Berita
Lantun Shalawat di Jamuan Kudus
Dua sosok mulia yang hari kelahirannya diperingati hampir bersamaan pada tahun ini; Natal Yesus Kristus bagi umat Kristiani atau Milad Nabi Isa as yang di kalangan kaum Muslimin dikenal sebagai salah seorang Rasul, pembawa kitab samawi ke bumi ini, sebagaimana Nabi Muhammad saw yang merupakan pembawa risalah Islam sekaligus penutup para Nabi dalam keyakinan umat Islam dan Maulid Nabi Muhammad saw.
Sebagai sosok yang sangat dihormati di kalangan kaum Muslimin, baik Yesus atau Nabi Isa as maupun Nabi Muhammad saw, hari kelahiran kedua Rasul itu pun merupakan hari penuh rahmat dan berkah bagi kedua agama, Islam maupun Kristen. Tak salah kiranya jika di sejumlah negara Timur Tengah, seperti di Libanon, Irak dan Suriah, kaum Muslimin dan umat Kristiani bergembira bersama menyambut perayaan hari kelahiran keduanya.
Bahkan di Palestina sebagian umat Islam mengenakan kostum Sinterklas sebagai bentuk penghormatan terhadap umat Kristiani. Sementara di Lebanon terdapat pohon Natal dengan berbagai pernak-pernik hiasan dan lampu warna-warni, berdiri tegak di depan sebuah masjid tanpa ada yang mempermasalahkannya.
Bagaimana halnya dengan perayaan Natal dan Maulid bersama di Indonesia?
Ternyata perayaan serupa juga dilakukan di sebuah rumah di daerah Guntur, Kuningan Jakarta Pusat. Momen langka, yaitu hampir bersamaannya waktu peringatan Maulid Nabi Muhammad saw dan Natal Isa as yang terjadi terakhir kali 163 tahun silam atau tepatnya pada tahun 1852, seolah tak ingin dilewatkan begitu saja untuk dirayakan bersama.
Diawali lantunan shalawat tanda cinta kepada Rasulullah saw, acara dilanjutkan khotbah masing-masing dari kalangan Muslim dan Kristiani. Perayaan tergolong sederhana ini dilakukan di ruangan tengah rumah seluas setengah lapangan voli dengan hiasan lilin dan pohon Natal setinggi satu setengah meter.
Setelah Jamuan Kudus dan lagu rohani, acara ditutup dengan doa.
Konon diperlukan ratusan tahun lagi saat peringatan Maulid Nabi dalam kalender Hijriah dan Hari Natal dalam kalender Masehi dapat berlangsung kembali secara bersamaan.
Sebuah Apresiasi
Kejadian di Guntur pada malam itu (24/12) bukan hanya sebuah perayaan kelahiran dua tokoh besar yang sangat dihormati oleh kedua agama, tapi juga merupakan sebuah bentuk apresiasi dari Jamaat Gereja Anugerah kepada para simpatisan mereka yang terdiri dari berbagai latar belakang termasuk dari kalangan komunitas Muslim.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Panitia, Pendeta Suarbudaya Andi Rahardian. Baginya ini merupakan ujian untuk membuktikan kedekatan hubungan antara umat Islam dan umat Kristiani. Sebab menurutnya, sebuah hubungan harmonis harus dibangun dari rasa saling mengerti, keberanian untuk saling menghormati dan mengakui perbedaan.
“Anda berani bicara tentang ketidaksepahaman Anda dan Anda tetap damai,” ungkap Suarbudaya.
Suarbudaya ingin menunjukkan bahwa silaturahmi yang terjalin tidak hanya di permukaan melainkan silaturahmi yang mendalam dan mendarah-daging. Bahkan dengan damai membicarakan hal-hal yang paling sensitif, paling mendasar sehingga akan dicapai kesepahaman untuk saling menghormati.
Momen langka yang hanya bisa terjadi sekali dalam ratusan tahun inilah yang sengaja dimanfaatkan oleh umat Islam dan umat Kristiani dari komunitas Gereja Anugerah untuk dirayakan bersama di satu tempat.
“Dua-duanya adalah perayaan suka cita,” kata Suarbudaya. “Bagi umat Muslim ini kebahagiaan menyambut perayaan kelahiran Nabi Muhammad saw. Bagi umat Kristiani, ini juga sama. Jadi kenapa ndak membagi suka cita yang sama?” lanjutnya.
Begitupun yang disampaikan oleh Imam Fanani HS yang biasa diapa Iefan, perwakilan dari komunitas Muslim yang malam itu memimpin pembacaan shalawat Nabi sekaligus penceramah dari perwakilan umat Islam.
Bagi Iefan, peringatan hari kelahiran dua tokoh yang dalam Islam dan Kristen sama-sama dikagumi dan perayaan bersama atas kelahiran keduanya, tentu tidak ada masalah. Bahkan menurutnya, seharusnya semua bangga dengan acara semacam itu karena dengannya dimungkinkan dapat menghilangkan berbagai stigma negatif dari orang-orang yang selama ini terlanjur membenci agama tertentu.
Iefan juga menekankan bahwa acara yang sangat jarang terjadi ini juga sangat penting untuk membangun hubungan silaturahmi dan toleransi antar umat beragama di Tanah Air.
Tantangan
Meski tidak mudah merealisasikan acara yang kerap dipenuhi pro dan kontra baik dari kalangan Kristiani maupun dari kalangan Islam itu, namun karena ini merupakan momen langka yang mungkin hanya akan terjadi lagi ratusan tahun kemudian, dengan alasan tersebut Andi pun memberanikan diri mengadakan acara tersebut.
“Ya bikin saja, sebab belum tentu akan terulang dua atau tiga tahun lagi,” kata Suarbudaya.
Tantangan dari kalangan Kristiani, menurut Andi juga cukup banyak, apalagi sebelumnya Komunitas Gereja Anugerah yang mengadakan acara untuk para korban Tragedi HAM 65 juga sudah mendapatkan tantangan dari pihak-pihak Gereja di Jakarta. Apalagi terhadap adanya acara Maulid dan Natal bersama ini.
Maka dari itu, acara peringatan Maulid dan Natal bersama ini diadakan di kediaman keluarga Suarbudaya sendiri di Guntur. Sebab jika diadakan di Gereja, pihak Gereja kemungkinan besar tidak akan mengizinkan karena takut akan berisiko.
“Jangan nambah-nambah gitulah, yang kemarin saja masih diancam-ancam, sekarang masa mau bikin ini lagi,” kata Suarbudaya menirukan mereka yang tidak setuju.
Hal yang sama juga terjadi pada Iefan. Sejumlah teman dari kalangan kampusnya yang mendengar akan adanya acara tersebut juga berusaha mencegahnya untuk hadir dalam acara tersebut. Bahkan banyak pesan singkat di telepon genggamnya yang mempertanyakan kehadirannya di acara tersebut.
“Bahkan ada yang langsung telepon ke saya dan mempertanyakan acara ini,” ujar Iefan.
Hikmah
Bagi Suarbudaya yang terpenting adalah bagaimana menjelaskan kepada saudaranya seiman bahwa Islam bukan hanya bagian sejarah dari Kristiani tapi juga bagian dari kultur. Karena mungkin tetangganya ada yang Muslim atau bahkan bagian dari keluarganya sendiri ada yang Muslim, maka ini adalah salah satu cara untuk mengapresiasi kebersamaan.
“Mereka (umat Islam) sangat menjunjung tinggi Nabi Muhammad. Kalau kita mau menghargai mereka, hargai yang paling mereka hormati, yaitu nabinya,” kata Suarbudaya.
Suarbudaya berharap ini bukanlah yang pertama dan yang terakhir.Tahun depan dia berharap dapat mengundang lebih banyak orang, sehingga akhirnya akan menjadi kebiasaan. Bukan hanya itu, Andi juga berharap acara seperti ini pun akan diikuti oleh komunitas lainnya.
Jika seperti halnya Banser menjaga peringatan Natal, yang mungkin dua puluh tahun lalu dianggap aneh, kini hal itu sudah menjadi kebiasaan yang dapat diterima oleh masyarakat. Begitupun dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad dan peringatan Natal bersama yang mungkin lima atau sepuluh tahun lagi bakal bisa membudaya.
“Nah, saya harap inipun bisa jadi budaya, bagaimana orang-orang Kristiani dan Muslim berbagi sukacita di momen-momen tertentu,” harap Suarbudaya.
Bagi Iefan, acara bersama ini tidak bisa disebut sebagai percampuran sebab di acara ini masing-masing pemeluk agama sama-sama merayakan sebuah kemenangan dengan tata caranya sendiri-sendiri, hanya tempatnya saja yang sama. Dengan demikian diharapkan dapat membuka harapan baru di antara dua agama untuk lebih saling mengenal dan menghormati satu sama lain.
“Ini bukan mencampur adukkan. Ini hanya merayakan dalam ruang lingkup bersama,” ujar Iefan.
Dengan sama-sama belajar dan saling memahami serta berbagi sukacita atas lahirnya dua sosok mulia di antara dua agama, mungkin bisa menjadi langkah awal penegasan identitas bangsa yang memang terdiri dari berbagai macam suku dan agama tapi tetap terikat erat satu sama lainnya.
Mungkinkah, lima atau sepuluh tahun lagi kita akan melihat di Indonesia apa yang terjadi di Lebanon saat pohon Natal berdiri tegak di depan sebuah masjid tanpa halangan? Atau minimal sudah tidak terjadi lagi polemik terkait boleh tidaknya saling berbagi ucapan Selamat Natal? (Lutfi/Yudhi)