Berita
Majelis Duka Cita Muharram dalam Perspektif Akal
Salah satu dari pertanyaan-pertanyaan atau kritikan-kritikan yang dikemukakan pada sebagian kesempatan oleh sebagian individu adalah kenapa kita melakukan majelis duka cita dalam meratapi kematian para auliya Ilahi? Dan kenapa kita menangis untuk meratapi mereka serta mengadakan majelis duka cita ini? Kenapa kita memukuli dada dan menyenandungkan kidung-kidung sedih? Dan kenapa pula kita mengungkit kenangan-kenangan lama? Apakah benar bahwa mereka membutuhkan majelis duka yang klta lakukan ini, ataukah sebenarnya kita sendirilah yang membutuhkan majelis tersebut?
Mereka menganggap perbuatan ini sebagai sebuah bidah dan mengatakan, tidak ada sedikitpun dalil dan bukti-bukti yang menegaskan pelaksanaan rituaI-ritual semacam ini, oleh karena itu hal ini tidak bisa disebut sebagai bagian dari sunnah, dengan demikian harus ditinggalkan.
Kini, mari kita menyibak topik ini dari berbagai sisi secara lebih mendalam.
Majelis Duka dan Menghidupkan Kemball Tradisi Asyura
Dengan merujuk pada akal sehat, kita akan bisa mengetahui bahwa melaksanakan peringatan majelis duka untuk para Auliya Ilahi, khususnya untuk meratapi kepergian pemimpin para syuhada Imam Husain as adalah sesuai dengan akal, karena menghidupan dan mengagungkan mereka pada hakikatnya adalah mengagungkan kepribadiannya yang agung dan syiar-syiar mereka, dan setiap umat yang tidak menghormati dan mengagungkan pembesarnya akan dianggap pecah dan musnah, karena pada hakikatnya para pembesarlah yang telah mencetak dan membentuk sejarah para Umat.
Sebagian dari syiar-syiar Imam Husain as:
- Dalam kondisi seperti ini aku menganggap kematiah sebagai sebuah kebahagiaan dan hidup bersama para orang zalim sebagai sebuah kesengsaraan dan penderitaan. (Tarikhu Dimasyq, jil 14, hal. 218)
- Kematian di jalan yang mulia identik dengan kehidupan yang abad‘nan hidup dengan hina sama aninya dengan kematian.” ‘
- Ketahuilah, Ibnu Ziyad, si anak zina dan si putra anak zina itu telah menempatkanku pada dua pilihan, siap berperang dengan pedang terhunus atau berbusana hina Ialu berbaiat dengan Yazid, akan tetapi sesungguhnya kehinaan sangat jauh dari kami.
- Untuk Allah dan ke padada-Nya-lah kami akan kembali. Ketika umat tertimpa musibah dengan memiliki pemimpin sepertl Yazid, berarti Islam telah hancur. (Maqtal Kharazami, jil 1, hal. 184))
- Aku bangkit bukan untuk menciptakan perpecahan antara kaum Muslimin, atau menimbulkan kerusakan dan kelaliman di antara mereka, melainkan aku bangkit untuk memperbaiki umat kakekku, aku ingin melakukan amar makruf dan nahi munkar dan meneruskan sirah kakek dan ayahku Ali bin Abi Thalib as. (Bihar al-Anwar, jil 44, hal 328)
lnteraksi yang Lembut antara Umat dengan Para Auliya Allah
Salah satu dari cara-cara penting dalam memberikan perhatian terhadap persoalan-persoalan akidah, politik dan sosial masyarakat adalah dengan cara menggerakkan sensitifitas dan perasaan Iembut dalam diri manusia. Manusia akan lebih banyak menerima pengaruh dari dimensi ini dibandingkan dari dimensi akal serta dari aspek-aspek lain. Dengan ibarat lain, metode ini Iebih banyak memberikan pengaruh daripada metode-metode lainnya.
Sekarang dengan memperhatikan kisah duka syahadah para Auliya Allah, terutama tragedi yang menimpa Penghulu Para Syuhada (Imam Husain as) ingatan dan perhatian masyarakat terhadap tragedi tersebut akan menggerakkan perasaan mereka, dan dengan cara ini kita bisa memperkenalkan para pembesar tersebut sebagai suri tauladan. kemudian menyampaikan syiar-syiar dan perintah-perintah mereka yang tak Iain merupakan syiar-syiar dan perintah-perintah Ilahi kepada masyarakat umum. Dengan alasan tni pulalah sehingga setelah tragedi Karbala ini, Imam Ali Zainal Abidin as hingga 20 tahun setelahnya senantiasa menangis untuk para syuhada Karbala terutama untuk ayahnya Imam Husain as.
Namun, tema ini akan Iebih dikenali dengan memperhatikan pujian yang ditujukan oleh Rasulullah saw kepada Imam Husain as.
Rasulullah saw bersabda, “Husain berasal dariku dan aku berasal dari Husain, Allah akan mencintai siapa yang mencintai Husain.”
Demikian juga Rasulullah saw bersabda, “Hasan dan Husain adalah dua pemimpin dan penghulu para pemuda penghuni surga.”
Dari salah satu pembesar agama dinukilkan, bawalah anak-anak kalian yang masih berusia beberapa bulan ke dalam majelis-majelis ilmiah, tempat-tempat peringatan, husainiyyah-husainiyyah dan majelis-majelis duka dimana nama Sayyidusy Syuhada disebutkan di dalamnya, karena jiwa anak-anak laksana sebuah magnet yang akan menarik ilmu, pemikiran dan kesucian spiritual Imam Husain as. Anak, meskipun belum bisa berbicara, akan tetapi mereka memahami, oleh karena itulah apabila pada masa kekanak-kanaknya ia dibawa ke tempat-tempat yang maksiat, maka jiwa polosnya akan tercemari oleh keburukan dan kemaksiatan yang ada di tempat tersebut, namun apabila ia dibawa ke tempat-tempat dzikir, ibadah dan ilmu, maka hanya kebersihan dan kejernihanlah yang akan mengisi relung-relung-jiwanya.
Memperbaharui dan Membimbing Masyarakat
Masyarakat yang ikut serta dalam majelis-majelis duka untuk mangenang Sahidusy Syuhada as dengan kecintaan yang mendalam terhadap beliau, selain akan mendengarkan dan menangkap makrifat-makrifat Islam serta masalah-masalah agama, baik dalam bentuk keyakinan-keyakinan, hukum-hukum dan akhlak-akhlaknya, mereka juga akan diantarkan untuk mencapai tingkatan spiritual yang lebih tinggi, dengan demikian mereka pun akan mampu meraih kesempurnaan dan keabadiaan. Dan inilah tujuan yang ditargetkan oleh Imam Husain as, sehingga beliau rela mengorbankan jiwanya.
Ali Asghar Ridhwani, Tragedi Karbala dan Menjawab Perbagai Keraguan Tentangnya