pekerjaan itu apa sih ?

Apakah dengan dia diam di rumah, tidak bekerja di luar rumah, berarti dia tidak punya pekerjaan, kan tidak. Bisa jadi, dia diam di rumah tapi dia punya bisnis online, kan banyak online shop. Itu bukti adanya perubahan juga. Tapi yang lebih besar dari itu, bagaimana nilai-nilai kebangkitan itu integrated dalam kehidupan sehari-hari kita. 

Munculnya ide-ide dari para pakar, para tokoh dan cendekiawan dari zaman dahulu, mereka kan juga mengaktualisasikannya berdasarkan bidang keahlian masing-masing. Dulu Thesis saya tentang kajian tokoh perempuan gerakan pembaharuan pendidikan di Cianjur yang diprakarsai oleh perempuan namanya Raden Siti Jenar.

Kalau pemahamannya tentang ekonomi dan perdagangan maka mendirikan koperasi. Kalau pemahamannya tentang pendidikan maka mendirikan sekolah misal Taman Siswa. Kemudian RA. Kartini, memang dalam kapasitasnya sebagai seorang perempuan dan dia merasa ingin ada perubahan yang signifikan untuk peran perempuan dalam dalam kesetaraan atau social equity. Maka ia mengembangkan wacana-wacana tentang kesetaraan gander. 

Hanya bedanya kalau RA. Kartini pembicaraannya tidak melembaga artinya wacananya dikembangkan memang oleh RA. Kartini. RA. Kartini tidak sampai mempunyai lembaga pendidikan atau tidak sampai punya organisasi. Tapi untuk ukuran saat itu, sudah merupakan nilai plus. Bahwa perempuan itu bisa bangkit dari keterpurukan. 

Perempuan ingin membuktikan bahwa kapasitas mereka bukan hanya bisa aktif dalam ranah domestik tapi juga aktif di ranah publik. Perempuan tak hanya aktif di ranah domestik itu maksudnya ialah perempuan itu hanya aktif di dapur, sumur dan kasur, tapi juga aktif di ranah publik. Kalo sekarang mengajar bisa di sekolah atau kampus-kampus, bahkan bekerja di pabrik-pabrik. Sedangkan kalau dulu tidak ada ranah aktualisasi jadi hanya beraktivitas di ranah domestik dapur, sumur dan kasur. 

RA. Kartini mencoba minimal meskipun tidak terjun secara fisik, kita punya pemahaman, punya wacana yang mungkin bisa dipahami oleh orang lain. Nah, di situlah letak pembaharuan, di situlah letak kebangkitan yang dilakukan atau ditawarkan oleh RA. Kartini. Membuka mindset tentang kesetaraan sosial dan kesetaraan gender untuk perempuan perempuan pada saat itu, itu kan sudahkebangkitan, itu sudah menjadi nilai plus pada saat itu. 

Nah, itu salah satu contoh tentang kapasitasnya sebagai seorang perempuan. Artinya semua orang, entah itu laki-laki ataupun perempuan, apa pun profesinya, apapun aktivitasnya, berapa pun anaknya, dimana pun tinggalnya tetap memiliki peran, tetap memiliki hak, tetap memiliki kewajiban dan semangat untuk bangkit dari hal apa pun.

Karena prinsip saya seperti ini, kalau kita berbicara tentang Kebangkitan Nasional, kita tidak mungkin bisa melakukan seperti yang dilakukan para pahlawan terdahuluSekarang ya, bangkitnya kita, merdekanya kita sebisa mungkin melakukan segala sesuatu yang bisa kita lakukan sesuai dengan kapasitas saya mulai dari hal-hal kecil dan dimulai dari sekarang. Punya konsep dan punya ide brilian ya percuma kalau tidak diaplikasikan.”

Tapi konsep itu, diinternalisasikan di dalam kepribadian kita, itulah kenapa ada character building karena supaya apa pun yang kita pahami, kita kalau punya ilmu yang setinggi apapun kalau tidak kita amalkan kan akhirnya menjadi percuma.

Pemahaman tentang kebangkitan juga seperti itu. Kita paham definisi berdasarkan etimologi, berdasarkan terminologi, tapi kalatidak diaplikasikan dan diimplementasikan itu sama saja bohongSemua orang bisa melakukan kebangkitan, semua orang bisa melakukan perubahanMelakukan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya dimulai dari hal-hal kecil dan dimulai dari sekarang waktunya.

Bagaimanakah pengalaman Anda dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional di masa lampau?

Begini, selama ini saya besar di komunitas pendidikan dalam hal ini sekolah. Ketika saya masih kecil, dulu, yang dilakukan oleh lembaga pendidikan pada saat itu menginformasikan bahwa, hari ini adalah peringatan Kemerdekaan 17 Agustus, 20 Mei adalah HariKebangkitan Nasional, pada saat Ki Hajar Dewantara membuka wacana-wacana kebangkitan tentang pendidikan di Indonesia. Hanya sebatas itu dan diaplikasikan dengan upacara bendera. Hanya sebatas itu.

Tapi menurut saya ada yang lebih penting dari pada itu, ketika anak-anak itu merayakan Hari Kebangkitan Nasional, merayakan HariKemerdekaan, Hari PendidikanYang lebih penting dari itu, apakah mereka paham nilai-nilai yang terkandung dari itu semua.Sedang selama ini, ketika kita upacara 17 Agustus, isi ceramah dari inspektur upacara apa? Membahas lagi sejarah kemerdekaan, membahas lagi bambu runcing.”

“Tapi jarang sekali menyentuh What should I do?’ Apa yang seharusnya kita lakukan? Bagaimana melakukan bila memahami nilai-nilai itu anak-anak tidak paham? Pengalaman saya seperti itu, ternyata yang kurang dilakukan oleh lembaga tersebut adalah bagaimana caranya menanamkan nilai-nilai luhur tentang kegiatan-kegiatan. Padahal anak-anak hanya mendapat informasi tentang akan dilaksanakannya upacara di lapangan tertentu, tanpa pemahaman nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Apa pesan Anda sekaitan dengan apa yang harus kita lakukan saat Hari Kebangkitan Nasional?

“Untuk mencapai suatu tujuan, kita punya target untuk mencapai satu titik. Kita harus kembali lagi ke esensi ataupun substansi dariHari Kebangkitan Nasional itu apa. Jadi action (aksinya) harus dilakukan dengan cara kita mengawali terlebih dahulu memahami esensi ataupun substansi dari Hari Kebangkitan Nasional itu apa? Karena walaupun kita menanamkan nilai-nilai itu ke orang-orang yang ada di sekitar kita, ke anak didik kita, ke tetangga-tetangga kita atau sahabat-sahabat kita, itu percuma kalau kita sendiri tidak memahami esensi dari kebangkitan itu sendiri. Itu yang perlu dilakukan pertama kali.”

“Makanya dalam pembelajaran kan seperti itu, dijejali dulu mindsetnya, dibuka dulu wawasannya, kognitifnya dulu diberikan. Baru kemudian ranah afektif berbicara.”

“Ketika dia sudah paham tentang apa itu Kebangkitan Nasional baru kemudian apakah dia mulai bisa memahami, menginternalisasikan, menghayati, ada sikap simpati ataupun empati. Yang bisa diketahui apakah dia sudah bisa menginternalisasikan tentang pemahaman definisi tersebut atau belum. Baru kemudian secara otomatis, kalau langkah pertama dan kedua, dia sudah paham apa itu Hari Kebangkitan Nasional, dia sudah bisa menginternalisasikan tentang nilai-nilai attitudedalam pikiran dia, dalam mindset dia, maka dalam mengaplikasikan dan mengimplementasikannya tidak akan sulit karena sudah paham.”

“Cara mencapai suatu tujuan itu dimana dan bagaimana mencapainya, setelahnya akan secara otomatis ditempuh dan pada akhirnya tujuan akan dicapai. Jangan membayangkan bahwa pada Hari Kebangkitan Nasional itu harus melakukasesuatu yang besar. Karena besar itu dalam perspektif siapa, besar dalaperspektif apa? Kalau besar dalam pengertian acaranya besar dan meriah itu bedlagi.”

“Tapi besar yang dilihat adalah nilai dan manfaatnya. Buang sampah pada tempatnyitu kan nilai. Menyingkirkan paku (ranting) di tengah jalan itu juga menjadi nilai plus. Orang-orang itu jarang melihat dari sudut pandang ini. Dan aktualisasi gagasan itu bisa beragam. Misalkan menulis artikel dapat diposting dan diakses pada jangka waktu atau beberapa waktu ke depan.” (Ahmad/Yudhi)

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *