Berita
Lima Tahun Terusir dari Kampung Sendiri
Jakarta – Ali Murtadha alias Tajul Muluk, mewakili pengungsi Muslim Syiah Sampang menghadiri undangan Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Balai Kartini Jakarta, Kamis (16/3). Kongres juga dihadiri Menteri Agama, Kapolri, dan beberapa pejabat lainnya. Tajul Muluk bersama beberapa komunitas korban intoleransi lainnya, hadir untuk memberikan testimoni dalam Kongres yang diselenggarakan Komnas HAM ini.
Informasi lebih lengkap tentang pengungsi Sampang disampaikan Tajul Muluk melalui rilis siaran pers yang dibagikan panitia Kongres bersama data laporan KBB Komnas HAM.
Dalam rilis Tajul Muluk sampaikan: Pada Agustus 2012, kami diusir dari rumah kami sendiri di Kabupaten Sampang, setelah sekelompok massa anti-Syiah menyerang. Kemudian kami tinggal di penampungan sementara, di gelanggang olahraga tak layak huni, di Sampang, Jawa Timur.
Hampir setahun di penampungan, kami kembali terusir. Tepatnya 20 Juni 2013, pengusiran kedua kami alami. Dari penampungan kami dipaksa pergi, dan akhirnya diungsikan ke Rusun Jemundo Sidoarjo hingga kini.
Selama kurun waktu 5 tahun menjadi pengungsi di negeri sendiri, kami belum melihat ada upaya serius dari aparat Negara. Pergantian rezim Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo tidak lantas menjadikan nasib kami lebih baik. Meski sebelumnya, harapan kembali terbuka ketika Menteri Agama Lukman Hakim pada bulan Agustus 2014, datang ke Rusun Jemundo. Pak Menteri sempat memberikan harapan kepada pengungsi untuk bisa pulang. Menurutnya, tak ada masalah yang tak bisa diselesaikan. “Saya pribadi bisa berkata, saya optimis bisa menyelesaikan masalah ini, karena ada keinginan yang kuat dari pengungsi untuk pulang. Saya justru sedih jika pengungsi pesimis untuk bisa pulang,” ucapnya. Beliau sempat berjanji akan membuat road map terkait penyelesaian kasus Syiah Sampang ini. Faktanya, beliau kembali terpilih menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Kerja, dan sampai saat ini sudah 3 tahun Jokowi berkuasa belum ada upaya serius menyelesaikan masalah yang kami hadapi.
Saat ini kami terdiri dari 81 kepala keluarga dengan jumlah 335 jiwa. Tinggal lama di Rusun Jemundo, tak membuat nasib kami membaik. Banyak di antara kami bertanya-tanya, kapan kami bisa pulang ke kampung dan kembali hidup bertani seperti dulu.
Berbagai upaya sudah kami lakukan untuk mendesak pemerintah agar segera menyelesaikan persoalan yang kami hadapi. Namun tak kunjung ada tindakan apapun. Meski pihak pemerintah dalam hal ini Pemprov Jatim memberikan jatah hidup 709.000,- perbulan. Bagi kami, ada yang jauh lebih penting dari sekadar jatah hidup yaitu tentang kepulangan kami ke kampung halaman.
Awalnya kami benar-benar cukup sabar menunggu di rusun, dengan keyakinan bahwa pemerintah sanggup menyelesaikan masalah kami. Akan tetapi, sekarang, kami pun mulai resah berada di rusun tanpa penyelesaian masalah. Ditambah lagi dengan kondisi bangunan rusun yang mulai menghawatirkan. Kondisi bangunan rusun tak lagi bersahabat. Di semua titik, terjadi kebocoran, air merembes dan setiap saat bisa saja rubuh. Ketenteraman dan keselamatan kami jauh lebih penting, dan kami tidak mau dikubur hidup-hidup.
Saat ini kami juga tidak punya pekerjaan selain hanya mengupas kelapa dengan penghasilan tak seberapa. Pekerjaan ini pun terhenti akibat para juragan tak lagi mengirim kelapa ke rusun.
Penghasilan hidup yang biasa kami terima berhenti sejak dua bulan lalu. Sedangkan tahun ini terdapat sekitar 15 anak lulus SD, 6 anak lulus SMA, dan 2 anak lulus SMP, yang harus kami biayai kebutuhan pendidikannya. Kami belum tahu, mereka akan melanjutkan sekolah kemana. Saat ini, mereka belum mendapat akses pendidikan dan layanan kesehatan yang memadai.
Atas hal itu, kami, Muslim Syiah Sampang mendesak agar Presiden Jokowi segera mengeluarkan kebijakan untuk memulangkan seluruh pengungsi. Selain itu, kami juga mendesak agar Menteri Agama segera mengambil langkah untuk menyelesaikan konflik Syiah-Sunni Sampang dan merealisasikan apa yang pernah diucapkan.
(Zen-Malik)