Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Langkah Kemenag Rajut Keharmonisan Umat Beragama

penyiapan RUU Perlindungan Antar Umat Beragama

Kasus kekerasan atas nama agama dan keyakinan pada tahun 2013 menurut SETARA Institute mencapai 222 peristiwa dengan 292 bentuk tindakan yang tersebar di 20 Provinsi. Dari seluruh kasus tersebut terdapat 117 tindakan yang melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktornya.

Maka pada Kamis (18/12), Kementerian Agama Republik Indonesia melaksanakan Seminar Nasional “Perlindungan Pemerintah Terhadap Pemeluk Agama,” di Auditorium KH. M. Rasjidi Kementerian Agama RI, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat.

Seminar tersebut menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Abdurrahman Mas’ud, bertujuan untuk mengeksplorasi berbagai masalah dan fakta seputar perlindungan terhadap pemeluk agama, menghimpun berbagai kajian dari banyak pihak, meningkatkan dialog dan diskusi dengan para pemuka agama, sehingga pemerintah dapat menyusun peta permasalahan dalam upaya perlindungan terhadap umat beragama dan pemenuhan hak sipil tiap warganegara.

Lima Isu Penting

Sementara itu sebagai keynote speaker, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menegaskan bahwa sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi seluruh umat beragama yang ada di Indonesia. Artinya, kebebasan tiap warganegara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya dijamin oleh pemerintah melalui fasilitas dan berbagai aturan perundang-undangan.

Dalam kesempatan itu Menag Lukman juga menyatakan bahwa penyiapan RUU Perlindungan Antar Umat Beragama mengangkat lima isu penting. Pertama, bagaimana sebaiknya bentuk pelayanan pemerintah terhadap para penganut agama di luar enam agama yang diakui pemerintah. Kedua, menyorot seberapa efektif penerapan PP nomor 6 tahun 2009 yang mengatur pendirian rumah ibadah, karena faktanya masih banyak kasus sengketa pendirian rumah ibadah. Ketiga, munculnya gerakan-gerakan dari umat beragama yang mengakibatkan munculnya gangguan dalam hubungan antar umat beragama. Perlu pengaturan pola dakwah yang didasari  pemahaman serta penghormatan terhadap kearifan lokal. Keempat, soal tindak kekerasan tehadap pemeluk agama minoritas. Kelima, bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi penafsiran keagamaan tertentu dari suatu kelompok yang berbeda penafsiran dari kelompok yang lain.

“Kebebasan memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya dijamin oleh pemerintah melalui fasilitas dan berbagai aturan dalam rangka hidup bersama secara harmonis,” terang  Lukman.

Korban Tindak Kekerasan Atas Nama Agama

Bimas Dirjen Islam Kemenag RITerkait mereka yang telah menjadi koban tindak kekerasan atas nama agama, Bimas Dirjen Islam Kemenag RI, Dr. H. Machasin, MA menegaskan bahwa hal tersebut juga merupakan salah satu pokok masalah yang juga akan dibahas dalam undang-undang, termasuk perlindungan terhadap kelompok keberagamaan minoritas yang ada di Indonesia.

“Tentu termasuk orang-orang lain tapi ini bagian yang sangat penting,” tegas Machasin.

Terkait indikasi dampak negatif fatwa dan stigma sesat dari ormas-ormas Islam kepada kelompok Islam tertentu yang dapat memicu tindak kekerasana atas nama agama, menurut Machasin hal tersebut bisa saja dimasukkan dalam pembahasan. Atau dapat juga dimasukkan ke dalam kategori ujaran kebencian (Hate Speech).

“Kalau anda berkata di depan umum, dengan perkataan yang menyebabkan orang lain atau kelompok lain dibenci, itu sudah termasuk kategori hate speech,” tegas Machasin.

Langkah yang ditempuh oleh Kementerian Agama RI untuk membuat Undang-Undang Perlindungan Terhadap Pemeluk Agama, tentu patut kita apresiasi. Namun bukan berarti hal ini tidak perlu kita kawal dan awasi. Sebab pembahasan RUU yang ditargetkan selesai pada April tahun depan ini bukan tak mungkin akan mendapatkan hambatan dari pihak intoleran yang merasa risih akan diterbitkannya aturan tersebut. (Lutfi/Yudhi)